Legenda Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Thursday 10 March 2016

Legenda Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku




Sunan Muria ( Umar Said ) adalah salah satu tokoh terkenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa dan salah satu anggota Wali Songo. Dalam menyebarkan ajaran agama, Sunan Muria mendirikan padepokan (pesantren) yang mengambil markas di salah satu pegunungan Muria (Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus – saat ini --) sekaligus tempat tinggalnya. Sebagai tokoh yang cukup memiliki pengetahuan terhadap ajaran-ajaran agama (Islam), Sunan Muria memiliki banyak murid yang datang berguru dari segala penjuru. Salah satu dari sekian banyak muridnya terdapat nama Rinangku (Raden Bagus Rinangku), seorang murid yang memiliki kepandaian di pesantren tersebut. Ketampanan dan kepandaian Rinangku menjadi daya tarik tersendiri yang membuat seorang putri Sunan Muria bernama Nawangsih (Raden Ayu Dewi Nawangsih) jatuh hati dan mendapat sambutan dari Rinangku. Keduanya menjadi sejoli yang sedang jatuh cinta. Mengetahui gelagat ini, Sunan Muria mulai khawatir dengan hal-hal yang tidak diinginkannya. Namun untuk melarang begitu saja hubungan kedua insan, hanya akan menurunkan kewibawaan Sunan Muria yang terkenal dengan seorang yang alim dan bijaksana. Maka dicarilah cara agar dapat menjauhkan hubungan tersebut dengan cara-cara yang lebih dapat diterima masyarakat. Kebetulan musim tanam padi telah berlangsung dan tanaman menjelang panen. Areal persawahan milik pesantren Sunan Muria sangat luas dan menjangkau sampai ke desa yang lain yakni Dusun Masin (Desa Kandangmas Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus –saat ini--). Persawahan di dusun Masin juga bersiap untuk panen. Dari kondisi ini, Sunan Muria memiliki ide untuk dapat menjauhkan hubungan asmara putrinya dengan Rinangku yang semakin hari semakin terlihat sangat dekat. Dikirimlah Rinangku ke dusun Masin mengemban tugas menjaga tanaman padi di persawahan agar tidak diserang hama atau burung-burung pemakan padi sehingga diharapkan hasil panen akan melimpah. Jarak antara desa Colo dan Masin cukup jauh dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Berangkatlah Rinangku ke dusun Masin untuk menjalankan tugas yang diembankan oleh gurunya, yang artinya dia harus berpisah dengan pujaan hatinya dalam jangka waktu yang tidak ditentukan karena Rinangku harus bertempat tinggal di dusun Masin. Dari hari ke hari, Dewi Nawangsih yang dilanda mabuk cinta pada kekasihnya (Rinangku) tidak kuasa menahan rindu yang kian hari semakin dirasakan menyesakkan dada. Dengan kenekatannya, Dewi Nawangsih kabur dari tempat tinggalnya berniat menyusul pujaan hatinya.
Kepergian Nawangsih dari rumah selama berhari-hari yang belum juga pulang, membuat ayahnya (Sunan Muria) menjadi murka. Sunan Muria curiga kepergian Nawangsih untuk menemui Rinangku yang memang dicintai putinya. Diutuslah beberapa santri (murid pesantren) ke dusun Masin untuk menyelidiki apakah Nawangsih benar-benar ada disana. Dugaan Sunan Muria sangat benar, beberapa murid yang mendatangi lokasi persawahan menjumpai kedua insan yang sedang mabuk kepayang sedang bermesraan melepas kerinduan di gubug (rumah-rumahan kecil tempat menjaga tanaman padi), hingga tidak menghiraukan burung-burung memakan buah padi. Salah seorang dari murid utusan tersebut balik ke pesantren untuk melaporkan kejadian yang telah dilihatnya. Beberapa murid tetap tinggal dan menegur Rinangku. Terjadilah dialog :
“ Hei.. Rinangku… apa yang telah kau lakukan saat ini sungguh tidak pantas dan menodai ajaran-ajaran luhur yang telah disampaikan guru di pesantren”.
