Jika anda ingin berekreasi di daerah pegunungan yang sejuk,terletak di Jombang ada suatu tempat yang cocok yaitu Gunung Pucangan yang tepatnya di Desa Cupak Kecamatan ngusikan Kabupaten Jombang. Tempat ini merupakan pegunungan yang asri karena dahulu merupakan tempat peristirahatan para raja di Mataram.Hal ini terbukti banyak ditemukan peninggalan-peninggalan yang bersifat kuno yaitu Pemandian,Makam dan lain sebagainya.
Ini merupakan suatu makam yang dianggap sebagai makam para penjaga gunung Pucangan.Karena tempatnya yang bersejarah sehingga gunung pucangan ini dipercaya mempunyai kekutan mistis.Pada hari tertentu (Malam Jumat Legi)Banyak warga yang berdatangan ke gunung tersebut.mereka yang mempunyai hajat membawa sesaji untuk mmeminta berkah di tempat ini,bahkan ada yang menginap sampai pagi. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.Sendang Made: Tempat Peristirahatan Para Raja di Tanah Jawa .
SENDANG MADE: TEMPAT PERISTIRAHATAN PARA RAJA DI TANAH JAWA .
Sekilas Tentang Sendang Made Obyek wisata alam yang berada di sebelah utara Kota Jombang ini memang sangat Indah nian. Sendang Made, bukan saja sebagai wisata air yang air sendangnya tak pernah kering sepanjan tahun. Namun juga pesona panorama alamnya menawan, sangat cocok sebagai sarana untuk melepas kejenuhan dalam keseharian bekerja.
Obyek wisata alam ini, terletak di Desa Made, kecamatan Kudu, atau 20 Km arah Utarakota Jombang. Sendang Made, terletak di lereng pegunungan kendeng. Secara geografis memang strategis. sebagai tempat berlibur. Bagi Anda yang suka berakrab-akraban dengan ikan, disendang itu banyak ikan bebas berkeliaran. Tak ada ketentuan yang mengikat, wisatawan bisa bergerak bebas menikmati keindahan alam yang masih perawan. Dengan catatan kita tidak boleh mengambil atau mengganggu ikan-ikan tersebut. Sebab Ikan-ikan penghuni sendang itu. Masyarakat setempat mempercayai Konon memiliki nilai magis, tersebut bergantung pad kondisi zaman. “Bila ikan kelihatan hanya sedikit tandanya zaman sulit, sebaliknya jika penampakan ikannya pertanda murah sandang pangan” kata penduduk setempat. Wisatawan bisa berlama-Iama di sendang Made untuk mengusir kejenuhan kerja.
Memasuki kawasan wisata Sendang Made yang dikelilingi, pohon-pohon besar, para wisatawan akan disambut dengan hiburan paduan kicau burung. Suasananya memang betul-betul alami dan bersih banyak membutuhkan sentuhan penataan. Tanaman di sekitar sendang pun perlu konservasi, namun semua itu tidak mengurangi kenyamanan wisatawan yang mengunjungi kawasan wisata tersebut. Sedikit sentuhan saja pada Obyek wisata alam Sendang Made ini sudah bisa menjadi tujuan wisata yang sangat menjanjikan. Pada hari-hari libur terutama hari raya Idul Fitri atau tahun baru, sendang Made selalu menjadi ajang pagelaran show dangdut. Yang selalu dibanjiri penonton. Lebih-lebih bila pada waktu penyelenggaraan show bersamaan dengan waktu panen tembakau, dipastikan pagelaran akan sukses. Adayang datang dari Mojokerto, Lamongan, Babat, Gresik dan Jombang sekitamya
SENDANG MADE: TEMPAT PERISTIRAHATAN PARA RAJA DI TANAH JAWA
Sendang Made berbentuk sendang (dalam bahasa Jawa artinya kolam) yang berukuran 8 x 11 meter. Mengapa disebut Sendang Made? Karena sendang ini lokasinya berada di desa Made, kecamatan Kudu, kabupaten Jombang. Selain Sendang Made masih ada kolam lain yang berukuran lebih kecil di sekitar lokasi. Misalnya Sendang Payung, Sendang Padusan, Sendang Sinden, Sendang Omben dan Sendang Drajat. Berdasarkan cerita rakyat, kisah Sendang Made bermula dari pernikahan putri Prabu Darmawangsa yang bernama Dewi Sekarwati dengan seorang pangeran dari kerajaan Bali yang bernama Airlangga, namun kehidupan mereka tidak tenteram karena diserang Prabu Wora Wari dari Tulungagung. Kelompok ini kemudian diselamatkan oleh Prabu Narotama ke gunung Lawu dan berakhir di sebuah kolam dengan ditemani lima orang wanita dayang-dayang. Sejak saat itu Sendang Made berfungsi sebagai tempat menyepi atau meditasi Prabu Airlangga dan istrinya, sambil dijaga banyak wanita dayang-dayang dan pasukan. Ini dilakukan setelah mendapat serangan