Kesaktian Kebo Kyai Slamet Keraton Solo - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Thursday 10 March 2016

Kesaktian Kebo Kyai Slamet Keraton Solo


( Hanya untuk diketahui, jangan sampai kita Syirik terhadap Allah swt )
Bukan Kerbau sembarang Kerbau, tapi Kebo Kyai slamet merupakan pepunden keramat dan hewan paling berwibawa dan selalu dihormati di wilayah Solo dan sekitarnya. Buktinya, setiap malam 1 Syura, seluruh masyarakat Solo/Surakarta keluar sampai tengah malam untuk menyambutnya.
Konon, menurut cerita seorang abdi dalem Keraton, Kebo Kyai Slamet adalah Kerbau jantan besar keturunan Kerbau bule zaman Keraton Mataram.m Waktu itu yang memerintah Sultan Agung Hanyakrakusumo.

Kesaktian Yang Mengejutkan

Pada zaman Sultan Agung pernah terjadi peristiwa mengejutkan. Ada perkampungan yang dilanda kebakaran hebat. Saking besarnya api hampir ke kawasan Keraton Mataram. Anehnya, setiap jilatan api, tidak mampu melewati ATAP sebuah kandang. Walaupun tempat lain di dekat kandang sudah dilalap api. Dalam keadaan demikian membuat masyarakat yang melihat bingung dan berita tersebut sampai kepada sang Raja. Maka diperintah para punggawa untuk menanggulanginya.
Setelah api dapat dipadamkan, menghadaplah seorang Demang kepada Sultan Agung dan menceritakan keanehan kandang hewan yang beratap rumbia itu. Kandang tetap utuh dan tanaman di sekitarnya juga tak terlihat gosong.
Hal ini membuat Sultan Agung heran, dalam hati tidak percaya. Untuk membuktikannya, sang Raja turun kedaton, melihat secara langsung kandang tersebut.
Secara logika tidak mungkin terjadi sebab di sekitar kandang sudah rata jadi abu, maklum zaman dulu memang bangunannya dari kayu dan bambu, namun kandang itu tetap utuh. Setelah diperiksa Sultan Agung, isi kandang tersebut berisi seekor Kebo bule sedang makan rumput. Sementara sang pemiliknya mempunyai sebuah Tombak yang ampuh, katanya.
Baru saja melihat keajaiban itu, terdengar suara hiruk pikuk dari warga kampung bahwa ada kebakaran kembali. Kobaran apinya sulit dipadamkan. Atas perintah Sultan Agung, Kebo Bule dan Tombak itu agar dibawa ke sana dan mengelilingi tempat yang dilanda kebakaran itu. Aneh bin ajaib, begitu Kerbau dan Tombak mengelilingi rumah yang dilanda api, seketika padam tinggal asap membumbung tinggi.
Sejak saat itulah Kerbau serta Tombak beserta pemiliknya menjadi milik Keraton dan diberi nama Kebo Kyai Slamet dan Tombak Kyai Slamet. Slamet di sini artinya SELAMAT, sebab keduanya ternyata mampu menyelamatkan bencana kebakaran. Sementara pemilinya diangkat menjadi punggawa Keraton dengan pangkat Ki Lurah Maesaprawira.

