Sejarah Desa Kerto - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Monday, 1 January 2018

Sejarah Desa Kerto


Siapa menya
ngka bahwa di sini pernah berdiri sebuah kerajaan besar, Kerajaan Mataram Islam di bawah Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati. Sultan Agung adalah Raja Mataram yang berhasil memperluas pengaruh kerajaan sampai ke Jawa Timur, dan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Mataram dari Kotagede ke Kerto. Di bawah Sultan Agung, Mataram mencapai jaman keemasannya.
Alamat situs kerto
Dusun Kerto, Desa Pleret, Kecamatan Pleret
Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Jejak Mataram di Situs Kerto Pleret Jogja
Situs Kerto Pleret Bantul Jogja merupakan situs yang menjadi saksi bisu jejak keberadaan Kerajaan Mataram yang pernah memiliki keraton di wilayah ini. Setelah meninggalkan Situs Watugilang Kotagede kami meluncur ke arah Selatan menempuh jarak 6,6 km, dengan memutar di Jl Ring Road Selatan menuju ke Barat, lalu belok kiri ke Jl Imogiri Timur.
Di perempatan kami belok kiri ke Jl Kedaton, lalu belok ke kanan di perempatan berikutnya. Tengara Situs Kerto ada di kiri jalan, 350 m dari perempatan terakhir, di kebun di tengah pedesaan.
Lengang. Siapa menyangka bahwa di sini pernah berdiri keraton kerajaan besar, Kerajaan Mataram Islam di bawah Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati.
Sultan Agung adalah Raja Mataram yang memperluas pengaruh sampai Jawa Timur, dan memindahkan pusat kekuasaan dari Kotagede ke Kerto. Di bawah Sultan Agung, Mataram mencapai jaman keemasannya. Ia mengirimkan tentaranya untuk mengusir VOC dari Batavia, dan mendapat dukungan Cirebon dan Banten, namun usahanya gagal.
situs kerto pleret bantul
Tengara atau tanda Cagar Budaya Situs Kerto Pleret Bantul yang berada persis di tepi jalan. Tengara sudah terlihat mulai menua dan sedikit tersembunyi diantara bayang pohon-pohon pisang. Sayangnya juga tidak terlihat ada tengara atau poster lain di sekitar Situs Kerto yang memberi penjelasan kepada pengunjung tentang latar belakang sejarah situs ini.
Setelah sempat berbincang sejenak dengan seorang penduduk setempat yang tengah bekerja di kebun sebelah, yang sayangnya ia tidak tahu banyak tentang Situs Kerto ini, saya pun berjalan memasuki area situs. Situs Kerto Pleret yang menyimpan sisa-sisa peninggalan Keraton Mataram ini berada di dalam kebun terbuka tanpa pagar.
Peninggalan Keraton Mataram jaman Sultan Agung di Situs Kerto itu kini hanya menyisakan sejumlah umpak batu andesit berukuran besar yang biasa digunakan sebagai landasan pilar utama atau soko guru bangunan keraton. Umpak ini berada di tempat terbuka, dan hanya beberapa meter dari bibir tebing pendek yang tampaknya rawan longsor.
Umpak batu di Situs Kerto ini memiliki lubang di atasnya sebagai dudukan pilar, serta ada ornamen daunan di setiap sisinya. Saya hanya bisa berangan bahwa mudah-mudahan suatu ketika nanti dinas terkait dan masyarakat bisa merekonstruksi peninggalan ini. Setidaknya membersihkan umpak, dan meletakkannya dalam sebuah pendopo terbuka.
Adalah Amangkurat I, anak Sultan Agung, yang memindahkan Keraton dari Kerto ke Pleret pada 1647. Tidak diketahui alasannya, karena lokasi tidak terlalu jauh. Pleret kemudian diserbu, diduduki, serta dijarah oleh Trunojoyo pada 1677, yang membuat Amangkurat I lari ke arah Barat menuju Batavia, namun meninggal di Tegal Arum, Tegal.
Lekukan ornamen yang ada pada keempat sisi umpak di Situs Kerto Pleret. Besarnya umpak batu andesit ini bisa menjadi gambaran besarnya pilar bangunan keraton pada waktu itu. Mendapatkan kayu jati tua berukuran besar dan tinggi di masa itu tentunya masih sangat mudah, tidak sebagaimana saat ini. Sayangnya pilar kayu tak berumur lama.
