Mayor Jenderal TNI Anumerta Bambang Soegeng - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Tuesday, 2 January 2018

Mayor Jenderal TNI Anumerta Bambang Soegeng


Mayor Jenderal TNI Anumerta Bambang Sugeng (lahir di Tegalrejo, Magelang, 31 Oktober 1913 – meninggal di Jakarta, 22 Juni 1977 pada umur 63 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia dan pernah menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat ke-3 yang menjabat dari tanggal 22 Desember 1952 hingga 8 Mei 1955.
Selain berkarier di dunia militer, Bambang juga pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Vatikan, Jepang, dan Brasil.
Bambang meninggal dunia pada usia 63 tahun dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal Anumerta .
Mulai tanggal 1 November 1997, pemerintah Indonesia menaikkan pengkatnya menjadi Letnan Jenderal (Kehormatan).
Kehidupan awal
Bambang lahir di Magelang, Jawa Tengah merupakan putra sulung dari 6 bersaudara. Ayahnya bernama Slamet dan ibunya bernama Zahro. Ia menempuh pendidikan HIS di Tegalrejo, kemudian melanjutkan ke MULO di Purwokerto dan menyelesaikan pendidikan AMS bagian A di Yogyakarta. Karena cita-citanya menjadi ahli hukum, Bambang sempat melanjutkan pendidikannya ke RHS di Jakarta tetapi tidak selesai karena sekolahnya ditutup oleh Jepang yang mulai berkuasa di Indonesia.
Pada tahun 1936, Bambang menikah dengan Sukemi yang berasal dari Temanggung dan dikaruniai 3 orang anak (1 putri dan 2 putra). Pernikahannya dengan Sukemi tidak bertahan lama, karena sakit paru-paru, istrinya meninggal dunia pada tahun 1946. Bambang kemudian menikah lagi dengan Istiyah yang berasal dari Banjarnegara dan dikaruniai 2 orang putri.
Sebelum memulai karier militernya, Bambang sempat bekerja sebagai pegawai negeri pada pemerintah Kabupaten Temanggung sebagai juru tulis.
Karier militer Bambang dimulai pada tahun 1943 saat ia mengikuti pendidikan perwira PETA Gyugun Renseitai di Bogor. Setelah lulus ia menjadi Cudanco (komandan kompi) dan ditempatkan di Magelang. Pada tahun 1944 Bambang sudah menjadi Daidanco (komandan peleton) di Gombong.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Bambang diangkat menjadi Komandan Resiman TKR di Wonosobo dengan pangkat Letnan Kolonel. Setelah proses Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa) TNI pada tahun 1948, ia diangkat menjadi Komandan Divisi III yang meliputi Banyumas, Pekalongan, Kedu dan Yogyakarta.
Bambang Sugeng pernah memimpin pasukan TKR pada saat Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948). Selain itu ia juga termasuk perwira yang terlibat dalam perencanaan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Sebagai penguasa teritorial, Bambang mengendalikan jalannya pertempuran di wilayah Divisi III Jawa Tengah dan Yogyakarta pada masa 1948-1949. Dari tangan pria kelahiran Magelang itu muncul Perintah Siasat dan Intruksi Rahasia untuk melakukan perang propaganda terhadap Belanda.
Dengan posisinya yang senior kemudian Pemerintah menunjuknya untuk menjadi wakil Panglima Besar Sudirman atau Wakil 1 Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) mulai 21 September 1944 hingga 27 Desember 1949. Pada bulan Juni 1950 Bambang diangkat menjadi Panglima Divisi I/TT V Jawa Timur.
Sosoknya yang bisa diterima semua pihak yang menjadikanya satu-satunya alternatif bagi Presiden Soekarno saat mengangkatnya sebagai KASAD . Bambang menggunakan pendekatan unik khas Indonesia yaitu musyawarah untuk menyatukan para perwira TNI yang terbelah akibat Peristiwa 17 Oktober dan menghasilkan Piagam Djogja 1955. Piagam yang meredam friksi di dalam militer membuat Soekarno yang pada akhirnya mengangkat kembali AH Nasution menjadi KASAD.
Bambang juga yang memprakarsai pencatatan setiap prajurit TNI atau Nomor Registrasi Pusat NRP yang kemudian ditiru pada pencatatan organisasi sipil atau Nomor Induk Pegawai NIP.
Setelah berhasil menyatukan kembali para perwira TNI Angkatan Darat melalui Piagam Djogja 1955, Bambang mengundurkan diri sebagai KASAD pada tanggal 8 Mei 1955.
Setelah berhenti dalam dinas militer, Bambang ditunjuk oleh Presiden Soekarno menjadi Duta Besar Indonesia untuk Vatikan yang dijabat dari tanggal 1 Agustus 1956 hingga Januari 1960 Kemudian pada tanggal 19 Januari 1960 hingga tahun 1964 ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Jepang. Pada tahun 1964 hingga 4 November 1966 menjadi Duta Besar di Brasil.
Kisah Seorang Jenderal yang Ditilang Polisi
Apa yg kita pikirkan ketika seorang Jendral KSAD ditilang oleh polisi saat mengendarai sepeda motor di jalan raya? Nah berikut ini ada sebuah kisah yg dapat menjadi inspirasi bagi kita semua (sumber : dream).
Mayor Jenderal Bambang Sugeng merupakan Kepala Staf TNI Angkatan Darat yg memiliki hobi mengendarai sepeda motor.
Nah, pada tahun 1952, sang Jenderal yg merupakan orang nomor satu di TNI Angkatan Darat tersebut sedang berada di Yogyakarta. Saat itu beliau sempat meminjam sepeda motor milik seorang pelukis bernama Haryadi. Dengan mengendarai sepeda motor pinjaman tersebut, sang Jendral menyusuri jalanan di Yogyakarta.
Ceritanya berlanjut, saat beliau sampai di Perempatan Tugu, pada jalan yg mengarah ke Malioboro, ada lampu lalu lintas yg sedang menyala kuning. Beliau menyangka bahwa sehabis lampu warna kuning pasti lampu warna hijau yg akan menyala, Mayor Jendral Bambang pun langsung betot gas. Wruuummmmmm….
Eh, tidak disangka, ternyata malah lampu berwarna merah yg justru menyala, tanda harus berhenti.
Karena kesalahannya tersebut, maka tidak butuh waktu lama, ‘Priiiittt’ tiba-tiba seorang polisi menyetop sang Jendral yg pada saat itu tidak mengenakan seragam dinas alias mengenakan pakaian sipil saja.
Mayor Jendral Bambang Sugeng pun kemudian berhenti. Polisi yg saat itu menghentikan lajunya tersebut, selanjutnya memberikan nasihat panjang lebar mengenai peraturan lalu lintas. Dia kemudian meminta SIM milik Bambang Sugeng.
Namun, betapa terkejutnya sang polisi tersebut ketika melihat identitas pada SIM. Tidak disangka-sangka, ternyata pria yg diberhentikannya adalah Kepala Staf TNI AD Mayor Jenderal Bambang Sugeng .
Tanpa menunggu lama, sang polisi langsung berdiri tegak dan memberikan hormat, “Siaap Pak!”. Sang polisi pun merasa tegang karena baru saja mau menilang seorang Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Namun, Mayor Jendral Bambang Sugeng dengan sangat bijaksana mengaku dirinya memang salah, dan tidak marah kepada polisi yg memberhentikan lajunya tersebut. Meskipun dirinya adalah seorang pemimpin dari seluruh prajurit Angkatan Darat, tetapi beliau tidak menggunakan kekuasaannya supaya lolos dari aturan hukum. Justru beliau berkata “Memang saya yang salah. Saya menerima pelajaran dari Pak Polisi”.
“Hal itu masuk berita di koran Yogya, keesokan harinya saya
berkesempatan membacanya,” ujar Bambang Herulaskar yg merupakan putra dari Bambang Sugeng,
Kisah yg sangat inspiratif ini dimuat dalam buku Panglima Bambang Sugeng, Panglima Komando Pertempuran Merebut Ibu Kota Djogja Kembali 1949. Buku tersebut ditulis oleh Edi Hartoto dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2012.