Keunikan Sang Kebo

Pintu Gerbang Keraton Surakarta sebelah selatan ada pasar tradisional namanya Pasar Gading, sebelum akhirnya dipindah ke daerah Gemblegan, walau saat ini pasar tersebut sudah menjadi pangkalan mobil, tapi masih banyak sisa-sisa pedagang yang menggelar dagangannya di situ.
Pasar Gading dulu sangat ramai sekali, utamanya hari Minggu. Kebo Kyai Slamet ini sering berkeliaran sekitar pasar tersebut. Tetap anehnya, sang Kebo tidak mau mengganggunya, walau banyak pedagang sayur mayur
dan buah-buahan bertebaran. Ketika lapar sang Kebo hanya makan singkong rebus dan pisang goreng.
Tentu saja pedagang yang dagangannya dimakan sang Kebo bukannya marah, justru girang sekali, sebab dianggap NGALAP BERKAH atau “pelarisan” dan bisa mendapatkan banyak rejeki. Kenyataannya yang dagangannya dimakan Kebo Kyai Slamet selama 40 hari dagangannya larisnya bukan main, konon tidak sampai satu jam sudah ludes terjual.
Sumber
Kyai Slamet Hewan Tersakti Didunia, adalah nama binatang kerbau/kebo bule .Kebo bule atau kerbau albino ini memang binatang peliharaan Keraton Surakarta. Konon nenek moyang kerbau ini merupakan binatang kesayangan Sri Susuhunan Pakubuwono II. Sehingga kebo bule ini dikeramatkan, dan menjadi salah satu pusaka paling penting di Keraton Surakarta Hadiningrat.
Kebo atau kerbau bule ini sering disebut dengan kebo kyai Slamet lantaran secara turun temurun, kerbau albino ini dipercaya sebagai penunggu pusaka kyai slamet (salah satu pusaka milik keraton Surakarta yang kasat mata). Dalam kirab malam satu Suro, kebo kyai Slamet selalu berada di barisan paling depan sekaligus bertindak sebagai cucuk lampah kirab.
Hebatkan seekor kerbau mampu memimpin penghuni keraton sekaligus masyarakat solo dalam sebuah upacara adat.

Kenapa seekor kerbau bisa dipanggil Kyai ?