Umpak batu kedua Situs Kerto Pleret berjarak beberapa puluh meter dari umpak batu pertama. Seorang penduduk setempat kemudian mendekat. Menurutnya beberapa meter dari umpak kedua ini ada susunan batu memanjang menyerupai dinding. Saya memang melihat ada semacam pembatas rendah dengan kebun sebelah, namun tidak terlihat lagi susunan batunya.
Orang itu kemudian mengantarkan saya ke lokasi penggalian situs Kerto lainnya, dengan berjalan melewati beberapa kebun milik penduduk. Lokasi ini terletak sekitar 200 m dari umpak batu, dengan spanduk kecil yang menandai status Cagar Budaya, serta himbauan untuk menjaga, peringatan serta ancaman bagi hukum bagi yang melanggarnya.
Kegiatan penggalian Situs Kerto ini tampaknya dihentikan sejak 2007. Hanya tersisa pagar pelindung sederhana yang terbuat dari bambu di Situs Kerto di lokasi ini yang bisa dilihat, dan entah sampai kapan akan bertahan terus seperti itu. Sebuah koran menyebut bahwa tempat ini diduga merupakan sisa-sisa Siti Hinggil Keraton Mataram.
------------
Sangat sedikit yang tahu jika Sultan Agung Hanyokrokusuma mengendalikan pemerintahannya dari sebuah daerah bernama Kerto. Kini pun orang juga hampir tidak peduli dengan situs bekas ibu kota Mataram Islam yang paling jaya sepanjang sejarah Mataram itu.
Selepas ibu kota Mataram berada di Kotagede, Sultan Agung memindahkan ibu kota ke Kerto disebelah selatan Kotagede. Kepindahan ke Kerto sebenarnya sudah dimulai saat ibu kota Mataram masih berada di Kotagede pada tahun 1614 dan baru ditempati pada tahun 1618.
Dari sini Sultan Agung yang bergelar Sultan Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman mengendalikan roda pemerintahannya. Termasuk 2 penyerangan fenomenal dalam Situs Kerto ,
Usaha penaklukan Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Meskipun kedua serangan Mataram ke Batavia yang dikuasai VOC gagal, toh serangan kedua membuat Gubernur Jenderal VOC Jaan Pieter Zoon Coen meninggal dunia diduga akibat wabah kolera yang diciptakan para prajurit Mataram dengan cara membendung dan mengotori sungai Ciliwung hingga membuat wabah kolera di sana.
Kini, jika berkunjung ke situs Kerto, maka petilasan yang masih tampak adalah dua batu besar berupa umpak berdiameter hampir satu meter. Umpak itu sebagai penyangga saka guru bangunan utama keraton. Sebenarnya ada 3 umpak yang masih berada di situ. Satu yang lain kini berada di Masjid Saka Tunggal di dekat Taman Sari, Yogyakarta sebagai umpak Situs Kertopenyangga utama saka tunggal di dalam masjid.
Di dekat umpak yang sekarang dikelilingi kawat berduri dan tiang cor beton itu juga terdapat seperti anak tangga. Konon tangga itu menuju siti hinggil, bagian tertinggi keraton. Warga sekitar juga sering menyebut daerah itu sebagai lemah dhuwur, tanah tinggi.
Jika kini kita sedang berada di tengah-tengah situs Kerto, ada rasa yang membuat diri kita merasa masih berada di tengah-tengah keraton berabad yang lalu. Dan kita pun seperti sedang tidak percaya, bahwa di pelosok pojok tenggara Kota Jogja berdiri kerajaan yang pangkuan kekuasannya sampai Situs Kertohampir di seluruh Nusantara. Ada banyak yang berpendapat, Sultan Agung memerintah kerajaan dengan sahaja tetapi kegemarannya memperluas wilayah membuat Mataram menjadi jaya di zamannya.