dari beberapa kerajaan tetangga. Lokasi kolam masih terjaga dengan rapi dan alami. Beberapa bangunan di sekitar sendang juga masih terawat dengan baik. Juga terdapat sebuah ruangan yang dipercaya sebagai tempat peristirahatan Prabu Brawijaya dan bala tentaranya pada jamannya. Ada sisi unik pengelolaan Sendang Made yang masih dipertahankan sampai sekarang. Yaitu ada larangan untuk membangun atau merenovasi sebagian ataupun seluruh bangunan yang ada di kompleks Sendang Made. Pantangan ini tetap berlaku sampai sekarang. Entah apa maksud dan tujuannya. Sebagian orang berpendapat larangan tersebut diberlakukan semata-mata untuk menjaga nilai historis Sendang Made yang sempat menjadi tempat peristirahatan para raja di tanah Jawa. Budaya masyarakat Jombang tidak lepas dari budaya Jawa yang mengandung ajaran animisme dan dinamisme. Dalam kompleks Sendang Made terdapat makam Dewi Pandansari yang konon masih ada keturunan dari Prabu Brawijaya. Makam Dewi Pandansari inilah yang menjadi tempat pemujaan sejumlah golongan orang. Pada hari-hari tertentu mereka membawa sesajen, bunga dan kemenyan untuk ditaruh ke dalam makam. Untuk mencapai lokasi obyek wisata Sendang Made tidaklah sulit. Anda bisa memilih aneka jenis kendaraan darat untuk mencapai desa Made. Saat ini akses menuju lokasi sudah diperbaiki. Sarana dan prasarana pendukung juga telah dibangun. Misalnya tempat parkir yang luas dan aman, losmen yang bisa disewakan, aneka jajanan makanan tradisional setempat dan pusat oleh-oleh kerajinan tangan khas warga Kudu. Layak Anda kunjungi di waktu liburan Anda bersama keluarga dan sahabat.
Wisata Sejarah " Sendang Made " Ritual kungkum (berendam) di Sendang Made merupakan ritual yang ditunggu oleh para sinden dan dalang. Pasalnya, ritual yang dihelat setiap setahun sekali tersebut diyakini sebagai acara penobatan bagi para sinden dan dalang serta sebagai ritual untuk obat awet muda. Nuansa kesenian jawa sangat kental di lokasi Sendang Made, Desa Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang pada Kamis siang. Suasana sakral dan khidmat mengiringi langkah para calon sinden dan dalang saat menuju kursi ritual yang disediakan. Kedatangan 47 calon sinden dan 8 pedalangan ini disambut dengan suara gending jawa yang mendayu-dayu dan diikuti dengan tarian. Ritual Kum-kum di Sendang Drajat tersebut dipercaya dapat memberikan penglarisan bagi para calon sinden untuk mendapatkan order. Saat proses wisuda berlangsung, muncul salah seorang tokoh desa yang mulai mengambil air dengan gayung. Ritual ini diyakini akan membuat para sinden dan dalang menjadi awet muda. Saat percikan air berkhasiat itu menyentuh kepala mereka, sejumlah pengharapan mulai diucapkan. Usai siraman, para sinden dan dalang ini mendapatkan penyematan dari tokoh yang memimpin proses wisuda. Ritual mandi air Sendang Drajat juga diyakini dapat membuat suara sinden menjadi lebih merdu. Ritual yang diyakini sudah ada sejak zaman kerajaan Airlangga ini telah menelurkan berbagai mitos yang seakan-akan selalu menjadi kenyataan. “Ritual ini sangat bermanfaat, selain akan awet muda, kita (sinden) tidak akan pernah sepi order. Dan buktinya, sinden yang pernah mandi di sini, selalu tampak anggun," kata Eni Sulistyowati, perempuan asal Desa Katemas kecamatan Kudu Jombang. “Yang ikut wisuda ini para calon sinden dan dalang,” jelas Liwon , sesepuh Desa Made. Pria berputra 3 ini mengatakan, ritual ini dihelat setiap setahun sekali dan sudah berlangsung selama 6 tahun. Para sinden dan dalang yang mengikuti proses wisuda tidak hanya berasal dari daerah di sekitar Sendang Made. “Tidak hanya dari daerah ini saja, dari daerah lain juga bisa ikut wisuda disini,” ungkap seniman ludruk sejak usia 12 tahun ini. Ritual kung-kum di Sendang Made merupakan ritual untuk menyelamatkan dan melestarikan budaya jawa. Perkembangan zaman yang diikuti kemajuan teknologi dan informasi diyakini mulai menggerus eksistensi kesenian tradisional di masyarakat. “Budaya jawa sekarang sudah mulai terkikis oleh budaya zaman baru. Nah, acara ini merupakan langkah untuk melestarikan budaya jawa,” tandas Liwon.
