SEJARAH DESA PANEMBANGAN - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Wednesday 3 January 2018

SEJARAH DESA PANEMBANGAN



Panembangan berarti menimbang atau imbang. Jadi, Panembangan merupakan desa yang imbang, tidak terlalu maju dan tidak terlalu mundur dari desa lain. Panembangan disebut juga desa pertengahan, yaitu desa yang tidak 
terlalu unggul dan tidak terlalu merosot, tidak terlalu kaya dan tidak terlalu miskin. Artinya, desa ini bisa mengimbangi desa-desa yang lain. Pada awalnya Desa Panembangan belum terbentuk, hanya baru ada beberapa grumbul atau dusun yang belum bergabung menjadi desa. Grumbul tersebut yaitu grumbul Sabrang Kulon, Sabrang Wetan, Pesurung, dan Tawanggati. Pada tahun 1830-an, Kyai Ngabei Singadipa (eyang Singadipa) menyatukan grumbul-grumbul tersebut menjadi sebuah desa, yaitu Desa Panembangan.
Di Desa Panembangan terdapat tiga tokoh penting yang ikut memperjuangkan Desa Panembangan pada awalnya. Tokoh-tokoh tersebut yaitu “Mbah Iskandar” merupakan pendatang dari Jawa Timur yang mendirikan pondok pesantren di Grumbul Cileweng, RW II, Panembangan. Mbah Iskandar adalah pejuang keagamaan awal di Desa Panembangan. Kemudian, pejuang pertanian Desa Panembangan yaitu “Kaki Prayadita”. Tokoh paling berpengaruh selanjutnya di Panembangan yaitu Kyai Ngabei Singadipa atau “Eyang Singadipa”. Singadipa merupakan tokoh nasional yang berperang melawan penjajah Belanda di Panembangan. Beliau juga merupakan kaki tangan Pangeran Dipenogoro yang biasa membawakan tongkatnya.
Nama kecil Singadipa yaitu Nur Katon. Singadipa masih merupakan keturunan Keraton Solo. Singadipa mempunyai gelar Kyai Ngabei Singadipa. Kyai merupakan gelar yang yang diberikan oleh penduduk karena Singadipa merupakan seorang ahli agama. Kemudian Ngabei merupakan gelar yang diberikan oleh Keraton Solo. Selain bergelar Kyai Ngabei Singadipa, beliau juga bergelar Raden Nurkaton Adimanggolo Prawiro. Beliau mempunyai keistimewaan dalam bidang ketatanegaraan dan beliau juga merupakan seorang lurah prajurit Ajibarang.
Dalam melawan penjajah dan melarikan diri dari Belanda, Kyai Ngabei Singadipa menggunakan sistem gerilya yang bernama “umpetan jeroning kemben”, yaitu berlindung dengan cara menjadikan salah satu wanita di tempat perlindungan sebagai istri. Jadi, Kyai Ngabei Singadipa mempunyai banyak istri dan yang tercatat dalam sejarah ada 6, termasuk salah satunya di Panembangan yang bernama Nyi Jaga. Singadipa juga mempunyai banyak anak dan yang tercatat dalam sejarah ada 23. Anak dari Singadipa banyak yang menjadi Demang di beberapa tempat. Dipadrana merupakan putra dari Singadipa yang menjadi Demang Panembangan.

dipetik dari Hasil wawancara dengan Ahmad Zaenuri (Sejarawan Desa Panembangan dan Juru Kunci Makam Kyai Ngabei Singadipa), diposkan oleh desa panembangan......

Eyang Singadipa UMPETAN JERONING KEMBEN

Berjalan menyusuri anak tangga menuju ke puncak bukit yang banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Semilir angin mengusik dedaunan memberi suara khas yang menambah kesunyian. Terlebih saat mata tertuju pada deretan makam tua yang tertata rapi berlatar rumput liar. Meskipun dihias bermacam tanaman bunga, tidak mengurangi aura mistis dan keramatnya. di makam Eyang Singadipa, tepatnya di Grumbul Cileweng, Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok, Banyumas.

Siang itu meskipun mendung mulai menghiasi langit, tidak menyurutkan langkah untuk mengenal lebih jauh sosok yang sangat dikenal oleh masyarakat Banyumas. Seorang tokoh yang hidup di era perjuangan Pangeran Diponegoro bahkan dipercaya sebagai salah satu senopati kepercayaannya. Makam dalam cungkup permanen tepat diatas bukit, menjadi peristirahatan terakhir yang hingga kini masih terjaga keberadaannya. Tidak sedikit peziarah yang datang, bahkan dari bermacam kalangan mulai dari rakyat biasa sampai orang-orang tersohor. 

Diceritakan oleh Ki Ahmad Zaenuri (75) sebagai juru kunci makam yang berkiprah sejak 1983. Bahwa Eyang Singadipa berasal dari Keraton Surakarta Hadiningrat, yang memiliki nama kecil Nur Katon dan mendapatkan gelar Ngabehi setelah dewasa. Singadipa juga dapat diartikan Singa negara atau pejabat negara. Selain piawai dalam berperang juga dikenal pandai dalam tata negara, demikian karomah yang dimiliki Ngabehi Nur Katon atau Eyang Singadipa.

Kekalahan Pangeran Diponegoro, membuat para pengikutnya menyebar ke berbagai pelosok. Sebagian ada yang menyiarkan ajaran Islam (menjadi pemuka agama Islam) dan tidak sedikit yang menjadi penguasa atau pejabat daerah. Eyang Singadipa lebih memilih menjadi wedana di Ajibarang.

Konon saat masih berperang, Eyang Singadipa dikenal dengan strategi perangnya “Umpetan Jeroning Kemben”, yaitu berlindung dengan cara menikahi wanita di tempat yang disinggahi. 
Ki Ahmad Zaenuri menambahkan bahwa tidak ada hari khusus untuk berziarah ke makam Eyang Singadipa. Sementara di dalam cungkup selain makam juga terdapat kuningan berbentuk lingkaran bertuliskan aksara Jawa yang bersandar pada sebilah bambu runcing berbendera merah putih. Di bawah makam utama terdapat makam-makam para keturunan Eyang Singadipa. Selain itu ada satu makam lagi yang bercungkup dan ditutup dengan pagar besi merupakan makam Wedana Singadikrama Ajibarang

2 comments:

  1. Dulu waktu kecil aku suka pegang tombak yang di simpan di rumah buyutku didesa glempang, namun tahun 80-an semua barang di bawa ke Purwokerto, ada duplikat silsilah eyang singadipa (sdh lusuh) dari Mbahku MAS WARTAM yang merupakan keturunan Singadipa dariIsteri Nyi Birah Desa Glempang, dan Makamnya ada di Dukuh Sawen, Aku sdh lama tak kesana, krn aku tinggal di Indramayu jawabarat, Salam untuk Keluarga Eyang singadipa di Bayumas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Boleh mnt foto silsilah eyang singadipa gak, aku pernah ziarah ke makam eyang, trus dikasih kertas silsilah sama juru kuncine, yg juga dikasih ke mbah ku yg keturunan dari istri ke dua ne eyang singadipa, nyi Djini (jatisawit)

      Delete