Jejak Mataram di Kerto tidak hanya itu. Masjid Taqarrub yang kini masih tegak berdiri dan tetap dipakai untuk shalat berjamaah juga bagian dari Mataram di Kerto. Bagan Keraton Mataram selalu ada alun-alun di depan keraton, lalu di barat keraton ada masjid dan di depan alun-alun ada pasar sebagai pusat ekonomi. Masjid Taqarrub adalah masjid Keraton Mataram di Kerto zaman Sultan Agung jumeneng.
Empat tiang utama masjid yang berada di tengah-tengah bangunan utama ini sekarang ditinggikan sekitar 120 sentimeter dari ukuran aslinya. Serambi juga diperlebar Situs Kertodan diperluas. Seiring perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat kini bangunan masjid diperbarui. Tetapi 4 saka guru yang menjadi tiang bangunan utama tidak pernah diganti dan bangunan utama masjid masih utuh seperti sedia kala.
Keaslian yang lain juga tampak dengan adanya plakat tanda dari Patih Danureja yang ke-9 yang isinya lebih kurang tentang pemugaran Masjid Taqarrub. Plakat itu bertuliskan huruf Jawa dengan beberapa tulisan tahun aksara Arab. Ada dua plakat yang berada di dalam masjid, semua tergantung di serambi menuju ke pintu masuk masjid utama.
Di samping utara masjid terdapat sebuah prasasti dari masa Hindu berbentuk lingga. Prasasti ini sebagai penanda bahwa tanah di daerah tersebut telah diberikan oleh penguasa untuk masyarakat sekitar. Tidak diketahui secara pasti tentang detail isi prasasti. Prasasti tersebut merupakan duplikat dari prasasti asli yang sekarang tersimpan di Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.
Lokasi:
Keduanya, Situs Kerto dan Masjid Taqarrub berada di Dusun Kanggotan, Desa Sebuah kayu berukir pada puncak beranda masjid.Kerto, Kecamatan Pleret, Bantul.
Transportasi:
Disarankan dengan kendaraan pribadi. Hampir semua lokasi ini menyatu dan seiring dengan jalur menuju Situs Keraton Pleret yang berjarak lebih kurang 16,5 kilometer arah tenggara Kota Jogja.
----------------
IMG_5500+Kuliner:
Sama dengan saat berada di Situs Keraton Pleret yang di sepanjang jalan dipenuhi dengan warung-warung sate yang cukup melegenda.

Keraton yang Hilang
Menelusuri jejak keraton Pleret dan Kerto yang sekarang terletak di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, seperti berlomba dengan cepatnya waktu. Puing-puing yang tersisa dari dua keraton di zaman Kerajaan Mataram Islam itu terus terancam oleh lubang-lubang galian dari usaha batu bata dan pembangunan tak terencana.
Tahun 2003 adalah awal persaingan warga Desa Pleret dengan Tim Arkeolog dari Dinas Kebudayaan DIY serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3). Mereka berlomba menggali lahan pekarangan dan persawahan di sekitar Pleret. Bedanya, Tim Arkeolog menggali untuk mencari dan menyelamatkan situs Mataram Islam di Pleret dan Kerto, sementara warga menggali lahan untuk bahan baku batu bata.
Di sejumlah titik, pembangunan pun semakin merambah lahan-lahan yang berpotensi memendam sisa-sisa bangunan keraton. Karena keberadaan bangunan baru itu, upaya ekskavasi makin sulit dilakukan.
Keraton Kerto dan Pleret pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan besar Mataram Islam pada abad XVII. Dari Keraton Kerto, Sultan Agung memimpin zaman keemasan Mataram Islam dan menggerakkan perlawanan kepada Belanda. Putra Sultan Agung yang bergelar Sunan Amangkurat I kemudian memindahkannya ke Pleret.
Dua keraton
Saat ini dua keraton bersejarah itu tinggal puing-puing yang tersebar atau terpendam tanah. Padahal, sebagai pusat kerajaan besar, Pleret dan Kerto dibangun dengan berbagai fasilitas. Berbagai fasilitas seperti Masjid Agung Pleret, beteng, dan alun-alun itulah yang coba digali Tim Arkeolog.
