Kyai Sindujoyo atau Bangaskarto atau Pangaskarto - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Wednesday 3 January 2018

Kyai Sindujoyo atau Bangaskarto atau Pangaskarto


(banyak versinya harap maklum bila ada kisah yang berbeda )
Kyai Sindujoyo yang bernama asli Bangaskarto adalah putra Kyai Kening dari Dusun Kelating, Lamongan. Beliau merupakan salah satu santri Syekh Maulana Fatichal (Sunan Prapen). Pada mulanya Abdullah salah seorang santri sekaligus calon menantu Sunan Prapen terbunuh oleh petinggi Desa Kelating akibat kesalah fahaman. Abdullah dicurigai sebagai pelaku teluh atau tenung, padahal kehadirannya di Desa Kelating sekedar singgah karena larut malam dalam usaha menempuh perjalanan pulang ke Cirebon dengan maksud akan menyampaikan pesan Sunan Prapen pada Ayah dan Ibunya agar segera meminang putrid Sunan Prapen untuk dirinya.
Abdullah terbunuh ketika sedang menjalankan Sholat bersama sepupuhnya yang bernama Sahid. Beruntung Sahid meloloskan diri. Hal ini ditenggarai akibat gerakan Sholat merupakan hal yang aneh bagi masyarakat Desa Kelating yang dianggapritual ilmu hitam, bahkan gerakan sujud dianggap seperti celeng (babi Ngempet). Hal ini disebabkan ajaran islam belum sampai merambah di desa ini, sehingga lihat orang sholat disamakan denga orang sedang melakukan “teluh” atau santet.
Berita terbunuhnya Abdullah oleh petinggi Desa Kelating telah disampaikan pada sunan Prapen oleh Sahid yang lolos dari maut akibat keberingasan warga Desa Kelating. Mendengar peristiwa itu Sunan Prapen menyesalkan dan marah kepada petinggi desa kelating. Sunan Prapen mengutuk warga Kelating sebagai manusia yang gemar makan daging celeng. Akibat peristiwa ini Bangaskarto memutuskan meninggalkan desa dan berguru kepada Sunan Prapen. Saat di Pondok Sunan Prapen, Bangaskarto tinggal sekamar bersama Imam Sujono, beliau merupakan putra Kyai Kadim dari Desa Pening, Mojokerto.
Selanjutnya, Bangaskarto dan Imam Sujono diutus untuk membantu Amangkurat dalam menyelesaikan kemelut dengan Tumenggung Banyumas yang dianggap tidak patuh dengan kebijakan Amangkurat. Ditengah perjalanan menghadap Sunan Amangkurat mereka bertemu dengan kakak beradik yang beranama Salam dan Salim. Hingga akhirnya mereka berempat diberi tugas untuk menangkap tumenggung Banyumas yang sakti mandra guna.
Atas keberhasilan menangkap Tumengung Banyumas, mereka disambut gembira oleh Amangkurat yang merupakan Raja Mataram dan mereka diberi ratusan Kerbau yang pada akhirnya ditolak dan diminta untuk disedekahkan kepada rakyat yang membutuhkan. Salah satu kerbau bule kurus diminta untuk dijadikan sampan diatas arus Bengawan Solo. Melihat tindakan yang aneh Raja Amangkurat member julukan “Sindujoyo” pada Bangaskarto, “Surogarjito” pada Imam Sujono, serta “Tirto Asmoro” pada Salam dan “Ening Asmoro” pada Salim.
Dari kartosuro mereka berempat di dalam perut kerbau bule selama 40 hari sesuai arus Bengawan Solo. Ketika di Desa Palangtrepan, Surogarjito memutuskan tinggal di desa ini,. Tirto Asmoro dan Ening Asmoro memutuskan untuk menuj ke arah lain, sedangkan Sindujoyo kembali masuk ke perut kerbau bule mengikuti arus Bengawan Solo hingga sampai di Desa Druyung. Selanjutna beliau keluar dan berjalan ke timur dan tinggal di desa Roomo, Manyar. Setelah beberapa lama, Kyai Sindujoyo menian dengan Nyai Pesalatan dan dikaruniai beberapa anak. Bekerja sebagai nelayan, beliau berjalan di air hingga ke Pulau Mengare.

Kisah lain...
Mengikuti Tradisi Ziarah Makam Kyai Sindujoyo di Prapen
Warga Kelurahan Lumpur berbondong-bondong menuju pesarean Mbah Sindujoyo (CeA)
Gresik,- Satu persatu tumpeng berisikan berbagai lauk pauk yang tak lain merupakan hasil tangkapan warga masyarakat nelayan di pesisir Kelurahan Lumpur Gresik, digotong oleh sejumlah pemuda menuju satu titik. Meski matahari siang begitu terik, mereka terus saja menata berbagai kesiapan perlengkapan yang dimuat kendaraan bak terbuka.
Sejurus kemudian, kumandang salat Ashar terdengar, halaman Bale Celek (Balai cilik) Pesisir Laut Kelurahan Lumpur Gresik ), warga sudah mulai berkerumun. Entah berapa jumlahnya, yang terlihat sekitar ratusan orang, laki-laki, perempuan, tua-muda segala usia, sudah menyemuti ruas Jalan Martadinata. Petugas berseragam doreng yang bertuliskan BANSER juga turut membantu mengurai kerumitan lalu lintas.
Menurut keterangan Ismael, salah seorang pemuda Nelayan Bale Celek Lumpur Gresik, jika ziarah kepada sang leluhur yakni Mbah Buyut Sindujoyo ini merupakan tradisi rutin. “Ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun warga nelayan kelurahan lumpur dan sekitarnya” jelas Ismael.
Namun, untuk tahun ini, imbuh Ismael, terbilang mengalami penyusutan jumlah dan rute ziarah, “Untuk tahun lalu , tradisi ziarah ke Mbah Buyut Sindujoyo diikuti oleh sekitar 35 kendaraan penumpang. Untuk tahun ini hanya sekitar 29 kendaraan. Selain itu, tahun lalu rombongan warga juga menziarahi Makam Nyai Pasolatan di Roomo Gresik.” Ungkapnya.
Puluhan kendaraan tersebut membawa rombongan warga Lumpur Gresik menuju Makam Mbah Buyut Sindujoyo yang terletak di areal makam Sunan Prapen Kelurahan Giri, Kebomas, Gresik. Sesampainya di sana, mereka lantas membacakan Yasin dan Tahlil. Usai membaca do’a, warga kemudian menyantap Nasi Tumpeng secara bersama-sama.
Sebagaimana dikisahkan dalam sejarah Gresik, adalah seorang Nelayan bernama Bangaskarto yang kemudian berganti nama menjadi Kyai Sindujoyo adalah Murid Sunan Prapen. Selain seorang nelayan, Kyai Sindujoyo merupakan tokoh yang melakukan ‘Babat Alas’ tanah pesisir Kota Gresik yang dulunya ialah hutan bakau. Kini, pesisir kota itu diantaranya terletak di Kelurahan Lumpur dan Kelurahan Kroman Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik.

===========
Serat Sindujoyo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sindu Joyo Sebagai nelayan Kyai Sindujoyo tidak seperti nelayan umumnya dalam kerjanya. Dia menarik seroh atau serok pencari ikan (sodoh) tak ubahnya seorang yang melaksanakan lelaku (tirakat). Pada bagian ujung sodoh(seroh)nya dibiarkan terbuka tidak diikat seperti nelayan umumnya sehingga ikan yang masuk diserohnya keluar lagi lewat ujung serohnya. Dia hanya membawa ikan yang cukup untuk dikonsumsi keluarganya selebihnya dilepas kembali ke laut.
Saat melaut ini dia berkenalan dengan MARTOJOYO lelaki dari Manukan yang sama-sama mencari ikan. Dia juga bagian dari pasukan Ampel Dento. Dalam melaksanakan lelakunya, dia sering mendorong alat tangkap serohnya hingga dia menemukan tempat yang sunyi dan cocok untuk melaksanakan tapa. Tempat tersebut ada di Kali Tanggok. Di atas sebuah pohon di kali Tanggok inilah Kyai sindujoyo melakukan tapa selama tiga bulan.
Setelah usai melakukan tapa dia terbangun dan heran melihat banyak armada laut yang melintas di Kali Tanggok. Saat menghampiri armada inilah Kyai Sindujoyo bertemu kembali dengan Martojoyo. Dari Martojoyo inilah kyai Sindujoyo mengetahui, bahwa iring-iringan armada laut ini adalah pasukan Ampel Dento yang akan berperang melawan pasukan Gumeno yang dipimpin Kidang palih.
Perang di Gumeno ini telah menyebabkan kekalahan di pihak Ampel Dento. Pasukan yang dipimpin langsung oleh sang patih pulang dengan membawa kekalahan. Kekuatan kembali disusun lagi untuk menyerang Gumeno, Tapi lagi lagi pasukan Ampel Dento menelan kekalahan. Kekalahan demi kekalahan ampel Dento membuat murka Raja Ampel. Akhirnya disusunlah kekuatan yang jauh lebih besar, tapi tak seorangpun berani menjadi panglima perang. Kemudian Martojoyo mengusulkan kepada sang Raja, agar Kyai Sindujoyo yang berasal dari desa ROOMO agar diperkenankan untuk memimpin pasukan ampel dento. Usul itupun disetujui raja Ampel Dento. Dan Martojoyo diutus untuk memanggil Kyai Sindujoyo agar bersedia menghadap sang Raja.Setelah menghadap raja ampel Dento, Kyai Sindujoyo diajak ke gudang senjata, untuk memilih senjata yang cocok. Dipilihlah tombak yang paling jelek di antara ratusan tombak di gudang.
Dibawah pimpinan Kyai Sindujoyo ternyata ekspedisi ini berhasil merahi kemenangan dan Kyai Sindujoyo berhasil membunuh Kidang Palih. Mendengar berita kekalahan pasukan Gumeno dan kematian Kidang Palih membuat istri Kidang Palih tidak Terima. Dia ingin membalas kematian suaminya kepada Kyai Sindujoyo. Dengan berdandan bak seorang lelaki, istri Kidang Palih berkuda mengejar Kyai Sindujoyo. Pertarungan terjadi Istri Kidang palih tewas dengan tikaman tombak tepat di dadanya. Begitu mengetahui yang terbunuh seorang wanita, Kyai sindujoyo amat menyesal dan meninggalkan medan perang tanpa pamit dengan pasukan yang dipimpinnya.
Seperti halnya di Surakarta, Kyai Sindujoyo menolak pemberia hadiah dari raja Ampel Dento. Ratusan kerbau itu diberikan pada Rakyat Gumeno yang telah ditinggalkan pemimpinnya, dan dia memilih satu kerbau untuk dijadikan tempat bertapa. Dari kali Tanggok dia masuk ke dalam kerbau selama empat puluh hari, dan sampailah bangkai kerbau tersebut di desa KARANG PASUNG sekarang jadi kelurahan KROMAN. Saat keluar dari kerbau Kyai Sindujoyo menjumpai anak buaya yang terjepit akar pohon bakau(Tanjang). Lalu buaya kecil itu diangkat dan dikembalikan ke laut. Kyai Sindujoyo membuka lahan dengan membabat hutan bakau ini untuk membuat rumah yang baru di desa KARANG PASUNG.

========
Mengenal Kitab Sindujoyo Gresik; Asli Gresik, Bahasa Jawa Kuno Tulisan Arab
Kota Gresik ternyata menyimpan khasanah budaya yang bernilai tinggi.
Salahsatunya adalah Kitab Sindujoyo yang ditulis oleh Sindujoyo, murid Sunan
Prapen. Sunan Prapen merupakan kepala pemerintahan Giri dinasti keempat.
TIDAK banyak warga Gresik yang menyimpan keberadaan Kitab Sindujoyo.Sebab, kitab yang asli tersimpan di Makam Dalem Sindujoyo di Kelurahan Lumpur Kecamatan Kota. Adalah Nur Hasyim yang menyimpan salinan kitab yang berisi catatan perjalanan hidup Sindujoyo.
Nur Hasyim yang kini berumur 95 tahun tinggal di Jl RE Martadinata. Dia menyimpan Kitab Sindujoyo setebal 190 halaman. Dia kemudian membedah sebagian kitab yang menceritakan Sindujoyo muda ketika menjadi murid dari Sunan Prapen. Kitab yang diperkirakan sudah berusia lebih dari 150 tahun itu, juga mengisahkan tentang bagaimana Sindujoyo menyebarkan agama Islam. Kemudian mendirikan sebuah perkampungan di sekitar pesisir Gresik yang kini dikenal dengan Kampung Sindujoyo.
Nur Hasyim menambahkan, dalam kitab diceritakan berbagai karakteristik manusia yang ada di dunia. Itu digambarkan adanya kepala manusia yang berada di dalam tubuh seekor kerbau. “Lha ini sampai binatang
yang sudah mati pun, itu masih ada sifatnya manusia,” terangnya dalam bahasa Jawa.
Bahasa yang digunakan dalam kitab itu adalah bahasa Jawa kuno, sedangkan aksara yang digunakan adalah Arab. Cara membaca kitab itu juga tidak sembarangan. “Cara membacanya itu harus ditembangkan dengan Megatruh, Macapat, Kinanthi, sama Asmaradhana,” urainya.
Nur Hasyim menuturkan, kitab tersebut disusun oleh 7 orang, yang semuanya merupakan teman dari Sindujoyo. “Di antaranya Kyai Citro, Kyai Untung, dan Kyai Budar, sedangkan sisanya saya lupa,” tuturnya. Pria yang juga merupakan Pembina Pencak Macan ini mengakui, kitab Sindujoyo yang ada pada dirinya itu adalah bukan sebuah kitab asli. Namun hanya berupa salinan saja. “Yang asli itu ada di Makam Dalam Mbah Sindujoyo sana,”bebernya.
Saat ini, Nur Hasyim hanya berkeinginan untuk terus menjaga kitab tersebut. “Saya ingin supaya anak-anak muda Gresik ini mengetahui sejarah tentang Gresik, khususnya tentang Mbah Sindujoyo,” pungkasnya. (jan/rtn/ris)- Courtessy Radar Surabaya
Kisah Sindujoyo Bertapa dalam Perut Kerbau

Balekambang adalah sebuah balai-balai, yang juga menjadi nama sebuah dusun di Kelurahan Lumpur. Bukan hanya satu balai, namun ada tujuh balai. Di tempat inilah, pada jaman dulu menjadi tempat peristirahatan Kyai Sindujoyo, seorang tokoh sakti yang pernah bertapa dalam perut kerbau.
Balé berarti balai atau tempat berkumpul, baik untuk musyawarah, makan bersama atau sekadar cangkrukan. Sedangkan Kambang diambil dari kata mengambang, yang artinya mengapung. Balai ini dinamakan demikian karena sejarahnya ditemukan dalam keadaan mengambang di laut.
Menurut cerita warga Lumpur, balai ini ditemukan sekitar tahun 1506 M oleh seorang nelayan yang sedang melaut. Awalnya, nelayan tersebut mengira itu adalah sebuah sampah kayu biasa yang mengambang di laut. Kayu tersebut ditarik lagi ke tengah laut agar tidak terombang-ambing yang akan menganggu perjalanan para nelayan melaut.
Namun anehnya, beberapa waktu kemudian, onggokan kayu tersebut kembali mendekat ke perairan Lumpur. Karena penasaran, akhirnya nelayan setempat pun membawa kayu tersebut ke tepi laut. Setelah beberapa lama, nelayan setempat memperhatikan onggokan kayu itu, dan mereka baru menyadari bahwa yang awalnya mereka kira adalah sampah kayu biasa itu ternyata adalah sebuah balai yang terbuat dari kayu. Dan akhirnya oleh para nelayan, balai itu ditarik ke darat dan kemudian sampai sekarang didirikanlah balai tersebut menghadap ke selatan, di lahan yang sekarang bernama Kelurahan Lumpur.
Bangunan Balé Kambang di Kelurahan Lumpur yang sekarang ini bukanlah bentuk aslinya, karena telah mengalami banyak renovasi. Keseluruhan, terdapat tujuh balai, lima berada di Kelurahan Lumpur, sedangkan dua lainnya berada di daerah Kelurahan Kroman. Lima balai yang terdapat di Kelurahan Lumpur adalah Balé Kambang, Balé Wonorejo, Balé Cilik, Balé Purwo, dan Balé Pesusukan. Sedangkan balai yang berada di daerah Kelurahan Kroman adalah Balé Metoko dan Balé Keling.
Meskipun model bangunan ini sangat sederhana, namun banyak filosofi dan makna yang terkandung di dalamnya. Pertama adalah pintu balé yang selalu terbuka atau pun tidak berdaun pintu, menandakan bahwa tempat tersebut selalu terbuka untuk semua kalangan masyarakat. Kemudian, jendela yang selalu terbuka atau juga tidak berdaun jendela
menandakan bahwa masyarakat setempat mau dan siap menerima pendapat dari berbagai macam sudut pandang.
Selain itu, posisi tempat Balé Kambang berdiri, berada di paling depan dibandingkan balé yang lain. Hal itu menandakan bahwa balé tersebut adalah imam atau pemimpin, karena Balé Kambang adalah balé yang pertama kali didirikan, sedangkan balé yang lain berada di garis belakang seperti layaknya makmum sholat berjamaah.
Selain itu, menurut warga setempat, balé-balé tersebut juga melambangkan bangau terbang, yang mengingatkan bahwa wilayah tersebut adalah tempat bersarangnya kawanan burung bangau.
Semua balé dihadapkan ke arah selatan menuju Giri, karena pada waktu itu masyarakat setempat menganut Agama Islam yang diajarkan oleh Sunan Giri. Jika dilihat dari fungsinya, balé berfungsi sebagai tempat peristirahatan para pelaut, tempat komunitas untuk bermusyawarah, dan tempat para istri dan anak-anak nelayan yang menanti kedatangan suami atau ayahnya dari melaut.
=====
Setiap tahunnya, ada tradisi khaul Kyai Sindujoyo yang diadakan tiap akhir bulan Mei di sekitar Balé Kambang. Khaul diadakan untuk mengingat kembali jasa-jasa sang pembabat alas wilayah Kelurahan Lumpur, yakni Kyai Sindujoyo.
Menurut cerita masyarakat, Balé Kambang dulunya adalah tempat peristirahatan Kyai Sindujoyo semasa hidup. Kyai Sindujoyo adalah murid dari Sunan Prapen, putra Kyai Kening dari Dusun Klating, Lamongan.
Nama aslinya adalah Pangaskarto. Julukan Kyai Sindujoyo diperoleh dari Sunan Amangkurat, sejak dia bersama Imam Sujono yang diutus oleh Sunan Prapen untuk membantu Sunan Amangkurat menyelesaikan kemelut dengan Tumenggung Banyumas yang dianggap tidak patuh dengan kebijakan Sunan Amangkurat.
Di tengah perjalanan menghadap Sunan Amangkurat, mereka bertemu dengan kakak beradik yang beranama Salam dan Salim. Hingga akhirnya mereka berempat diberi tugas untuk menangkap Tumenggung Banyumas yang sakti mandraguna.
Keberhasilan mereka menangkap Tumenggung Banyumas disambut gembira oleh Sunan Amangkurat, bahkan mereka diberi hadiah yang begitu banyak, tapi Pangaskarto menolak semua hadiah itu. Dari ratusan kerbau yang diberikan oleh Sunan Amangkurat, hanya satu kerbau bulé kurus sebagai pilihannya untuk dijadikan sampan di atas arus Bengawan Solo. Dan kerbau-kerbau hadiah itu harus diberikan kepada rakyat yang membutuhkannya.
Sik, sik… Opo maksudé dijadikan sampan? Sampan itu kan perahu. Kok kerbau dijadikan perahu, itu maksudnya bagaimana? Apa kerbau itu bisa berenang, trus dinaiki di atasnya begitukah? Entah bagaimana caranya, diceritakan bahwa Ki Sindujoyo masuk ke dalam perut kerbau dan bertapa selama empat puluh hari di dalamnya.
Karena lêlakon yang aneh ini, Sunan Amangkurat memberi julukan pada mereka berempat. Pangaskarto diberi gelar Sindujoyo, Imam Sujono mendapat gelar Surogarjito, Salam dan Salim masing-masing bergelar Tirto Asmoro dan Ening Asmoro. Sejak saat itulah, Pangaskarto berganti nama menjadi Sindujoyo, yang sekarang namanya diabadikan menjadi nama suatu jalan di daerah Kelurahan Lumpur.
Kisah mengenai Kyai Sindujoyo ini dapat dipelajari dalam Kitab Sêrat Sindujoyo yang telah diterjemahkan. Tentu saja ada beberapa versi cerita yang beredar di masyarakat berdasarkan perbedaan penafsiran atas kitab tersebut.
Kembali ke cerita semula, akhirnya sampailah mereka di salah satu desa. Lantas mereka berpisah. Surogarjito tinggal di Desa Palangtrepan, Salam dan Salim ke arah yang lain, dan Pangaskarto (Sindujoyo) kembali masuk ke perut kerbau bulé yang sudah menjadi bangkai tersebut mengikuti arus Bengawan Solo dan hingga sampailah bangkai tersebut di Desa Druyung. Di desa Druyung inilah Kyai Sindujoyo akhirnya keluar dari perut bangkai kerbau bulé dan berjalan ke timur, lalu tinggallah di Desa Roomo.
Di desa ini, Sindujoyo mendirikan gubuk sebagai tempat tinggal. Setelah menetap di sana beberapa lama, Kyai Sindujoyo menikah dengan Nyai Pesalatan dan dikaruniai beberapa anak. Beliau bekerja sebagai nelayan sodoh atau mencari ikan dengan alat sejenis serok besar yang didorong dengan berjalan di air.
Ketika akhirnya Kyai Sindojoyo wafat, sekarang malah tidak diketahui yang mana makamnya. Ada pendapat yang berbeda, karena terdapat dua makam. Yang pertama terdapat di Karang Poh, Kabupaten Gresik dan yang satu lagi terdapat di dekat makam Sunan Prapen yang juga masih berada di Kabupaten Gresik. Karena Kyai Sindujoyo dulunya adalah murid Sunan Prapen dan telah menjadi orang kepercayaan atau tangan kanan Sunan Prapen.

1 comment:

  1. Terus klo yg di karangpoh bukan mbh sindujoyo ,! Siapa dong ?

    ReplyDelete