Rinangku membalas : “ Apa kesalahanku hingga kau berkata seperti itu? Aku sudah patuh pada tugas guruku untuk menjaga sawah ini walaupun hatiku sangat berat menjalani, tetapi tetap saja aku lakukan, bukankah ini menunjukkan kepatuhanku pada guru?”
Seorang murid kembali berkata : “Inikah yang kau katakan menjaga sawah? Lihatlah burung-burung itu pesta pora melahap tanaman padi milik kita, tapi kau tidak berusaha menghalaunya, tetapi kau malah asyik bermesraan dengan Nawangsih putri guru. Saya yakin guru akan murka jika mengetahui perbuatanmu ini”.
Rinangku kembali menjawab : “ Aku masih belum tahu apa kesalahanku. Aku disuruh menjaga sawah ini dan telah aku jaga siang malam walaupun tidur diatas gubug ini. Bukankah aku disuruh menjaga sawah? Bukan menjaga burung-burung? Jika memang burung-burung itu memakan padi, bukankah memang sudah memakannya? Apakah aku harus melarang burung-burung cari makan? Bagaimana jika nanti burung-burung itu kelaparan? Apakah aku tidak berdosa menjadi penyebab burung-burung itu kelaparan?” Rinangku masih menimpali, “ Mengenai persoalan cintaku dengan Nawangsih, apa hak kalian melarangku? Kami sudah dewasa dan mengerti bagaimana perasaanku. Mengapa kami harus dipisahkan? Kalian lihat sendiri bagaimana kekuatan cinta yang kami miliki, tak bisa dipisahkan dengan cara apapun. Kalian ikut mengurusi hubungan cinta kami, jangan-jangan kalian iri atau cemburu”.
Seketika merah padam muka para murid mendengar kata-kata Rinangku. Saking menahan marahnya mereka hanya diam dengan hati dongkol. Mau balik ke pesantren tetapi tugas yang diberikan gurunya belum mencapi hasil, mau tetap disitu tetapi hatinya marah. Maka beberapa murid masih tetap diam di lokasi sambil menunggu reaksi dari gurunya yaitu Sunan Muria.
Sementara itu, salah satu murid yang bertugas menyampaikan laporan telah sampai ke pesantren. Murid itu segera menceritakan apa adanya sesuai yang dilihat. Sunan Muria sangat murka mendengar penuturan muridnya perihal kelakuan salah seorang muridnya yaitu Rinangku dan juga putrinya yaitu Nawangsih. Bergegas, Sunan Muria bersama salah seorang murid yang tadi, menuju lokasi persawahan Masin untuk melihat sendiri apa yang telah terjadi pada murid dan putrinya. Membawa senjata panah untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi di perjalanan, Sunan Muria dengan muka bergetar menahan marah, sampai ke lokasi yang ditunjukkan salah satu muridnya. Benar saja, kini matanya melihat sendiri apa yang telah terjadi dihadapannya. Rinangku dan Dewi Nawangsih sedang asyik memadu kasih di atas gubug melepaskan semua hasrat kerinduan yang selama ini dipendam. Sedangkan di areal lain murid-muridnya diam mematung tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan murka yang tak bisa dibendung lagi, dihunuslah satu anak panah diletakkan di busur siap dibidikkan ke sasaran. Dua insan yang sedang bergelora asmara tak menyadari apa yang tengah terjadi pada dirinya. Hanya teriakan kaget bercampur kesakitan tatkala mereka menyadari sebuah benda tajam menembus badannya. Dua tubuh yang sedang berpelukan itupun tak kuasa menahan laju anak panah yang menembus dada mereka berdua. Mereka kini jatuh terkulai dengan badan masih menempel karena tertembus anak panah. Mereka mengerang kesakitan menunggu ajal, dan teriakan kutukan-kutukan pun terjadi. Dikarenakan sudah tak kuasa lagi menahan amarah, Sunan Muria terlambat menyadari bahwa apa yang dilakukan baru saja telah menghabisi nyawa salah satu putrinya. Ia segera berlari menuju kedua jasad untuk memberikan pertolongan. Murid-muridnya yang berada disitu dipanggil agar turut membantu memberikan pertolongan. Namun justru yang didapati adalah situasi dimana para murid tersebut diam terpaku tak bisa berbut apa-apa karena shock mengalami peristiwa yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. Sunan Muria menjadi marah lagi dan mngutuk para muridnya.