Koordinator Lapangan Tim Arkeolog Rully Andriadi mengatakan, ekskavasi dilakukan rutin untuk merekonstruksi dan mendokumentasikan detail kehidupan masa itu. Ekskavasi dan pendataan harus dilakukan secepat mungkin karena lubang-lubang galian batu bata yang dibuat penduduk beberapa kali merusak sisa-sisa struktur bangunan keraton. Batu bata maupun struktur bangunan yang berada di atas tanah pun banyak diambil untuk berbagai kepentingan.
”Belum lagi cepatnya pembangunan di kawasan. Lahan yang diduga masih mengandung sisa-sisa keraton ternyata telah digunakan membangun rumah sehingga tak bisa diketahui lagi apa yang tersimpan di lahan itu,” ujar Rully di Yogyakarta, akhir Juli 2010.
Dikubur lagi
Struktur bangunan yang ditemukan dalam ekskavasi pun sering kali terpaksa dikubur lagi. Hal ini untuk menghindari perusakan serta menghindari konflik dengan pemilik lahan. Sebagian lahan di sekitar situs keraton Pleret dan Kerto memang masih dimiliki dan digunakan warga.
Kondisi-kondisi ini jelas mempercepat hilangnya puing-puing yang tersisa. Untuk mencegahnya, ekskavasi dan pendataan harus dilakukan secepat mungkin. Namun, secepat apa pun Tim Arkeolog berusaha, upaya ini rupanya tetap sulit bersaing dengan laju kerusakan. ”Sampai sekarang baru sekitar 10 persen saja dari dua keraton ini yang berhasil diekskavasi dan didokumentasikan,” kata Rully.
Padahal, hingga saat ini masih banyak yang belum diketahui dari dua keraton ini. Referensi baru diperoleh secara sekilas dari naskah ilmuwan Belanda, surat-surat warga Belanda yang pernah ditawan Sultan Agung, dan beberapa naskah sastra kuno (babad) yang ditulis sastrawan keraton. Referensi-referensi tersebut tak banyak memberi gambaran rinci seperti teknologi yang telah dikembangkan di keraton.
Temuan berupa saluran air yang telah dilengkapi sistem saringan berlapis tahun 2008, misalnya, menunjukkan adanya teknologi yang telah berkembang di Keraton Kerto. ”Kalau teknologi-teknologi ini bisa diungkap, bisa jadi sumber ilmu bagi bangsa Indonesia,” ujar Rully.
Lurah Desa Pleret Nur Subiyantoro mengakui, pembangunan perumahan memang cukup pesat di daerah Pleret. Pleret menjadi pilihan para pengembang karena aksesnya yang mudah serta jaraknya yang tak terlalu jauh dari Kota Yogyakarta.
Bagi warga, kepentingan utama menggali lahan adalah untuk bahan batu bata. Di Desa Pleret ada ratusan perajin batu bata. ”Harga galian tanah sangat menggiurkan. Ada dua sistem yang biasanya dipakai, yakni menjual tanah dengan sistem truk. Harganya Rp 125.000 sampai Rp 140.000 per truk. Kedua, sistem penjualan per kubik dengan harga sekitar Rp 20.000 per meter kubik,” kata Nur.
Lahan yang digali tak hanya pekarangan, tetapi juga persawahan. Bekas galian dibiarkan begitu saja tanpa penanganan. Pemilik biasanya menjual lahan yang sudah rusak dengan harga murah. ”Setelah tidak bisa digali lagi, sawah saya jual seharga Rp 50 juta. Luas sawah sekitar 300 meter persegi,” kata Sakiyem (45), pembuat batu bata di Desa Pleret.
Saat menggali, tak jarang warga menemukan situs-situs peninggalan Mataram Islam. Kadang kondisinya rusak karena penggaliannya asal-asalan. Salah satunya adalah penemuan sumur tua yang diperkirakan dibuat abad ke-17. Dindingnya terbuat dari gerabah dengan diameter 70 cm dan tinggi 35 cm. Sumur tersebut ditemukan di Dusun Gunungkelir, Desa Pleret, pada tahun 2008.
Batu bata
Tradisi pembuatan batu bata juga tak lepas dari keberadaan Mataram Islam. Saat Sunan Amangkurat I berkuasa, ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat batu bata sebanyak-banyaknya. Tujuannya untuk membangun sebuah istana di Pleret. Perintah Sunan Amangkurat I, yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi I tersebut, menjadi titik awal tradisi pembuatan batu bata di Kecamatan Pleret.
