SEJARAH NGAWI - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Thursday 10 March 2016

SEJARAH NGAWI


Ngawi berasal dari kata “AWI” yang artinya bambu yang selanjutnya mendapat tambahan huruf sengau “Ng” menjadi “NGAWI” . Seperti halnya dengan nama-nama di daerah-daerah lain yang banyak sekali nama-nama tempat (desa) yang di kaitkan dengan nama tumbuh-tumbuhan.
Demikian pula halnya dengan ngawi yang berasal dari “awi” menunjukkan suatu tempat yaitu sekitar pinggir ”Bengawan Solo” dan ”Bengawan Madiun” yang banyak tumbuh pohon “awi”. Tumbuhan “awi” atau “bambu” mempunyai arti yang sangat bernilai, yaitu :
1. Dalam kehidupan sehari-hari Bambu bagi masyarakat desa mempunyai peranan penting apalagi dalam masa pembangunan ini.
2. Dalam Agama Budha , hutan bambu merupakan tempat suci :
- Raja Ajatasatru setelah memeluk agama Budha, ia menghadiahkan sebuah ” hutan yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan bambu” kepada sang Budha Gautama.
- Candi Ngawen dan Candi Mendut yang disebut sebagai Wenu Wana Mandira atau Candi Hutan Bambu (Temple Of The Bamboo Grove), keduanya merupakan bangunan suci Agama Budha.
3. Pohon Bambu dalam Karya Sastra yang indah juga mampu menimbulkan inspirasi pengandaian yang menggetarkan jiwa.
Dalam Kakawin Siwara Trikalpa karya Pujangga Majapahit ”Empu Tanakung” disebut pada canto (Nyanyian) 6 Bait 1 dan 2, yang apabila diterjemahkan dalam bahasa indonesia, lebih kurang mempunyai arti sebagai berikut :
- Kemudian menjadi siang dan matahari menghalau kabut, semua kayu-kayuan yang indah gemulai mulai terbuka, burung-burung gembira diatas dahan saling bersaut – sautan bagaikan pertemuan Ahli Kebatinan (Esoteric Truth) saling berdebat.
- Saling bercinta bagaikan kayu – kayuan yang sedang berbunga, pohon bambu membuka kainnya dan tanaman Jangga saling berpelukan serta menghisap sari bunga Rara Malayu, bergerak-gerak mendesah, Pohon Bambu saling berciuman dangan mesranya.
4. ”awi” atau ”bambu” dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia mempunyai nilai sejarah, yaitu dalam bentuk ”bambu runcing” yang menjadi salah satu senjata untuk melawan dan mengusir penjajah yang tenyata senjata dari ”bambu” ini ditakuti dari pihak lawan (digambarkan yang ”terkena” akan menderita sakit cukup lama dan ngeri).
Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ini ada juga ”bambu runcing” yang dikenal dan disebut dengan ”Geranggang Parakan”. Dengan demikian jelaslah bahwa ”ngawi” berasal dari ”awi” atau ”bambu”, Sekaligus menunjukkan lokasi Ngawi sebagai ”desa” di pinggir Bengawan Solo dan Bengawan Madiun.
SEJARAH HARI JADI NGAWI
Penelusuran Hari jadi Ngawi dimulai dari tahun 1975, dengan dikeluarkannya SK Bupati KDH Tk. II Ngawi Nomor Sek. 13/7/Drh, tanggal 27 Oktober 1975 dan nomor Sek 13/3/Drh, tanggal 21 April 1976. Ketua Panitia Penelitian atau penelusuran yang di ketuai oleh DPRD Kabupaten Dati Ii Ngawi. Dalam penelitian banyak ditemui kesulitan-kesulitan terutamanarasumber atau para tokoh-tokoh masayarakat, namun mereka tetap melakukan penelitian lewat sejarah, peninggalalan purbakala dan dokumen-dokumen kuno.
Didalam kegiatan penelusuran tersebut dengan melalui proses sesuai dengan hasil sebagai berikut ;
Pada tanggal 31 Agustus 1830, pernah ditetapkan sebagai Hari Jadi Ngawi dengna Surat Keputusan DPRD Kabupoaten Dati II Ngawi tanggal 31 Maret 1978, Nomor Sek. 13/25/DPRD, yaitu berkaitan dengan ditetapkan Ngawi sebagai Order Regentschap oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 30 September 1983, dengan Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Ngawi nomor 188.170/2/1983, ketetapan diatas diralat dengan alas an bahwa tanggal 31 Agustus 1830 sebagai Hari Jadi Ngawi dianggap kurang Nasionalis, pada tanggal dan bulan tersebut justru dianggap memperingati kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Menyadari hal tersebut Pada tanggal 13 Desember 1983 dengan Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Ngawi nomor 143 tahun 1983, dibentuk Panitia/Tim Penelusuran dan penulisan Sejarah Ngawi yang diktuai oleh Drs. Bapak MOESTOFA.
Pada tanggal 14 Oktober di sarangan telah melaksanakan simposium membahas Hari Jadi Ngawi oleh Bapak MM.Soekarto K Atmodjo dan Bapak MM. Soehardjo Hatmosoeprobo dengan hasil symposium tersebut menetapkan ;
Menerima hasil penelusuran Bapak Soehardjo Hatmosoeprobo tentang Piagam Sultan Hamengku Buwono tanggal 2 Jumadilawal 1756 Aj, selanjutkan menetapkan bahwa pada tanggal 10 Nopember 1828 M, Ngawi ditetapkan sebagai daerah Narawita (pelungguh) Bupati Wedono Monco Negoro Wetan. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari perjalanan Sejarah Ngawi pada jaman kekuasaan Sultan Hamengku Buwono.
Menerima hasil penelitian Bapak MM. Soekarto K. Atmodjo tentang Prasasti Canggu tahun 1280 Saka pada masa pemerintahan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk. Selanjutmya menetapkan bahwa pada tanggal 7 Juli 1358 M, Ngawi ditetapkan sebagai Naditirapradesa (daerah penambangan) dan daerah swatantra. Peristiwa tersebut merupakan Hari Jadi Ngawi sepanjang belum diketahui data baru yang lebih tua.

Melalui Surat Keputusan nomor : 188.70/34/1986 tanggal 31 Desember 1986 DPRD Kabupaten Dati II Ngawi telah menyetujui tentang penetapan Hari Jadi Ngawi yaitu pada tanggal 7 Juli 1358 M. Dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Ngawi No. 04 Tahun 1987 pada tanggal 14 Januari 1987. Namun Demikian tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelusuran lebih lanjut serta menerima masukan yang berkaitan dengan sejarah Ngawi sebagai penyempurnaan di kemudian hari.

Melihat Sisa-Sisa Kekuatan Benteng Pendem Ngawi

Ngawi - Saat kaki melangkah memasuki komplek bangunannya, sisa-sisa kekuatan Benteng Van Den Bosch atau yang biasa disebut Benteng Pendem Ngawi, masih sangat terasa.
Tembok dan tiang-tiang penyangganya masih berdiri kokoh, hanya saja telah pudar dimakan usia. Tampak jelas jika bangunan Benteng Van Den Bosch ini dibangun sebagai zona pertahanan pada waktu pemerintahan Belanda dulu.
Benteng Van Den Bosch atau Benteng Pendem Ngawi terletak di jalur pertemuan Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, tepatnya di Kelurahan Pelem, Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Keberadaan benteng ini tak banyak dikenal orang, bahkan nyaris terlupakan. Selama puluhan tahun benteng ini tidak boleh dijamah oleh publik karena merupakan daerah kekuasan militer. Padahal, jika ditelisik, benteng ini merupakan bangunan bersejarah yang patut dilindungi dan dikenal oleh masyarakat.
Benteng Pendem Ngawi dibangun oleh Gubernur Jenderal Defensieljn Van Den Bosch sekitar dua abad lalu atau pada tahun 1839, dengan memanfaatkan keberadaan aliran Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. Selain berfungsi untuk zona pertahanan, pembangunan benteng ini juga untuk memudahkan arus tranportasi di aliran dua sungai.
Dipercaya, para pedagang dari Surakarta-Yogyakarta pada waktu dulu harus lewat Ngawi jika menuju bandar di Surabaya, demikian juga halnya dengan para pedagang dari arah Pacitan, Madiun, dan Maospati. Hal inilah yang menggolongkan Ngawi sebagai tempat strategis karena merupakan pertemuan jalur perdagangan air lewat Bengawan Solo.
"Benteng ini dulunya juga untuk melumpuhkan transportasi logistik para pejuang kemerdekaan pasukan Pangeran Diponegoro. Bersamaan dengan itu, terjadi perang di Ngawi antara pasukan Bupati Madiun-Ngawi yang memihak Diponegoro dengan Belanda," ujar Komandan Yon Armed 12 Ngawi, Letkol Arm Sugeng Riyadi.
Ia menjelaskan, setelah Indonesia merdeka, tepatnya sejak tahun 1962, Benteng Van Den Bosch dijadikan markas Yon Armed 12 yang sebelumnya berkedudukan di Kabupaten Malang. Pada waktu itu, kegiatan latihan militer dan kesatuan juga dipusatkan di areal benteng.
Karena kondisi yang bangunan tidak mendukung untuk perkembangan dan kemajuan kesatuan, maka sekitar 10 tahun kemudian Yon Armed 12 menempati lokasi baru di Jalan Siliwangi, Kota Ngawi. Namun, sebagian area benteng masih digunakan untuk gudang persenjataan.
"Hal itulah yang mendasari mengapa selama puluhan tahun Benteng Pendem ini tertutup bagi umum. Pada akhir tahun 2011, benteng ini akhirnya terbuka untuk umum karena gudang persenjataan telah dipindahkan ke Jalan Siliwangi. Sampai sekarang kami masih lakukan perawatan secara rutin," papar Sugeng Riyadi.
Ia menjelaskan, bangunan Benteng Pendem Ngawi masih sangat kokoh, meski telah dimakan usia. Bangungan Benteng Pendem Ngawi terdiri dari pintu gerbang utama, ratusan kamar untuk para tentara, halaman rumput di tengah bangunan, dan beberapa ruang yang dulunya diyakini sebagai kandang-kandang kuda.
Selain itu, bangunan benteng ini dikelilingi gundukan tanah yang sengaja dibangun untuk menahan serangan dan luapan air Bengawan Solo. Hal inilah yang membuat bangunan benteng seperti terpendam. Bangunan ini juga dikelilingi parit air selebar 5 meter, hanya saja saat ini paritnya telah tertutup tanah.

Objek Wisata Sejarah

Kini, meski terlambat, pihak Yon Armed 12 dan pemerintah daerah setempat ingin agar Benteng Van Den Bosch menjadi objek wisata sejarah di Kabupaten Ngawi. Pihak Yon Armed kini terus melakukan pembenahan.
"Pembenahan yang dilakukan adalah merawat bangunan secara rutin. Saat ini kami sedang menunggu izin merenovasi bangunan dari Kementerian Pertahanan dan Keamanan. Jika izin sudah keluar, renovasi akan dilakukan tanpa meninggalkan bentuk asli dari bangunan benteng tersebut," terangnya.
Sejak dibuka untuk umum, masyarakat bisa melihat bangunan benteng dari dekat. Hanya dengan membayar tiket retribusi sebesar Rp1.000 per orang, masyarakat bisa melihat sisa-sisa kekuatan Benteng Pendem pada masa penjajahan Belanda.
Lokasi wisata sejarah ini pun juga mudah dijangkau dengan alat transportasi karena letaknya berada di pusat Kota Ngawi.
"Saat ini, kami hanya membukanya untuk umum bagi masyarakat yang ingin melihat-lihat. Kedepannya, kami telah melakukan kerjasa sama dengan Pemkab Ngawi untuk menggarap Benteng Pendem ini menjadi satu kesatuan wisata air dengan Museum Trinil Ngawi menyusuri Bengawan Solo. Uji coba sudah dilakukan," papar Sugeng.
Menurut dia, Museum Trinil dan Benteng Pendem Ngawi memiliki keterkaitan. Sebelum fosil-fosil di Trinil disimpan di museum seperti saat ini, lokasi yang digunakan untuk menyimpan fosil tersebut adalah Benteng Pendem.
Disamping sebagai zona pertahanan, benteng ini dulunya juga dimanfaatkan untuk persinggahan para ilmuwan Belanda. Salah satunya adalah Eugene Dubois penemu manusia purba Trinil "Pithecanthropus Erectus".
Sugeng menambahkan, apapun nantinya konsep yang akan dikembangkan di Benteng Pendem Ngawi, pihaknya berharap agar bangunan ini tidak terabaikan. Karena Benteng Pendem Ngawi ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, setara dengan bangunan benteng di Yogyakarta.


1 comment:

  1. Syahdanash@ppns.ac.id
    Terima kasih infonya
    Jangan lupa kunjungi
    https://ppns.ac.id/
    https://selinganhidup.wordpress.com

    ReplyDelete