Usai acara Wisuda sinden dan dalang, masyarakat Desa Made menggelar acara "Sedekah Desa". Dalam acara ini, masyarakat berduyun-duyun membawa tumpeng untuk acara selamatan di sekitar sendang drajat. Ritual Kum-kum Sinden di Sendang Made Ajang untuk Melestarikan Budaya Jawa Ritual kungkum (berendam) di Sendang Made merupakan ritual yang ditunggu oleh para sinden dan dalang. Pasalnya, ritual yang dihelat setiap setahun sekali tersebut diyakini sebagai acara penobatan bagi para sinden dan dalang serta sebagai ritual untuk obat awet muda. Nuansa kesenian jawa sangat kental di lokasi Sendang Made, Desa Made, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang pada Kamis (20/11) siang. Suasana sakral dan khidmat mengiringi langkah para calon sinden dan dalang saat menuju kursi ritual yang disediakan. Kedatangan 47 calon sinden dan 8 pedalangan ini disambut dengan suara gending jawa yang mendayu-dayu dan diikuti dengan tarian. Ritual Kum-kum di Sendang tersebut dipercaya dapat memberikan penglarisan bagi para calon sinden untuk mendapatkan order. Saat proses wisuda berlangsung, muncul salah seorang tokoh desa yang mulai mengambil air dengan gayung. Ritual ini diyakini akan membuat para sinden dan dalang menjadi awet muda. Saat percikan air berkhasiat itu menyentuh kepala mereka, sejumlah pengharapan mulai diucapkan. Usai siraman, para sinden dan dalang ini mendapatkan penyematan dari tokoh yang memimpin proses wisuda. Ritual mandi air Sendang juga diyakini dapat membuat suara sinden menjadi lebih merdu. Ritual yang diyakini sudah ada sejak zaman kerajaan Airlangga ini telah menelurkan berbagai mitos yang seakan-akan selalu menjadi kenyataan. “Ritual ini sangat bermanfaat, selain akan awet muda, kita (sinden) tidak akan pernah sepi order. Dan buktinya, sinden yang pernah mandi di sini, selalu tampak anggun," kata Eni Sulistyowati, perempuan asal Desa Katemas kecamatan Kudu Jombang. “Yang ikut wisuda ini para calon sinden dan dalang,” jelas Liwon (61), sesepuh Desa Made. Pria berputra 3 ini mengatakan, ritual ini dihelat setiap setahun sekali dan sudah berlangsung selama 6 tahun. Para sinden dan dalang yang mengikuti proses wisuda tidak hanya berasal dari daerah di sekitar Sendang Made. “Tidak hanya dari daerah ini saja, dari daerah lain juga bisa ikut wisuda disini,” ungkap seniman ludruk sejak usia 12 tahun ini. Ritual kung-kum di Sendang Made merupakan ritual untuk menyelamatkan dan melestarikan budaya jawa. Perkembangan zaman yang diikuti kemajuan teknologi dan informasi diyakini mulai menggerus eksistensi kesenian tradisional di masyarakat. “Budaya jawa sekarang sudah mulai terkikis oleh budaya zaman baru. Nah, acara ini merupakan langkah untuk melestarikan budaya jawa,” tandas Liwon. Usai acara Wisuda sinden dan dalang, masyarakat Desa Made menggelar acara "Sedekah Desa". Dalam acara ini, masyarakat berduyun-duyun membawa tumpeng untuk acara selamatan di sekitar sendang drajat. Kungkum Sinden, Ritual Sejak Prabu Airlangga Dengan berendam di Sendang Made, Kecamatan Kudu, Jombang, seorang sinden dipercaya akan awet muda serta mempunyai suara merdu. Tidak heran jika sekitar 50 pesinden mengikuti ritual kungkum di Sendang Made itu. Kok bisa? Sebuah panggung ukuran sedang berdiri tengah-tengah halaman lumayan luas. Di atasnya, berjejer 37 sinden yang akan diwisuda. Mereka berdiri berjajar memakai pakaian khas sinden, yakni jarik dan kebaya berwarna merah. Dari wajah mereka terpancar raut wajah bahagia sekaligus cemas. “Grogi juga karena akan diwisuda,” kata Yayuk Asiati, salah satu sinden asal Desa Genengan Jasem Kecamatan Kabuh, Kamis (18/11/2010). Suara gamelan mengalun di pelataran Sendang Made. Alunannya yang rancak semakin kompak dengan gerakan sejumlah penari tradisional yang berlenggak-lenggok. Tak lama berselang, sekitar 37 pesinden berjalan secara beriringan. Mereka diarak menuju sebuah telaga atau yang dikenal dengan Sendang Made. Setelah memasuki area sendang, secara bergantian, satu per satu sinden melakukan siraman. Pada giliran pertama, siraman dilakukan oleh Asisten I Eksan Gunajati. Hingga, berlanjut pada anggota muspida lainnya. Setiap siraman yang dilakukan oleh tokoh masyarakat tersebut dipercaya membawa sebuah pengharapan. Terlebih, bagi sinden itu sendiri, setiap siraman dipercaya dapat membuat suara sinden kian merdu. “Ya semoga laris ya,” kata Eksan ketika melakukan siraman. Usai siraman, para sinden kembali di panggung. Setelah itu, sinden secara bergantian mendapat kalungan selendang berwarna hijau penanda gelar sinden secara resmi disematkan. Ketua PKK Jombang Wiwiek Suyanto didaulat mengalungkan selendang pada setiap sinden. Raut muka bahagia dan lega terpancar dari tiap wajah sinden. Acara dilanjutkan dengan sedekah desa. Ratusan masyarakat yang telah berkumpul di halaman sendang, ternyata telah membawa bekal makanan yang dibungkus dalam baskom dan ditutup oleh selendang. Seorang sesepuh desa memberikan petuah-petuah saat acara dimulai. Sedekah desa ditutup dengan pembacaan doa. Setelah itu, bekal makanan dibuka dan dimakan bersama-sama oleh hadirin yang datang. Nasrul Illahi, Kepala Seksi Kebudayaan, Disporabudpar Jombang, , menceritakan, kungkum sinden merupakan tradisi yang sudah berjalan sejak zaman Raja Airlangga. Seorang perempuan yang akan menjadi sinden harus dimandikan terlebih dulu di sendang yang ada di Desa Made, Kecamatan Kudu tersebut. Harapannya, suara sinden itu nantinya bisa merdu seperti istri Prabu Airlangga. Pria yang akrab disapa Cak Nas ini menjelaskan, makna dari kungkum sinden adalah upacara wisuda seorang sinden untuk terjun ke dunia seni tradisional. Dengan berendam di sendang tersebut, maka suara seseorang bisa merdu. Selain itu, katanya, aura sinden tersebut juga akan muncul. Airlangga, Pendiri Kahuripan Patung Airlangga yang didewakan berupa Dewa Wisnu mengendarai Garuda, ditemukan di desa Belahan, koleksi Museum Trowulan, Jawa Timur.
AIRLANGGA (990 – 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia. Nama Airlangga berarti “Air yang melompat”. Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya. Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah. Masa pelarian Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora)[1], yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.[2] Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.[3] Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan pulau Jawa. Masa peperangan Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang). Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin (dari?)[rujukan?]. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri. Masa pembangunan Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain. * Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036. * Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman. * Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang. * Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan. * Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041. * Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha. Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha. Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari. Pembelahan kerajaan Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata[rujukan?sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu. Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan. Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Akhir hayat Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut. Kahuripan, Daha atau Panjalu Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha. Pemakaian nama Airlangga Nama Airlangga pada masa sekarang diabadikan menjadi beberapa nama, antara lain:
1. Nama sebuah kelurahan di Surabaya.
2. Di Surabaya juga terdapat Universitas Airlangga, sebuah perguruan tinggi negeri tertua dan ternama di Indonesia.
3. Di Kota Kediri terdapat Museum Erlangga.
4. Di Jakarta terdapat pula Penerbit Erlangga.
5. Di Samarinda, Kalimantan Timur terdapat SMK-TI Airlangga.
6. Di Purwokerto, terdapat LBB Erlangga.
Selain itu beberapa kota juga menggunakannya sebagai nama jalan.
Cak_djie....sumber gurit
ReplyDeleteGoleano hari jadi jombang duk watu gurit berdasarkan ilham rugih gus jay
ReplyDelete