“ Melihat situasi ini, ternyata kalian hanya diam membisu saja, tak berbuat apa-apa. Dasar kalian. Kalian tak ubahnya seperti pohon-pohon di sekitar sini yang tak bergerak apa-apa melainkan hanya diam membisu..!”. Seketika para murid itupun berubah bentuk menjadi pohon-pohon yang mengelilingi areal tersebut. Dengan dibantu beberapa penduduk yang akhirnya datang mendengar kehebohan yang terjadi, maka jasad kedua manusia yang tertusuk anak panah, dimakamkan diarea tersebut hanya satu liang makam dengan posisi masih berpelukan.
(Sumber : legenda yang beredar di masyarakat).
Fenomena Ritus
Malam Jum’at Wage, adalah hari keramat bagi orang-orang tertentu yang meyakini adanya berkah yang datang, yang berasal dari legenda Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku. Di hari (atau malam) tersebut, makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku yang terletak di kawasan Dusun Masin Desa Kandangmas Kecamatan Dawe Kudus dibanjiri pengunjung (peziarah) yang bermaksud akan mendapatkan kekuatan lebih terhadap segala usahanya selama ini agar berhasil, dengan melakukan ziarah (ritualisasi) di makam tersebut. Ratusan orang bahkan pernah mencapai ribuan pengunjung mendatangi makam secara perorangan maupun rombongan dengan berbagai harapan mendapatkan keberhasilan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Istilah bagi masyarakat setempat dinamakan ngalap berkah. Kebanyakan yang melatarbelakangi harapan keberhasilan ini adalah demi kesuksesan usaha (wiraswasta, bisnis) dan sebagian kecil berupa kenaikan pangkat (bagi pegawai) serta kepentingan lain yang akhirnya turut menyertai. Mengacu pada penafsiran mitologi yang beredar dan populer di kalangan masyarakatnya, maka bentuk upacara ritualnya pun tergolong unik. Yakni, setelah melakukan penziarahan (memanjatkan doa yang dipimpin juru kunci makam), maka para pengunjung melanjutkan upacara ritual inti dengan melakukan hubungan intim (hubungan seksual) di sekitar areal makam tersebut dengan penziarah lain lawan jenis. Ritual sex inipun memiliki syarat-syarat tertentu, antara lain : pelaku ritual sex (laki-laki – perempuan) belum saling mengenal satu sama lain sebelumnya, hanya dilakukan satu kali saja oleh satu pasangan (yaitu di malam itu), keberhasilan yang diharapkan hanya dimiliki oleh satu orang saja dari setiap pasangan (bisa pihak laki-laki saja atau pihak perempuan saja), dan mengikat sebuah perjanjian yakni siapa dari pasangan tersebut yang menerima kesuksesan maka akan memberikan kontribusinya (bantuan materi) kepada pasangannya. Perjanijian ini bersifat mengikat (secara sugesti) secara periodik, dan memiliki sanksi (sugestif pula) bahwa yang melanggar perjanjian maka seluruh harta yang diperolehnya akan cepat habis dan kembali jatuh miskin.
Dari waktu ke waktu situs makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku semakin ramai dikunjungi orang. Pengunjung datang dari berbagai kota terutama sekitar Kudus, seperti Jepara, Demak, Pati dan Grobogan. Pada hari-hari biasa (diluar malam Jum’at Wage) juga sering ditemui orang-orang yang melakukan ziarah walaupun tidak banyak. Namun peziarah di hari-hari biasa tidak melakukan ritual sex. Hanya di malam yang telah ditentukan yakni malam Jum’at Wage ritual sex diperbolehkan.