Keraton dibangun pada abad XVI dengan luas 2.256 meter dikelilingi tembok dengan tinggi 6 meter dan tebal 1,5 meter. Semuanya terbuat dari batu bata. Setelah dihancurkan Belanda, batu bata bekas keraton lalu dimanfaatkan untuk membangun pabrik gula.
Pembangunan Keraton Pleret konon melibatkan sekitar 300.000 penduduk dengan sistem kerja paksa. Pembangunan tersebut telah banyak menularkan teknik pembuatan batu bata ke banyak warga. Setelah keraton berdiri megah, warga tetap membuat batu bata.
Usaha batu bata memuncak pascagempa bumi 2006. Banyaknya aktivitas pembangunan fisik pascagempa membuat permintaan akan batu bata melonjak tinggi. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul, jumlah rumah yang rusak total 71.763 unit, rusak berat 71.372 unit, dan rusak ringan 73.669 unit.
Juru Pelihara Situs Keraton Pleret yang juga anggota Badan Perwakilan Desa Pleret, Rahmat Fauzi, mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Dia berharap pemerintah dan aparat desa setempat memberikan perlindungan terhadap lahan-lahan situs yang berpotensi masih mengandung sisa-sisa keraton zaman Mataram Islam. Perlindungan diperlukan sebelum keraton itu benar-benar hilang.
-------------

Talut Air Peninggalan Kerajaan Mataram Islam Ditemukan
Talut Air Peninggalan Kerajaan Mataram Islam Ditemukan
Tim Ekskavasi Dinas Kebudayaan Provinsi DIY kembali menemukan situs bersejarah berupa struktur bangunan air sepanjang 4 meter di Desa Kerto, Kecamatan Pleret, Bantul, Yogyakarta, di depan rumah seorang warga bernama Misbakhul Munir (80 tahun). Talut air tersebut diperkirakan peninggalan Keraton Kerto yang berdiri pada zaman Mataram Islam.
Selain talut air, tim juga menemukan kerang serta artefak yang berupa fragmen gerabah dan keramik dari China. Menurut Koordinator Lapangan Ekskavasi Rully Andriadi, kareng adalah bukti adanya endapan air. "Sepertinya tempat tersebut adalah bekas kolam keraton," Rully menduga-duga. Sementara itu, temuan lain berupa artefak menjadi bukti adanya hunian dan aktivitas manusia.
Sebulan sebelumnya Rully dan timnya menemukan situs bersejarah berupa konstruksi benteng sisi selatan Keraton Pleret berupa batu bata merah yang terkubur hingga 1,5 meter. Keraton Kerto dan Pleret adalah bagian Kerajaan Islam yang saat ini menjadi kawasan cagar budaya. Kawasan ini mempunyai nilai sejarah tinggi karena memiliki banyak peninggalan arkeologi Hindu, Buddha, Islam, serta kolonial Belanda.
Sejak tahun 2005, penelitian dilakukan untuk menemukan posisi asli, tata ruang, dan komponen keraton. Rully mengaku kesulitan melacak bukti-bukti sejarahnya. "Selain sudah dihuni perkampungan penduduk, jejak kedua keraton juga sudah hilang karena berbagai peristiwa," kata Rully. Peristiwayang dimaksud meliputi pemberontakan pada masa Amangkurat I dan IV, pertempuran Diponegoro, serta penghancuran bangunan keraton untuk pabrik gula.
Arsip mengenai kedua keraton ini sangat minimal. Menurut Rully, bahkan Keraton Yogyakarta pun tidak memilikinya. Informasi mengenai Keraton Pleret dikumpulkan Rully lewat tulisan orang Belanda bernama Jan Vos yang dulu pernah berkunjung ke Pleret. "Semua tulisan itu ada di Belanda,” katanya.
Beberapa situs bersejarah yang sudah ditemukan adalah konstruksi benteng sebelah barat Keraton Pleret, artefak, situs Masjid Kauman Pleret, hingga makam istri Raja Amangkurat I. Benda-benda berserajah tersebut sebagian disimpan di Museum Pleret, Bantul, Yogyakarta

1 comment: