SENDANG KLANGKAPAN - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Friday, 11 March 2016

SENDANG KLANGKAPAN




Asal-usul Sendang Klangkapan, ada dua versi terkait legenda Dusun Klangkapan. Versi yang pertama datang dari cerita yang berkembang dari mulut ke mulut, yaitu bahwa sendang ini muncul ketika Sunan Kalijaga sedang mampir di sekitar sini dan mencari air untuk wudhu. Karena tidak menemukan sumber air, maka beliau nglokop (mengelupasi) lapisan tanah. Dari tanah tersebut, muncul air yang cukup deras dan dapat dipergunakan untuk wudhu. Dari istilah nglokop tersebut, akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi klangkapan.
Sedangkan cerita dari versi kedua cukup panjang. Dalam situs pariwisata Jogja, Drs. H. Pardi Suratno, M. Hum dalam bahasa Jawa menuliskan asal mula Dusun Klangkapan. Bermula dari seorang budiman bernama Ki Tunggulwana yang menjadi pelopor desa membuka lahan yang dulunya berupa hutan menjadi pemukiman dan persawahan. Tempat tersebut menjadi semakin ramai. Menurut wahyu yang diterima Ki Tunggulwana, tempat ini akan tetap subur dan penuh damai sejahtera asalkan seluruh warga saling tolong menolong dan mensyukuri anugerah yang diberikan oleh Tuhan.
Dengan adanya rejeki yang berlimpah, beberapa warga mengusulkan untuk diadakan ritual bersih desa untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan. Rencana ini diterima baik oleh Ki Tunggulwana, sehingga acara bersih desa akan diselenggarakan pada hari Selasa Kliwon (Anggara Kasih) waktu itu. Ketika upacara tersebut dilangsungkan, muncullah dua orang -pria dan wanita- berbusana compang-camping dan sakit kulit. Mereka berdua meminta makan di tengah-tengah acara tersebut. Merasa terganggu dengan aroma kedua orang tersebut, Jagal Kasusra dan gengnya mengusir kedua orang itu. Namun kedua orang itu tidak mau pergi karena ingin meminta sedikit makanan. Semakin risih, Jagal Kasusra yang dipanas-panasi rekan-rekannya pun menghajar kedua orang itu hingga tewas. Tewasnya kedua orang itu menimbulkan keributan, dan akhirnya Ki Tunggulwana pun turun tangan.
Ki Tunggulwana kecewa dengan sikap Jagal Kasusra yang tidak mengindahkan perkataannya, yaitu harus menjaga sikap dan saling tolong menolong, malah sebaliknya -membunuh dua orang yang tak bersalah. Ki Tunggulwana memerintahkan beberapa warga untuk menguburkan dua jenasah tersebut dan diadakan ritual agama. Tanpa rasa bersalah, Jagal Kasusra dan gengnya mengambil kedua jenasah tersebut dan dibuang di sungai. Melihat kejadian ini, Ki Tunggulwana mencari kedua jenasah yang dihanyutkan di sungai tersebut tetapi tidak ditemukan. Ki Tunggulwana dan warga desa pun menyesali kejadian ini.
Beberapa minggu terasa biasa-biasa saja, namun tidak lama kemudian bencana pun datang. Semua hewan ternak lumpuh dan terkena penyakit kulit. Seluruh warga pun panik. Seseorang di antaranya yang bernama Ki Sura meminta petunjuk dari Ki Tunggulwana. Menurut Ki Tunggulwana, kejadian ini terkait dengan kematian dua orang tak bersalah ketika acara bersih desa yang lalu. Ki Tunggulwana menyarankan seluruh warga desa untuk memandikan seluruh hewan ternaknya di sebuah sungai di tepi desa. Akan tetapi, sungai tersebut telah mengering. Ki Tunggulwana pun menyebutkan bahwa peristiwa yang sama pernah terjadi di Desa Tempel.
Di tengah kekacauan yang terjadi di desa, seorang bernama Ki Naya berkata bahwa ada orang yang sepertinya mampu mengatasi kekacauan ini, . Namun Ki Tunggulwana meragukan hal ini, beliau pun pergi dan bertapa di suatu tempat berhari-hari tanpa diketahui oleh seluruh warga. Setelah beberapa hari, Ki Tunggulwana pun kembali. Warga yang tadinya kalang kabut menjadi senang kembali. Ki Tunggulwana menyampaikan beberapa penglihatannya kepada para warga. Yang pertama, mereka harus mengucapkan syukur kepada Tuhan melalui bersih desa yang harus diadakan setiap tahun. Yang kedua, mereka juga harus menjaga sikap serta tidak menyakiti orang lain. Yang ketiga, mereka harus beribadah kepada Gusti Allah. Dengan melakukan ketiga hal tersebut, niscaya Ngara-ara (nama wilayah tersebut waktu itu) dan Seyegan tidak akan terkena bencana serupa. satu lagi, para warga entah laki-laki atau perempuan, entah tua atau muda diharapkan pipis di bawah pohon beringin yang ditunjuk oleh Ki Tunggulwana.
Keesokan harinya, para warga yang mau pipis dikejutkan oleh munculnya dua sendang di bawah pohon beringin tersebut. Sendang besar yang terletak di utara selanjutnya disebut sendang lanang (laki-laki) dan sendang kecil yang terletak di selatan selanjutnya disebut sendang wadon (perempuan). Para warga yang heran akan kejadian tersebut melaporkan kepada Ki Tunggulwana. Ki Tunggulwana pun hanya menjawab bahwa hal ini sudah ada di dalam wahyu yang ia terima. Ki Naya pun meminta Ki Tunggulwana untuk memberi nama kedua sendang tersebut. Karena terletak di bawah pohon beringin besar yang sudahnglingkap (terkelupas) karena sudah terlalu tua, maka sendang tersebut diberi nama Sendang Klangkapan yang mengalami pergeseran ucapan dari kata nglingkap.

SITUS KLANGKAPAN
Situs Klangkapan terdiri dari sebuah yoni yang berada di area Sendang Klangkapan, Desa Margodadi, Sayegan, Sleman. Keberadaan suatu yoni menunjukkan bahwa di area Dusun Klangkapan dahulunya pernah terdapat aktivitas yang berlatar belakang agama Hindu, sebab yoni merupakan simbol aspek wanita yang juga sebagai penggambaran istri Dewa Siwa (dewa Hindu). Yang kemungkinan di sekitar situs ini dahulu digunakan umat hindu kuno buat beribadat. dan bukan tidak mungkin juga sendang klangkapan ini dahulu merupakan sebuah petirtaan.



No comments:

Post a Comment