‘Kekeramatan’ makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku sangat diyakini oleh penduduk setempat ( dusun Masin). Hal ini terlihat pada disetiap acara yang diselenggarakan (hajat penduduk) seperti kelahiran, khitanan, perkawinan atau hari-hari yang dianggap memiliki momen khusus penduduk setempat memberikan persembahan berupa makanan di makam tersebut. Jenis makanan yang dipersembahkan biasanya berupa ingkung (ayam secara utuh yang telah dimasak) dan diberikan kepada juru kunci untuk dipanjatkan doa. Disamping itu, makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku juga menyisakan kekeramatan lain berdasar mitologi, yakni larangan menebang pohon yang berdiri di lokasi makam apapun kepentingannya, yang barangsiapa berani melanggarnya akan menerima kutukan bencana. Larangan ini sangat dipatuhi oleh penduduk setempat hingga saat ini.
Problematika dan Dilema
Keyakinan masyarakat terhadap makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku yang dianggap memiliki kekeramatan tersendiri menimbulkan lokasi makam ini banyak dikunjungi orang. Pada hari-hari biasa dan boomingnya pada malam Jum’at Wage dimana puluhan dan bahkan pernah mencapai angka ratusan pengunjung memberikan dampak yang dianggap positif maupun pengaruh yang lain berupa pergeseran-pergeseran makna. Dampak ekonomi kerakyatan misalnya, terdapat pada kesempatan bagi para penduduk setempat untuk membuka warung-warung yang menyedikan makanan dan minuman, atau membuka lahan parkir kendaraan (penitipan motor atau mobil) bagi kebutuhan para pengunjung yang datang. Dari sektor ini, membuka peluang usaha bagi masyarakat (setempat) yang tentunya memberikan keuntungan secara ekonomi. Bagi pemerintah desa setempat uang kas yang terkumpul (retribusi) dari para pengunjung memberikan kontribusi yang lumayan bagi pendapatan desa.
Keragaman kepentingan dari banyaknya pengunjung mulai dari yang memang benar-benar melakukan ritual, sekedar melihat, iseng dan lain-lain membawa pengaruh yang lain pula bagi perkembangan eksistensi makam ini. Keramaian yang tercipta dengan berbagai motivasi inilah yang kemudian juga turut dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu demi kepentingannya sendiri, yaitu munculnya kelompok pekerja seks komersial. Mula-mula para penjaja tubuh ini berkedok sebagai pengunjung biasa dalam menggaet mangsanya. Namun, lama – kelamaan aksi ini menjadi semakin terang-terangan atau vulgar dan bahkan menjadi sulit dibedakan mana yang pengunjung ritual dan mana yang penjaja seks komersial. Salah satu persoalan inilah yang kemudian menimbulkan distorsi bagi citra ritualisasi di makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku.
Proses perkembangan pemikiran manusia (masyarakat) melalui pendidikan, ekonomi, maupun kesadaran agama, yang cenderung bersifat pragmatis, tekstual dan terukur menjadikan posisi dilematis bagi masyarakat dalam menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat kebudayaan. Pada realitas tertentu, fenomena yang terjadi pada sebuah tradisi walaupun berisi ritus sex misalnya, tentunya memuat kandungan nilai-nilai local wisdom (kearifan lokal) yang mestinya dapat ditelusuri sebagai bahan pemikiran, perenungan dan aplikasinya pada pola-pola tindakan. Sedangkan pada realitas yang berlawanan masyarakat dihadapkan pada norma, aturan dan hukum (moral maupun positif) yang darinya memberikan kekuatan ‘memaksa’ bagi masyarakat untuk mematuhinya. Posisi dilematis akan menjadi persoalan tersendiri manakala masyarakat dihadapkan pada konsekuensi memilih, dimana masyarakat itu sendiri memiliki keyakinan kedua realitas tersebut sama-sama dibutuhkan demi kelangsungan dan keteraturannya. Masyarakat haya disodori pada sebuah pilihan tanpa upaya-upaya pencarian solusi. Pilihan hanya menghasilkan konsuekensi realitas yang satu akan menghapus atau menghilangkan realitas yang lainnya.
Kearifan lokal barangkali perlu dibangkitkan kembali untuk mengurai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dilematika masyarakat terutama yang berhadapan dengan nilai tradisi dan nilai moralitas. Putus asa dan harapan, moral dan tindakan, erotika dan etika adalah proses alamiah yang selalu dijalani setiap manusia. Ironisme senantiasa hadir di depan mata : semangat menjalani kehidupan pluralitas senantiasa dikobarkan, pada saat yang sama pemaksaan terhadap satu keyakinan juga ditanamkan.
Etika dan Erotika
Etika yang berarti "timbul dari kebiasaan" (Yunani Kuno: "ethikos") adalah sesuatu dimana dan bagaimana mempelajari nilai atau kualitas mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti : baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Dengan kata lain, etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Sedangkan erotika atau erotisme dihubungkan dengan tindakan atau ekspresi yang dimunculkan oleh tubuh sedemikian rupa yang dapat menggugah hasrat birahi atau seksualitas. Walaupun kesan dangkal selalu tak terhindarkan, namun erotika bisa menjadi media untuk menghidupkan perasaan, untuk mengekspresikan dan menyatakan dirinya. Kemarahan pada nasib, protes terhadap ketidakadilan hidup, dan ironisme kenyataan.
Kekayaan tradisi yang dimiliki bangsa telah menunjukkan bagaimana raga dirayakan tanpa meninggalkan ruh, atau sensualitas diekspresikan tanpa menghilangkan kesakralan. Di setiap masa dan di tiap tempat, raga dan erotika akan terus dirayakan dan punya ruangnya sendiri untuk tampil. Perayaan itu adalah bagian yang sah dan alamiah dari ekspresi manusia, dan dengan jalan seperti itu hidup dianggap menemukan detaknya kembali. Tetapi yang menyedihkan, adalah senantiasa ada orang-orang yang cemas dan jijik dengan semua itu. Mereka menolak kodratnya sendiri, dan kemudian dengan membabi buta bernafsu memberangus ekspresi-ekspresi erotika tersebut.
Memahami perilaku sosial, tidak bisa dengan menggunakan paradigma hukum saja, baik itu hukum moral (agama) atau hukum positif (negara). Hal itu hanya akan menimbulkan benturan dengan nilai-nilai sosial masyarakat yang notabene memiliki sistem sendiri. Menghadapi persoalan seperti dimaksud yang perlu dilakukan adalah memahami apa yang ada di balik peristiwa tersebut.
Dalam masyarakat Jawa terdapat kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan yang melebihi, sebagai misal : kesaktian, arwah atau roh leluhur dan makhluk-makhluk halus. Dalam kerangka inilah ritus dikonstruksi, dijalankan dan direproduksi melalui modifikasi-modifikasi. Keberadaan ritus secara keseluruhan telah menunjukkan makna itu sendiri, baik secara keberadaannya langsung maupun makna-makna yang bersifat simbolik. Makna hanya dapat ‘disimpan’ di dalam symbol yang mengacu pada ‘sesuatu yang lain (yang melampaui)’. Dari hal inilah, ritus dapat menambah kenyamanan sekaligus merefleksikan solidaritas sosial dimana sendi-sendi kesadaran kolektif dijadikan kekuatan.
Masyarakat (terutama Jawa) memiliki suatu kecenderungan untuk menilai kebenran tidak secara hitam putih serta tidak menilainya dengan klaim bahwa kebenaran hanya ada dalam satu kepercayaan saja.
Tatkala modernitas mengantarkan pada kebutuhan pragmatis, maka dibutuhkan upaya perenungan dan penghayatan terhadap nilai-nilai tradisi yang kaya makna – makna keselarasan. Keselarasan dapat dimaknai sebagai kemampuan manusia untuk mengatur keseimbangan emosi dan menata perilaku yang tidak menimbulkan keguncangan. Perilaku ini termanifestasikan dalam sikap hidup, yaitu : saling menjaga diri, menjaga cipta, rasa, karsa dan tindakan. Nilai-nilai ini dapat menjadi acuan agar masyarakat senantiasa anggun dalam melantunkan kidung hidupnya walaupun terjadi ritme-ritme yang riuh dan gaduh. ----Tinggal bagaimana menjiwainya----
KISAH VERSI LAIN YANG SERUPA
SEJARAH RADEN AYU NAWANGSIH DAN RADEN BAGUS RINANGKU DI DESA KANDANGMAS KECAMATAN DAWE KABUPATEN KUDUS
A. Latar Belakang Masalah
Dalam apa yang disebut Legenda Hutan Jati Masin, diceritakan betapa Sunan Muria mempunyai banyak murid, yang bukan hanya belajar ilmu agama, melainkan juga berkesenian dan olah kanuragan. Murid-muridnya datang ke Colo dari berbagai tempat seperti Tayu, Pati, dan Pandanaran yang kini disebut Semarang, dari daerah inilah datang berguru Raden Bagus Rinangku. Syahdan, karena sang pemuda tampan dan sakti, putrinya yang bernama Raden Ayu Nawangsih saling jatuh hati dengan pemuda tersebut. Adapun Sunan Muria ternyata tidak merestuinya, karena telah memilih Kyai Cebolek sebagai menantu. Sampai di sini, kita saksikan suatu manuver yang sering ditemukan dalam legenda Jawa: Sunan Muria menugaskan Bagus Rinangku untuk menumpas para perusuh, yang merampok dan membunuh di sekitar Muria, tentu maksudnya agar Bagus Rinangku perlaya di tangan mereka. Namun ternyata pemuda Pandanaran ini bukan hanya berhasil membasminya, melainkan juga membuat salah seorang di antaranya bertobat dan memperdalam ilmu agama. Kelak mantan perampok ini terkenal sebagai Kiai Mashudi.
Melihat dari sekulumit perjalanan di atas, maka penulis ingin memahami lebih dalam mengenai sejarah Raden Ayu Nawangsih dengan Raden Bagus Rinangku yang ada di Dukuh Masin Desa Kandangmas Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus.
B. Pembahasan
Sunan Muria adalah salah seorang anggota dari Walisongo yang menyebarkan agama Islam didaerah Kudus tepatnya di Desa Colo Kecamatan Dawe dan Colo juga dikenal dengan Lereng Gunung Muria. Sebagai seorang muballigh yang terkenal karena ilmu dan kesaktian yang dimiliki, maka beliau mempunyai banyak murid yang ingin berguru atau mencari ilmu (ngangsu kaweruh) kepada Sunan Muria.
Raden Bagus Rinangku adalah salah seorang dari murid Sunan Muria yang terkenal paling cerdas, cakap juga tampan rupanya, dan karena kelebihan yang dimiliki ini, Raden Ayu Nawangsih salah seorang putri Sunan Muria jatuh cinta kepada Raden Bagus Rinangku, bahkan mereka telah saling berjanji akan mengarungi hidup bersama meskipun halangan dan rintangan datang menghadang.
Sunan Muria mengetahui hal ini dan bermaksud untuk menggagalkan maksud dari dua muda-mudi yang sedang kasmaran ini, karena Sunan Muria telah berjanji pada seorang muridnya yang bernama Kyai Cebolek untuk menjodohkan Raden Ayu Nawangsih dengan dirinya. Untuk melaksanakan rencana ini, Sunan Muria menyiapkan berbagai tugas berat untuk Raden Bagus Rinangku dengan harapan dia gagal melaksanakan tugas itu dan mengurungkan niatnya untuk bersatu dengan Raden Ayu Nawangsih karena dia merasa malu kepada Sunan Muria.
Salah satu rencana dari Sunan Muria adalah dengan memerintah Raden Bagus Rinangku untuk membasmi geromblan pengacau atau perusuh yang sering merampok dan merampas harta penduduk, dan bila Raden Bagus Rinangku maka dialah justru yang menjadi korban keganasan perusuh dan matilah Raden Bagus Rinangku. Namun perkiraan Sunan Muria meleset karena Raden Bagus Rinangku berhasil melaksanakan perintah bahkan telah menyadarkan salah seorang anggota perusuh untuk bertobat.
Mengetahui rencananya gagal, Sunan Muria telah menyiapkan rencana yang lain. Tugas berat kedua yang diperintahkan Sunan Muria kepada Raden Bagus Rinangku adalah memerintahkan dia untuk menjaga burung (tunggu manuk) agar tidak memakan padi yang sudah menguning di sawah yang berada jauh dari Colo atau tepatnya di Dukuh Masin (sekarang Dukuh Masin masuk Desa Kandang Mas Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus).
Suatu hari Sunan Muria mengecek apakah Raden Bagus Rinangku telah melaksanakan tugasnya dengan baik, namun ternyata Raden Bagus Rinangku melalaikan tugasnya dengan membiarkan burung-burung bebas memakan padi yang sudah menguning dan yang lebih membuat Sunan Muria marah adalah karena Raden Bagus Rinangku tertangkap basah sedang memadu kasih dengan Raden Ayu Nawangsih.
Melihat hal ini Sunan Muria marah besar dan Raden Bagus Rinangku segera memohon maaf kepada Sunan Muria, dan berjanji sanggup mengembalikan padi-padi yang telah dimakan burung-burung tersebut pada keadaan semula. Dengan kesaktian dan ijin dari Tuhan, maka kembalilah padi-padi itu pada keadaan semula.
Sunan Muria semakin marah dengan apa yang dilakukan Raden Bagus Rinangku, karena telah memamerkan kesaktian yang dimilki kepada Gurunya. Karena merasa tersaingi, maka Sunan Muria menarik panahnya dan diarahkan ke Raden Bagus Rinangku dengan maksud untuk menakut-nakutinya, namun anak panah itu melesat dan menembus perut Raden Bagus Rinangku tembus sampai punggungnya, dan tewaslah Raden Bagus Rinangku.
Melihat kejadian ini, Raden Ayu Nawangsih menagis meraung-raung dan segera menubruk tubuh Raden Bagus Rinangku yang tertelungkup di tanah. Anak panah yang menembus punggung Raden Bagus Rinangku itu menembus pula perut Raden Ayu Nawangsih, dan tewaslah Raden Ayu Nawangsih di hadapan Ayahnya. Jenazah kedua muda-mudi ini pun dimakamkan diatas sebuah bukit di mana keduanya memadu kasih.
Kematian muda-mudi ini amat menggemparkan penduduk sekitar Masin. Para pelayat yang ikut mengantarkan jenazah kedua muda-mudi ini tertegun berdiri terpaku, keharuan mencekam mereka yang berduka ketika mendengarkan nasehat Sunan Muria. Setelah jenazah selesai dikuburkan, para pelayat masih meratapi nasib kedua muda-mudi itu, dan Sunan Muria berkata “ah bagaikan pohon jati saja engkau semua, berdiri terpaku tak bergerak dibukit”. Ketika itu pula semua pelayat berubah menjadi pohon jati. Hingga sekarang pohon jati itu masih ada dan pohon-pohon jati itu dikeramatkan oleh penduduk sekitar makam Raden Bagus Rinangku dan Raden Ayu Nawangsih.
C. Analisis


Bentuk : Cerita Raden Bagus Rinangku dan Raden Ayu Nawangsih disebarkan dari mulut ke mulut sehingga disebut sebagai cerita lisan atau dalam bahasa ilmiahnya disebut folklore lisan. Namun karena ada perhatian yang besar dari salah seorang penulis bernama Umar Hasim, maka cerita diatas telah ditulis dalam sebuah bab dalam buku yang berjudul “Sunan Muria” (Antara Fakta dan Legenda). Meskipun sudah ditulis dalam bentuk buku cerita diatas tetap merupakan folklore. James Danandjana menyatakan bahwa “Folklor tidak berhenti folklore apabila ia telah diterbitkan dalam bentuk cetakan atau rekaman (Danandjaja, 1986 : 5).
Fungsi : cerita diatas memiliki fungsi sebagai alat pendidikan, karena didalammya terdapat pesan moral yang sangat besar. Pertama, bahwa kita harus senantiasa menghormati guru kita, meskipun guru mempunyai maksud tersembunyi yang tidak ketahui terhadap keselamatan diri kita; Kedua, jangan sampai kita melanggar perintah guru karena guru merupakan orang tua kita kedua setelah orang tua kandung kita dirumah. Ketiga, bahwa kisah ini memiliki tendensi tertentu kepada Sunan Muria, dimana telah memojokkan Sunan Muria sebagai seorang pembunuh, padahal tidaklah mungkin seorang ulama besar bertindak demikian kecuali terpaksa, terbunuhnya Raden Bagus Rinangku adalah ketidaksengajaan karena Raden Bagus Rinangku telah berbuat dosa besar, yaitu berzina. Maksud ungkapan menjaga burung (Njaga manuk = bahasa jawa) itu adalah kelamin laki-laki, jadi Raden Bagus Rinangku diperintahkan untuk menjaga alat kelaminnya agar jangan sampai berbuat zina, namun Raden Bagus Rinangku telah lalai dan tertangkap basah oleh Sunan Muria sedang berbuat zina dengan Raden Ayu Nawangsih.
Sifat : cerita diatas juga bersifat mendidik, keagamaan dan sejarah. Bersifat mendidik karena cerita diatas membawa pesan moral kepada generasi muda sekarang yang cenderung hidup bebas tanpa memperhatikan nilai, norma dan etika dalam masyarakat, sehingga banyak terjadi kasus seks bebas dan hamil diluar nikah yang sungguh sangat memalukan dan mengerikan. Bersifat keagamaan, karena di sini membawa nama besar seorang Wali Songo yaitu Sunan Muria yang terkenal pandai dalam agama dan sakti mandra guna dan yang terpenting adalah bahwa adanya ajaran untuk dapat mengontrol diri dan nafsu melalui berbagai usaha mendekatkan diri kepada Tuhan YME, seorang pemuda yang taat kepada Tuhan YME akan menolak berzina sekalipun diajak oleh seorang wanita yang amat cantik, karena dia takut akan azab yang diberikan Tuhan YME. Bersifat sejarah karena cerita diatas telah menjadi bagian dari sejarah masyarakat desa Kandang Mas yang sangat menghormati Sunan Muria dan bersimpati bahkan empati kepada dua muda-mudi tersebut. Karena kesaktian yang dimiliki Sunan Muria, jadilah mereka (pelayat) pohon jati yang sampai sekarang masih dikeramatkan. Sampai sekarang juga dimakam Raden Bagus Rinangku dan Raden Ayu Nawangsih selalu saja ada pemuda atau pemudi yang datang untuk sekedar berziarah atau pun meminta berkah untuk mendapatkan jodoh.

1 comment:

  1. Gabung Bersama kami di Betpulsa,net
    Situs Paling Terpercaya Betpulsa
    Menangkan Bonus Jutaan Rupiah Setiap Harinya
    Jaminan Kemenangan Bergaransi

    Games Yang Tersedia Antara Lain :
    * SPORTSBOOK
    * POKER
    * LIVE CASINO
    * IDN LIVE
    * BLACK JACK
    * SLOT ONLINE
    * SABUNG AYAM S128

    Promo di Betpulsa :
    * Min Depo 25 K
    * Min WD - 50 K
    * Bonus New Member 15%
    * Next Deposit 10%
    * Bonus Harian 5%
    Dan Masih Banyak Bonus Lainnya
    * Deposit Via Pulsa Tanpa Potongan Rate 100%
    * Deposit dan Withdraw 24 jam Non stop tanpa kendala
    * Proses Deposit & Withdraw Tercepat
    * Livechat 24 Jam Online
    * Untuk Info Lebih Lanjut Bisa Hubungi CS Kami

    ## Contact_us ##
    WHATSAPP : 0822 7636 3934

    ReplyDelete