Istilah Kyai yang banyak disandang para ulama yang ada sekarang ini bukanlah untuk orang yang berilmu agama, namun juga untuk hewan, senjata, tempat yang dianggap mempunyai nilai dan kelebihan. Sejatinya istilah Kyai bukan datang dari ajaran Islam, namun budaya animisme yang tercampur dengan ajaran Islam sebagaimana budaya 1 suro.
Sesuai dengan asal mula kata "Kyai" berupa kata "Ki" dan "Yai". Dalam kebudayaan kita, setiap hal yang memiliki kelebihan dalam sisi mistis bisa digelari "Ki-Yai" atau "Kyai", yang awal mulanya bukan untuk orang. Namun untuk benda mistik yang mengandung kesaktian ,
Seperti Kyai Pleret nama untuk sebuah senjata tombak, Kyai Cubruk dan Kyai Nogososro nama sebuah keris sakti, atau Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu nama alat gamelan gong istimewa dan mistis
 SOLO – Keraton Kasunanan Surakarta menggelar ritual kirab Kyai Slamet dan pusaka lainnya, Tradisi tersebut diselenggarakan untuk menyambut datangnya Tahun Baru Jawa 1 Sura.
Tradisi yang acara intinya mengarak pusaka keraton berwujud kerbau dengan nama Kyai Slamet ini sudah berlangsung turun temurun. Kerbau atau Kebo Bule yang diarak itu berwarna seperti kulit bule sehingga orang Jawa biasa menyebut Kebo Bule.
Drs. Sudarmono SU dosen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UNS Surakarta ketika ditemui di rumahnya menjelaskan, mengarak keliling atau kirab Kyai Slamet sudah ada sejak masa pemerintahan Pakubuwono (PB) IX.
Acara kirab Kyai Slamet merupakan salah satu upaya raja untuk melegitimasi kekuasaan. Dalam perkembangannya, Kerbau bule kemudian dianggap sebagai pusaka keraton Kasunanan. Karena dianggap sebagai pusaka, kerbau bule Kyai Slamet kemudian memperoleh hak istimewa dari warga Surakarta.
“Salah satunya adalah tidak ada orang yang berani mengusir apabila Kyai Slamet memakan sesuatu,” kata Sudarmono.
Hingga saat ini, pamor Kyai Slamet masih dipercaya kesakralannya. Suami dari Tri Darmani ini kemudian mencontohkan, ketika kerbau tersebut buang hajat saat dikirab, maka kotorannya menjadi rebutan warga. Tidak jarang kerbau-kerbau tersebut juga memakan tanaman padi milik petani atau sayuran milik pedagang.
“Saat itu tidak ada yang berani mengusir dan melarang. Bahkan ada sebagian dari mereka yang merasa senang ketika tanaman atau dagangannya dimakan Kyai Slamet,” jelas Sudarmono.
Sejarawan UNS ini sebenarnya menyayangkan adanya kepercayaan mistik yang diyakini oleh masyarakat Surakarta terhadap kerbau bule koleksi Kasunanan Surakarta ini. Ia menyarankan agar seluruh elemen masyarakat Surakarta memahami kandungan filosofis dan ajaran yang terkandung dalam kirab tersebut.
Salah satunya adalah ketika kirab Kyai Slamet dilakukan dengan diam atau membisu. “Diam yang dimaksudkan adalah introspeksi diri dan berdoa,” tuturnya.
Sudarmono menambahkan, kerbau bule di Surakarta ini mirip dengan kerbau bule yang ada di Tana Toraja atau Tedong Bonga. Kerbau bule semacam ini masuk dalam kelompok kerbau lumpur yang hanya terdapat di Tana Toraja. Namun ia sendiri tidak bisa memastikan apakah kerbau milik keraton Surakarta mempunyai hubungan langsung dengan Tedong Bonga di Toraja atau tidak.
Kanjeng Pangeran Edy Wirabumi, salah satu kerabat keraton Solo memberikan pendapat tersendiri terkait dengan Kyai Slamet. Suami dari Gusti Mung ini menuturkan, Kyai Slamet milik Keraton Kasunanan sudah dimiliki sejak jaman Kartasura.
“Bedanya, saat itu kirabnya tidak semeriah sekarang. Dulu kirabnya hanya di lingkup keraton,” ujarnya.
Ia menceritakan, prosesi kirab Kyai Slamet sempat hilang. Itu terjadi pada masa pemerintahan PB VII dan PB VIII. Pada masa pemerintahan kakak beradik yang memerintah Kasunanan sejak 1830-1861 itu keraton Surakarta mengalami kemunduran. “Pada masa itu banyak ritual rutin ditinggalkan karena tidak adanya kekuatan finansial,” jelas Edy Wirabumi.
Kirab Kyai Slamet kembali dilaksanakan pada masa PB IX. Saat itu rute yang dilewati hanya mengitari benteng keraton Kasunanan. Ritual baru diselenggarakan secara megah pada masa pemerintahan PB XII, ketika Orde Baru mulai berkuasa.
Untuk menyelenggarakan acara tahunan ini, Keraton Kasunanan Surakarta membutuhkan dana sedikitnya Rp 200 juta. Dana tersebut diperoleh dari sumbangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) sebesar Rp 40 juta dan sisanya merupakan hasil sumbangan dari kerabat keraton. (*)



1 comment:

  1. Gabung Bersama kami di Betpulsa,net
    Situs Paling Terpercaya Betpulsa
    Menangkan Bonus Jutaan Rupiah Setiap Harinya
    Jaminan Kemenangan Bergaransi

    Games Yang Tersedia Antara Lain :
    * SPORTSBOOK
    * POKER
    * LIVE CASINO
    * IDN LIVE
    * BLACK JACK
    * SLOT ONLINE
    * SABUNG AYAM S128

    Promo di Betpulsa :
    * Min Depo 25 K
    * Min WD - 50 K
    * Bonus New Member 15%
    * Next Deposit 10%
    * Bonus Harian 5%
    Dan Masih Banyak Bonus Lainnya
    * Deposit Via Pulsa Tanpa Potongan Rate 100%
    * Deposit dan Withdraw 24 jam Non stop tanpa kendala
    * Proses Deposit & Withdraw Tercepat
    * Livechat 24 Jam Online
    * Untuk Info Lebih Lanjut Bisa Hubungi CS Kami

    ## Contact_us ##
    WHATSAPP : 0822 7636 3934

    ReplyDelete