Demikian kisah inspiratif dari seorang mantan Kepala Staf TNI AD yg memiliki jiwa kesatria, dengan bersedia ditilang oleh polisi. Meskipun memiliki jabatan tinggi, tidak lantas membuatnya arogan dan memanfaatkan kekuasaannya. Justru beliau menunjukkan sikap sebagai seorang prajurit sejati yg mau mengakui kesalahannya.
Di zaman modern sekarang ini, kondisi lalu lintas semakin padat dan tidak jarang ada sebagian orang yg merasa ingin diprioritaskan. Pelanggaran seperti tetap betot gas ngacir meski lampu merah tanda berhenti masih menyala. Tidak mengenakan helm, dll. Bahkan ada beberapa diantaranya justru orang sipil tapi memasang atribut berkendara yg tidak semestinya, seperti contohnya penggunaan sirine lengkap dengan lampu strobo agar mendapat prioritas utama saat di jalan raya, padahal itu merupakan salah satu bentuk pelanggaran aturan lalu lintas.
Nah, setelah membaca kisah inspiratif dari mantan Kepala Staf TNI AD Bambang Sugeng, semoga semakin memacu kita untuk bersikap disiplin dan mau mematuhi segala aturan yg ada saat berkendara di jalan raya. Bersikap kesatria dan tidak memanfaatkan jabatan untuk bebas dari aturan hukum yg berlaku.
Bambang Sugeng, Jejak Bersejarah Sang Prajurit yang Terlupakan
Mungkin anda akan asing jika mendengar Kabupaten bernama “Temanggung”. Kabupaten Temanggung diapit dua gunung bernama “Sindoro” dan “Sumbing” dan letaknya ditengah-tengah Provinsi Jawa Tengah. Mungkin anda tidak begitu mengenal Kabupaten ini. Tetapi, saya akan menceritakan orang yang hebat yang pernah hidup di Kabupaten ini puluhan tahun yang lalu. Anda pernah mendengar nama Bambang Sugeng? Mungkin anda pernah mendengarnya, atau malahan baru saja mendengar namanya. Beliau disebut-sebut sebagai inisiator Serangan Umum 1 Maret bersama mendiang Sri Sultang HB IX dan Letkol. Soeharto. Meskipun beliau lahir di Magelang, beliau menemukan titik balik kehidupannya saat beliau merintis karier militer di Temanggung, Jawa Tengah. Namanya mencuat ke permukaan saat berhasil melucuti 533 tentara Jepang yang dipimpin Mayor Migaki Simatoyo TANPA PERTUMPAHAN DARAH SEDIKITPUN! Bahkan, menurut pengakuan para tentara Jepang beliau memperlakukan mereka dengan sangat baik. Itu membuktikan dia memiliki jiwa besar dan kemampuan diplomasi di atas rata-rata. Bahkan angkatan tua Jepang menjuluki dia “Shogun”, yang berarti “Sang Jenderal Perang”. Bahkan di monumen Bambang Sugeng di sebelah timur Terminal Bus Kota Temanggungpun terdapat batu prasasti yang ditulis tentara Jepang yang di tawan pasukan Bambang Sugeng. Tulisan dengan huruf kanji itu berbunyi “Wampo Daiwa Daigetzu”, yang berarti “ seluruh dunia sekeluarga”.
Saat menjabat duta besar di Vatikan beliau mendapat anugerah “Bintang Vatikan”. Penghargaan tertinggi oleh Sri Paus.
Bambang Sugeng memberi kita contoh untuk tidak serakah, tidak membalas keburukan dengan keburukan. Beliau membuktikan kelakuan yang baik akan selalu membawa berkah. Beliau memberi contoh UNTUK INDONESIA YANG ADIL, MAKMUR, SEJAHTERA!
Bambang Sugeng, Pahlawan yang Terlupakan
SOSOK mendiang mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Bambang Sugeng adalah pahlawan yang dilupakan. Padahal, pada era perang kemerdekaan, dia salah seorang perwira militer dari Temanggung yang disegani. Saat itu dia menjabat Panglima Divisi III dengan pangkat kolonel. Letkol Soeharto, yang kelak menjadi presiden, adalah salah seorang bawahannya.
Saking cinta pada daerah lereng Gunung Sumbing-Sindoro asal leluhurnya, dia memilih perisitirahatan pada akhir hayat di pinggir Sungai Progo, Kranggan, Temanggung.
Guru besar ilmu sejarah dari UGM, Prof Dr Djoko Suryo, dalam makalah “Perjuangan Tanpa Henti: Mengungkap Peran Bambang Sugeng dalam Merebut, Mempertahankan, dan Mengisi Kemerdekaan Indonesia” menuliskan peran Bambang Sugeng dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Serangan besar-besaran secara serentak dilakukan di seluruh wilayah Gubernur Militer III/Divisi III dimulai dengan fokus serangan ibu kota Republik, Yogyakarta, serta kota-kota sekitar seperti Magelang. Itu sesuai dengan instruksi rahasia Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng.
Sangat Signifikan
Dalam peristiwa itu, peran Bambang Sugeng sangat signifikan. Setidaknya ada instruksi rahasia 18 Februari 1949 ke Komandan Wehkreis II Letkol M Bachroen dan Komandan III Letkol Soeharto. Instruksi itu kelanjutan dari perintah siasat nomor 4/S/Cop.I tertanggal 1 Januari 1949 yang dikeluarkan Panglima Divisi/III GM III untuk melawan secara serentak pada Belanda sehebat-hebatnya yang dapat menarik perhatian dunia luar.
Dalam buku biografinya, AH Nasution dengan jelas menyatakan Panglima Divisi III telah memerintahkan serangan umum ke Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Ada pula perintah siasat bernomor 9/PS/19 tertanggal 15 Maret 1949 ke Komandan Wehkreise I Letkol Bachroen dan Komandan Wehkreise II Letkol Sarbini. Dokumen-dokumen itu membuktikan sejak awal bergerilya seluruh operasi di wilayah Divisi III diatur dan dikendalikan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III.
Prof Dr Suhartono W Pranoto dalam makalah “Enam Jam di Yogykarta 1 Maret 1949 Mitos atau Sejarah” mengemukakan, selama ini ada tiga nama yang muncul dalam bursa wacana pemrakarsa. Mereka adalah Sultan HB IX, Letkol Soeharto, dan Kolonel Bambang Sugeng. Sultan, sebagaimana posisi dan otoritasnya, memiliki kesempatan lebih luas dalam situasi dan konteks internasional. Dalam rekaman wawancara BBC London dengan Sultan disebutkan, pemrakarsa serangan itu adalah Sultan.
Suhartono menuturkan peran Letkol Soeharto juga tak bisa diragukan. Sebab, dia sebagai militaire bevoeg dan strategeeg sangat memahami medan Yogyakarta dan sekitarnya. Namun ada episode yang hilang, antara lain pertemuan Sultan-Soeharto di keraton. Sebelum serangan, Soeharto tak pernah berkoordinasi dengan Sultan dan masuk keraton. Padahal, berdasar kesaksian Marsudi dan saksi mata lain disebutkan pertemuan itu terjadi.
Bambang Purnomo (87), adik kandung Bambang Sugeng, menyatakan heran mengapa sampai kini belum ada kebijakan pemerintah daerah untuk menjadikan nama sang kakak sebagai nama jalan di Temanggung. Dia menyatakan sudah beberapa kali menyampaikan usulan ke pemerintah, tetapi hasilnya nihil.
“Di kota lain seperti Yogyakarta, Magelang, Wonosobo, Banjarnegara ada. Bambang Sugeng itu putra daerah, wong Temanggung, track record-nya bagus, la kok malah di kotanya tak ada nama jalan. Dulu pernah di usulkan, zaman Bupati Yakob tahun 1980-an. Dia setuju diserahkan ke DPRD. Tapi sampai sekarang belum ada realisasi,” katanya.
Shogun
Dia pernah menerima surat keputusan pemerintah berkait penamaan jalan dari Papohan sampai Jembatan Progo. Akan tetapi karena menganggap jalan itu terlalu pendek, dia menolak. Bambang berharap nama jalan mantan KSAD era Soekarno itu berada di sepanjang Kali Progo sampai masuk kota. Jika tak bisa, dia mengusulkan mulai Jembatan progo sampai jalan perbatasan dengan Magelang.
Pelaku sejarah, Letnan (Purn) Munjiat Harmoatmojo (91), menilai ironis nama tokoh sekaliber Bambang Sugeng belum tercantum sebagai nama jalan di kotanya. Padahal Bambang Sugeng, kata dia, bahkan layak dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Saat itu,Bupati Hasyim Afandi menyatakan sampai kini memang belum ada kepastian soal nama jalan Bambang Sugeng. Sebab, belum ada kesepahaman antara keluarga dan pemerintah. Namun kemungkinan penamaan jalan masih terbuka lebar, meski harus tetap sesuai dengan mekanisme.
Meski realisasi nama jalan belum terlaksana, Pemerintah Kabupaten Temanggung saat ini mengusulkan Bambang Sugeng sebagai pahlawan nasional. Kepala Dinas Sosial Teguh Suryanto mengatakan, semua persyaratan sebagai pahlawan telah dipenuhi. Berkas pun telah dikirim ke Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah untuk dikirim ke pusat.
Mengenang Tragedi Kali Progo dan Pahlawan Bambang Sugeng
Memasuki bulan Agustus, sudah terasa gegap gempita dari sebagian rakyat tuk menyambut dirgahayu kemerdekaan bangsa ini. Di sepanjang jalan telah terlihat aneka ukuran bendera Merah Putih, baik yang dijajakan penjual bendera maupun yang telah sengaja dipasang oleh masyarakat.
Makam pahlawan yang berada di kota Temanggung salah satunya, Makam dari pahlawan Mayjend TNI Bambang Sugeng ini terletak di dalam komplek Monumen Pembunuhan Massal Pejuang RI.
Monumen itu di bangun oleh pemerintah daerah kabupaten Temanggung sebagai peringatan kepada rakyat, baik sipil atau non sipil yang di bantai oleh penjajah Belanda pada saat Agresi Militer II pada tahun 1949. Sekitar 1200an rakyat di bunuh secara massal dengan cara diikat tangannya, ditutup matanya, dan disuruh berjejer menghadap ke sungai Progo, lantas di tembak oleh tentara Belanda (yang menurut juru kunci Monumen Bapak Suyadi, sebagian dari mereka adalah orang Indonesia sendiri tapi dari luar pulau, dan kebanyakan dari Maluku).
Di jembatan Kali Progo inilah ribuan rakyat di bantai dengan keji oleh Belanda dan disamping jembatan ini, di bangunlah Monumen Pembunuhan Massal Pejuang RI Kali Progo, untuk mengenang penderitaan ribuan rakyat dari kekejian penjajah. Itu sekilas tentang Monumen yang kisah dibaliknya ialah tentang pembunuhan yang sangat keji itu.
Adapun tentang pahlawan Mayjen TNI Bambang Sugeng, beliau bersama bapak Sumono seorang TNI juga adalah orang yang mengibarkan bendera Merah Putih di saat detik detik Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 di alun alun Temanggung, yang saat ini merupakan pusat pemerintahan wilayah Temanggung.
Banyak sudah bintang saja di berikan pemerintah RI untuk perjuangan dan dedikasi beliau pada negara, diantaranya Bintang Dharma Bintang Kartika Eka Paksi Kelas I Bintang Gerilya Bintang Sewindu Satya Lencana Perang Kemerdekaan I dan II Satya Lencana GOM I dan IV Satya Kesetiaan XVI, dan Satya Penegak

2 comments:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete
  2. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete