Kabupaten Kuningan - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Monday 1 January 2018

Kabupaten Kuningan


Sejarah asal nama Kuningan
Ada beberapa versi tentang asal-usulnya Kuningan dijadikan nama daerah ini. Salah satu versin adalah bahwa istilah tersebut berasal dari nama sejenis logam, yaitu kuningan. Dalam bahasa Sunda (juga bahasa Indonesia), kuningan adalah sejenis logam yang terbuat dari bahan campuran berupa timah, perak dan perunggu. Jika disepuh (dibersihkan dan diberi warna indah) logam kuningan itu akan berwarna kuning mengkilap seperti emas sehingga benda dibuat dari bahan ini akan tampak bagus dan indah. Memang logam kuningan bisa dijadikan bahan untuk membuat aneka barang keperluan hidup manusia seperti patung, bokor, kerangka lampu maupun hiasan dinding.
Di Sangkanherang, dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang terbuat dari bahan logam kuningan itu sangat disukai oleh masyarakat elit (menak) di daerah Kuningan. Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan kuningan itu juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat Sunda, Jawa, Melayu, dan beberapa kelompok masyarakat di Nusantara umumnya.
Di daerah Ciamis dan Kuningan sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan bokor (tempat menyimpan sesuatu di dalam rumah dan sekaligus sebagai barang perhiasan) yang terbuat dari logam kuningan[. Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokor kuningan yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama.
Di Ciamis - dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta Galuh (masa pra-Islam) bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Pendeta ini diminta oleh Raja Galuh yang ibukota kerajaannya berkedudukan di Bojong Galuh (desa Karangkamulya) sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah timur kota Ciamis, untuk menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau tidak. Kesalahan menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan nyawanya. Sesungguhnya buncitnya perut putri tersebut merupakan akal-akalan Sang Raja, dengan memasangkanbokor kuningan pada perut sang putri yang kemudian ditutupi dengan kain sehingga tampak seperti sedang hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk mengelabui dan mencelakakan Sang Pendeta saja.
Pendeta Ajar Sukaresi yang sudah mengetahui akal busuk Sang Raja tetap tenang dalam menebak teka-teki yang diberikan oleh Sang Raja, Sang Pendeta pun berkata bahwa memang perut Sang Putri tersebut sedang hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar jawaban dari Pendeta tersebut,karena dia berpikir akal busuknya untuk mengelabui Sang Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa tebakan Sang Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar pendeta tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan perintah agar pendeta tersebut di hukum mati.
Teryata tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri tersebut benar-benar hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak mungkin terjadi pikirnya. Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah dan menendang bokor kuningan, kuali dan penjara besi yang berada di dekatnya. Bokor, kuali dan penjara besi itu jatuh di tempat yang berbeda. Daerah tempat jatuhnya bokor kuningan, kemudian diberi nama Kuningan yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat jatuhnya kuali (bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan yang termasuk ke dalam daerah Kabupaten Ciamis dan terletak antara Kuningan dan Ciamis, sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat jatuhnya penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan kosakata bahasa Sunda yang artinya penjara besi) terletak di daerah Garut Selatan.
Lain lagi menurut versi Babad Cirebon dan tradisi Lisan Legenda Kuningan , bokor kuningan itu digunakan untuk menguji tokoh ulama Islam (wali) bernama Sunan Gunung Jati. Jalan ceritanya kurang lebih sama dengan cerita Ciung Wanara, hanya di dalamnya terdapat beberapa hal yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud terletak pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tujuan dan akibat pengujian itu, dan tidak ada peristiwa penendangan bokor. Jika cerita Ciung Wanara menuturkan gambaran zaman kerajaan Galuh yang sepenuhnya bersifat kehinduan atau masa pra-Islam, maka Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengisahkan tuturan pada zaman peralihan dari masa Hindu menuju masa Islam atau pada masa proses Islamisasi. Dengan demikian, isi cerita Ciung Wanara lebih tua daripada isi Babad Cirebon atau tradisi lisan Legenda Kuningan. Cerita Ciung Wanara mengungkapakan tempat peristiwanya di Bojong Galuh, sedangkan Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan mengemukakan bahwa peristiwanya terjadi di Luragung (kota kecamatan yang terletak 19 km sebelah timur Kuningan).
Tidak seperti dalam cerita Ciung Wanara, penaksiran kehamilan Puteri dilatarbelakangi oleh tujuan mencelakakan pendeta Ajar Sukaresi dan berakibat pendeta tersebut dihukum mati, dalam Babad Cirebon dan tradisi lisan Legenda Kuningan penaksiran kehamilan tersebut dimaksudkan untuk menguji keluhuran ilmu Sunan Gunung Jati semata-mata dan berdampak mempertinggi kedudukan keulamaan wali tersebut. Anak yang dilahirkannya adalah seorang bayi laki-laki yang kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh Ki Gedeng Luragung, penguasa daerah Luragung. Selajutnya Sunan Gunung Jati menjadi Sultan di Cirebon. Setelah dewasa bayi itu diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin atau kepala daerah Kuningan dengan nama Sang Adipati Kuningan.
Jadi, dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini dinamakan daerah Kuningan. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan sebagai salah satu lambang daerah Kabupaten Kuningan. Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal dari kuda samberani milik Dipati Ewangga, seorang Panglima perang Kuningan.
Menurut tradisi lisan Legenda Kuningan yang lain (versi lain lagi ),, sebelum bernama Kuningan nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa Jawa berarti kuning). Secara umum warna kuning melambangkan keagungan dalam masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor kuningan dan warna kuning itulah, kemudian pada masa awal Islamisasi daerah ini dinamai Kuningan. Namun keotentikan Kajene sebagai nama pertama daerah ini patut diragukan, karena menurut naskah Carita Parahyangan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis pada akhir abad ke-16 Masehi, Kuningan sebagai nama daerah (kerajaan) telah dikenal sejak awal kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi. Sementara itu, wilayah kerajaan Kuningan terletak di daerah Kabupaten Kuningan sekarang.
Adalagi menurut cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah Kuningan itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu kegaiban(ajian) yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah ini pada masa awal kerajaan Galuh.
Dalam tradisi agama Hindu terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu upacara keagamaan seperti yang masih dipakai oleh umat Hindu-Bali sekarang. Kuningan menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender tersebut. Pada periode wuku Kuningan selalu diadakan upacara keagamaan sebagai hari raya. Mungkinkah, nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian nama bagi daerah ini?
Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan, dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar beraksara dan berbahasa Sunda Kuna, pada abad ke-8 Masehi, Kuningan sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari kerajaan Galuh (Ciamis sekarang) dan kerajaan Galunggung (Tasikmalaya sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan.
Masa Pra sejarah
Diperkirakan ± 3.500 tahun sebelum masehi sudah terdapat kehidupan manusia di daerah Kuningan, hal ini berdasarkan pada beberapa peninggalan kehidupan pada zaman pra sejarah yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neoliticum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan Megaliticum. Bukti peninggalan tersebut dapat dijumpai di Kampung Cipari Kelurahan Cigugur yaitu dengan ditemukannya peninggalan pra-sejarah pada tahun 1972, berupa alat dari batu obsidian (batu kendan), pecahan-pecahan tembikar, kuburan batu, pekakas dari batu dan keramik. Sehingga diperkirakan pada masa itu terdapat pemukiman manusia yang telah memiliki kebudayaan tinggi. Hasil penelitian menunjukan bahwa Situs Cipari mengalami dua kali masa pemukiman, yaitu masa akhir Neoleticum dan awal pengenalan bahan perunggu berkisar pada tahun 1000 SM sampai dengan 500 M. Pada waktu itu masyarakat telah mengenal organisasi yang baik serta kepercayaan berupa pemujaan terhadap nenek moyang (animisme dan dinamisme). Selain itu diketemukannya pula peninggalan adat dari batu-batu besar dari zaman megaliticum.
Masa Hindu
Dalam carita Parahyangan disebutkan bahwa ada suatu pemukiman yang mempunyai kekuatan politik penuh seperti halnya sebuah negara, bernama Kuningan. Kerajaan Kuningan tersebut berdiri setelah Seuweukarma dinobatkan sebagai Raja yang kemudian bergelar Rahiyang Tangkuku atau Sang Kuku yang bersemayam di Arile atau Saunggalah. Seuweukarma menganut ajaran Dangiang Kuning dan berpegang kepada Sanghiyang Dharma (Ajaran Kitab Suci) serta Sanghiyang Riksa (sepuluh pedoman hidup). Ekspansi kekuasaan Kuningan pada zaman kekuasaan Seuweukarma menyeberang sampai ke negeri Melayu. Pada saat itu masyarakat Kuningan merasa hidup aman dan tentram di bawah pimpinan Seuweukarma yang bertahta sampai berusia lama. Berdasarkan sumber carita Parahyangan juga, bahwa sebelum Sanjaya menguasai Kerajaan Galuh, dia harus mengalahkan dulu Sang Wulan - Sang Tumanggal - dan Sang Pandawa tiga tokoh penguasa di Kuningan
smile emotikon
Triumvirat), yaitu tiga tokoh pemegang kendali pemerintahan di Kuningan sebagaimana konsep Tritangtu dalam konsep pemerintahan tradisional suku Sunda Buhun. Sang Wulan, Tumanggal, dan Pandawa ini menjalankan pemerintahan menurut adat tradisi waktu itu, yang bertindak sebagai Sang Rama, Sang Resi, dan Sang Ratu. Sang Rama bertindak selaku pemegang kepala adat, Sang Resi selaku pemegang kepala agama, dan Sang Ratu kepala pemerintahan. Makanya Kerajaan Kuningan waktu dikendalikan tokoh ‘Triumvirat’ ini berada dalam suasana yang gemah ripah lohjinawi, tata tentrem kerta raharja, karena masing-masing dijalankan oleh orang yang ahli di bidangnya. Tata aturan hukum/masalah adat selalu dijalankan dan ditaati, masalah kepercayaan / agama begitu juga pemerintahannya. Semuanya sejalan beriringan selangkah dan seirama.
Ketika Kuningan diperintah Resiguru Demunawan pun (menantu Sang Pandawa), Kerajaan Kuningan memiliki status sebagai Kerajaan Agama (Hindu). Hal ini nampak dari ajaran-ajaran Resiguru Demunawan yang mengajarkan ilmu Dangiang Kuning - keparamartaan, sehingga Kuningan waktu menjadi sangat terkenal. Dalam naskah carita Parahyangan disebutkan kejayaan Kuningan waktu diperintah Resiguru Demunawan atau dikenal dengan nama lain Sang Seuweukarma (penguasa/pemegang Hukum) atau Sang Ranghyangtang Kuku/Sang Kuku, kebesaran Kuningan melebihi atau sebanding dengan Kebesaran Galuh dan Sunda (Pakuan). Kekuasaannya meliputi Melayu, Tuntang, Balitar, dan sebagainya. Hanya ada 3 nama tokoh raja di Jawa Barat yang berpredikat Rajaresi, arti seorang pemimpin pemerintahan dan sekaligus ahli agama (resi). Mereka itu adalah:
Resi Manikmaya dari Kerajaan Kendan (sekitar Cicalengka - Bandung)
Resi Demunawan dari Saunggalah Kuningan
Resi Niskala Wastu Kencana dari Galuh Kawali
Perkembangan kerajaan Kuningan selanjutnya seakan terputus, dan baru pada 1175 masehi muncul lagi. Kuningan pada waktu itu menganut agama Hindu di bawah pimpinan Rakean Darmariksa dan merupakan daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang terkenal dengan nama Pajajaran. Cirebon juga pada tahun 1389 masehi masuk kekuasaan kerajaan Pajajaran, namun pada abad ke-15 Cirebon sebagai kerajaan Islam menyatakan kemerdekaannya dari Pakuan Pajajaran.
Masa Islam
Sejarah Kuningan pada masa Islam tidak lepas dari pengaruh kesultanan Cirebon. Pada tahun 1470 masehi datang ke Cirebon seorang ulama besar agama Islam yaitu Syeh Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah dan ibunya Rara Santang atau Syarifah Modaim putra Prabu Siliwangi. Syarif Hidayatullah adalah murid Sayid Rahmat yang lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel yang memimpin daerah ampeldenta di Surabaya. Kemudian Syeh Syarif Hidayatullah ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, dan mula-mula tiba di Cirebon yang pada waktu Kepala Pemerintahan Cirebon dipegang oleh Haji Doel Iman. Pada waktu 1479 masehi Haji Doel Iman berkenan menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada Syeh Syarif Hidayatullah setelah menikah dengan putrinya. Karena terdorong oleh hasrat ingin menyebarkan agama Islam, pada tahun 1481 Masehi Syeh Syarif Hidayatullah berangkat ke daerah Luragung, Kuningan yang masuk wilayah Cirebon Selatan yang pada waktu itu dipimpin oleh Ki Gedeng Luragung yang bersaudara dengan Ki Gedeng Kasmaya dari Cirebon, selanjutnya Ki Gedeng Luragung memeluk agama Islam.
Pada waktu Syeh Syarif Hidayatullah di Luragung, Kuningan, datanglah Ratu Ontin Nio istrinya dalam keadaan hamil dari negeri Cina (bergelar: Ratu Rara Sumanding) ke Luragung, Kuningan, dari Ratu Ontin Nio alias Ratu Lara Sumanding lahir seorang putra yang tampan dan gagah yang diberi nama Pangeran Kuningan. setelah dari Luragung, Kuningan, Syeh Syarif Hidayatullah dengan rombongan menuju tempat tinggal Ki Gendeng Kuningan di Winduherang, dan menitipkan Pangeran Kuningan yang masih kecil kepada Ki Gendeng Kuningan agar disusui oleh istri Ki Gendeng Kuningan, karena waktu itu Ki Gendeng Kuningan mempunyai putera yang sebaya dengan Pangeran Kuningan namanya Amung Gegetuning Ati yang oleh Syeh Syarif Hidayatullah diganti namanya menjadi Pangeran Arya Kamuning serta dia memberikan amanat bahwa kelak dimana Pangeran Kuningan sudah dewasa akan dinobatkan menjadi Adipati Kuningan.
Setelah Pangeran Kuningan dan Pangeran Arya Kamuning tumbuh dewasa, diperkirakan tepatnya pada bulan Muharam tanggal 1 September 1498 Masehi, Pangeran Kuningan dilantik menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Pangeran Arya Adipati Kuningan (Adipati Kuningan) dan dibantu oleh Arya Kamuning. Maka sejak itulah dinyatakan sebagai titik tolak terbentuknya pemerintahan Kuningan yang selanjutnya ditetapkan menjadi tanggal hari jadi Kuningan
Masuknya Agama Islam ke Kuningan nampak dari munculnya tokoh-tokoh pemimpin Kuningan yang berasal atau mempunyai latar belakang agama. Sebut saja Syekh Maulana Akbar saudara kandung Syekh Datuk Kahfi, yang akhirnya menikahkan putranya, bernama Syekh Maulana Arifin saudara sepupu Pangeran Panjunan, dengan Nyai Ratu Selawati penguasa Kuningan waktu itu putri Pangeran Surawisesa cucu Prabu Siliwangi yang juga menantu Prabu Langlangbuana. Hal ini menandai peralihan kekuasaan dari Hindu ke Islam yang memang berjalan dengan damai melalui ikatan perkawinan. Waktu itu di Kuningan muncul pedukuhan-pedukuhan yang bermula dari pembukaan-pembukaan pondok pesantren, seperti Pesantren Sidapurna (menuju kesempurnaan), Syekh Rama Ireng (Balong Darma). Termasuk juga diantaranya pesantren Lengkong oleh Haji Hasan Maulani.
Pasca Kemerdekaan
Kuningan menjadi tempat dilaksanakannya Perundingan Linggarjati pada bulan November 1946. Karena tidak memungkinkan perundingan dilakukan di Jakarta maupun di Yogyakarta (ibukota sementara RI), maka diambil jalan tengah jika perjanjian diadakan di Linggarjati, Kuningan. Hari Minggu pada tanggal 10 November 1946 Lord Killearn tiba di Cirebon. Ia berangkat dari Jakarta menumpang kapal fregat Inggris H.M.S. Veryan Bay. Ia tidak berkeberatan menginap di Hotel Linggarjati yang sekaligus menjadi tempat perundingan.
Delegasi Belanda berangkat dari Jakarta dengan menumpang kapal terbang “Catalina” yang mendarat dan berlabuh di luar Cirebon. Dari “Catalina” mereka pindah ke kapal perang “Banckert” yang kemudian menjadi hotel terapung selama perjanjian berlangsung. Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sjahrir menginap di desa Linggasama, sebuah desa dekat Linggarjati. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta sendiri menginap di kediaman Bupati Kuningan. Kedua delegasi mengadakan perundingan pada tanggal 11-12 November 1946 yang ditengahi oleh Lord Kilearn, penengah berkebangsaan Inggris.
Kenapa Kuningan dijuluki kota kuda? Ternyata “Si Windu” adalah pemeran utamanya.
Salah satu kuda kuningan yang hebat pernah tercatat dalam sejarah Kuningan diantaranya bernama “Si Windu”. Kuda peliharaan Dipati Ewangga, seorang panglima pasukan dari Kuningan ini, pernah dipakai dalam perjalanan perang Sang Adipati Kuningan untuk bertempur membantu Cirebon menundukkan Galuh, Wiralodra (Indramayu), bahkan ke Sundakalapa menundukkan Portugis. Kegesitan dan kelincahan Si Windu terlihat ketika Sang Adipati Kuningan bertempur dengan Prabu Wiralodra yang menunggang gajah. Dengan ketangguhan dan kegesitan kuda “Si Windu” pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan Sang Adipati Kuningan.
Kisah heroik kuda kuningan dalam peperangan tersebut mencuatkan istilah /jargon pujian yang dikenal dengan “Kecil-kecil Kuda Kuningan”, yang artinya walaupun bertubuh kecil tetapi jangan dianggap enteng, dapat mengalahkan yang besar, karena ketangguhan dan kegesitannya itu. Bahkan jargon itu sekarang dapat diterapkan dalam pengertian luas, misalnya memberi “trade mark” bagi orang Kuningan yang berhasil sukses di perantauan, atau pujian dan sanjungan lainnya yang kiasannya sinonim dengan “kecil-kecil cabe rawit”.
Nama “Windu” yang terkenal itu akhirnya menjadi maskot daerah kuningan saat ini. Gambar kuda dijadikan logo maskot Kab. Kuningan. Itu sebabnya kota Kuningan dikenal pula dengan julukan “kota kuda”. Menurut sumber buku Cirebon (PS Sulendraningrat), ada nama lengkap kuda yang bersejarah ini. Namanya tidak hanya “Windu” tetapi “Winduhaji”. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada kaitannya antara nama kuda “Windu” atau “Winduhaji” dengan nama Kelurahan Winduhaji yang sekarang eksis sebagai salah satu bentuk tatanan pemerintahan di Kec Kuningan ? Apakah pemberian nama Kelurahan Winduhaji adalah untuk memberikan kenangan sejarah, memberikan penghargaan/jasa terhadap kisah heroik kuda kuningan Si Windu” atau “Si Winduhaji” tersebut? Dan secara tidak sengaja muncul hipotesa: Mengapa orang-orang nomor 1 di Kuningan diantaranya muncul dari daerah-daerah yang bersejarah / berkaitan dengan sejarah di Kuningan, misalnya Luragung, dan kali ini Winduhaji. ?
RIWAYAT SINGKAT TERJADINYA DESA LURAGUNG
Pada jaman dahulu tersebutlah nama BUYUT RANGGA KENCANA atau dengan sebutan lain BUYUT AGUNG buyut rangga kencana mempunyai adik perempuan yang bernama BUYUT RANGGA KENCANAWATI yang menguasai pegunungan subang yang wajahnya sangat cantik sekali, Karena buyut rangga kencana tidak mempunyai pendamping maka untuk menemaninya memanggil adiknya buyut rangga kencanawati
Buyut Rangga kencana mempunyai peliharaan binatang di antaranya :
1. KUDA SEMBRANI
2. KERBAU dan pengembalanya AKI TEKA DAN NINI TEKI
3. AYAM
Setelah hadirnya adik kandungnya sendiri lama kelamaan buyut rangga kencana menaruh hati/jatuh cinta pada adiknya sendiri dan pada akhirnya perasaan itu diungkapkan pada adiknya, Namun oleh adiknya cintanya buyut rangga kencana ditolak karena ia tahu bahwa yang mencintainya itu adalah kakak kandungnya sendiri
Setelah cintanya ditolak, untuk beberapa lama buyut rangga kencana bertapa di GALUH untuk merenungkan bahwa ia betul betul sangat mencintai adik kandungnya sendiri, selama buyut rangga kencana bertapa beliau membuat perkakas yang terbuat dari Tanah, diantaranya :
1. GOLOK yang diberi nama BEDOG KAM KAM
2. KERIS yang diberi nama KERIS PANCA ROBA ber eluk lima
Sementara tanah yang dipakai untuk membuat perkakas tersebut masih ada yang tersisa, maka tanah sisanya tersebut dilemparkan ke arah selatan yang kini disebuat BUMI SAGANDA.
Setelah selesai melaksanakan tapanya buyut rangga kencana kembali menemui adik kandungnya buyut rangga kencanawati dengan maksud agar cintanya dapat diterima oleh adiknya, namun adiknya tetap menolak, karena kesaktiannya buyut rangga kencanawati merubah wajahnya yang cantik jelita menjadi jelek/buruk rupa dan namanya diganti dengan BUYUT BETARA SULANGGIR KUNING dan bertempat tinggal di tengah alun-alun Desa Luragung.
Karena cintanya di tolak maka BUYUT RANGGA KENCANA atau BUYUT AGUNG menghilang ( NGAHIANG ) dengan kata lain menurut bahasa sunda NGELURKEUN ( LUR ) AGUNGNYA dari BUYUT AGUNG maka ahirnya terjadilah nama : LURAGUNG.
Puncak manik.
Gunung Puncak Manik terletak di Desa Cimulya Kecamatan Cimahi Kabupaten Kuningan
Ki Patra kalasa seorang arif dan bijaksana,akibat kearifan dan kebijaksanaanya oleh Kuwu Cirebon sering diminta bantuan untuk menyelesaikan permasalah komplik yang terjadi di daerah Cirebon seperti musibah angin topan di gebang,maslah rebutan kerbau bule di Bantar Panjang,dan maslah – masalah lainnya.jamlah jaksa pada saat itu ada 40 jaksa dan yang dipandang paling adil dalam menangi masalah adalah jaksa dari Puncak manik oleh karena itu di juluk jaksa agung.salain itu kesaktian Ki Patra kalasa terkenal pula diantaranya membantu Cirebon dalam melawan serangan Belanda yang konon ceritanya Buyut jaksa Puncakmanik memainkan Pusaka berupa keris kecil dari Puncak Manik saja tetapi semua musuh Cirebon hancur.Mungkinkah yang dimaksud keris itu adalah golok cabang? Walahu a’lam.kesaktian buyut jaksa semakin terkenal ke penjuru Dunia maka suatu saat datanglah 40 orang sakti ke Puncak manic hendak mengadu ilmu.namun semuanya lumpuh tak berdaya karena benda yang mereka duduki menempel terus dengan badanya.setelah mengaku kalah ke 40 orang sakti itu diberi makan nasi pada satu pendil kecil ternyata nasi itu tak dapat dihabiskan walaupun mereka semua kekenyangan.
wallahualam bishshawab....
BUPATI KUNINGAN
Sebagai sebuah Kabupaten, Kuningan dipimpin oleh seorang bupati. Bupati sebelumnya dipilih oleh DPRD. Tetapi untuk tahun 2008, pertama kalinya Kabupaten Kuningan mengadakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Bupati secara langsung. Pilkada ini diikuti oleh tiga pasangan, yang dimenangkan oleh incumbent H. Aang Hamid Suganda. Berikut adalah daftar nama-nama bupati yang pernah memimpin Kabupaten Kuningan
No Nama Periode
1 Aom Adali 1919-1921
2 Mohamad Ahmad 1921-1940
3 R. Umar Said 1940-1942
4 Rifai 1942-1945
5 Noer (Bupati RI) 1945-1951
6 Sodikin (Recomba) 1947-1948
7 Holan (Recomba) 1948-1949
8 Tikok Abdrurohman 1951-1952
9 Sumitra 1952-1954
10 TB amin Abdulah 1954-1957
11 Yusuf (Pejabat) 1957-1958
12 Saleh Alibasyah 1958-1961
13 Uman Jatikusumah 1961-1966
14 Suminta (Pejabat) 1966-1967
15 R. Aruman Wirangganapati 1967-1973
16 Karli Akbar 1973-1978
17 R.H Unang Sunarjo S.H 1978-1983
18 Drs. H. Moch. Djufri Pringadi 1983-1988
19 Drs. H. Subandi 1988-1993
20 H. Yeng D.S Partawinata SH 1993-1998
21 Drs. H. Arifin Setiamihardja MM 1998-2003
22 H. Aang Hamid Suganda, S.Sos. 2003-2008
23 H. Aang Hamid Suganda, S.Sos. 2008-2013
24 Hj. Utje Ch. Hamid Suganda, S.Sos., M.Ap. 2013-2018
Tokoh-tokoh Kuningan
Maria Ulfah Santoso, Menteri Sosial wanita pertama Republik Indonesia
Edi Suhardi Ekadjati, Sejarawan, Guru Besar Universitas Padjajaran
Mashud Wisnusaputra, Pengusaha dan Politisi
Idik Sulaeman, Pendiri Paskribaka
Mohammad Arsjad Anwar, Ekonom, Guru Besar Universitas Indonesia
Eman Suparman, Ketua Komisi Yudisial, Guru Besar Universitas Padjajaran
Mohamad Surya, Akademisi dan Anggota DPD RI
Anies Baswedan, Menteri
Maudy Koesnaedi, Artis
Samsudin Hardjakusumah, Musisi
SN Ratmana, Sastrawan

3 comments:

  1. Pusat Pelatihan Pengobat Alternatif
    1. Power Musyafahah tingkat 1 s/d 3
    2. Tenaga dalam pemula
    3. Penyerapan Energi Alam
    4. Power Nursyifa
    5. Hakekat besi dalam tubuh
    6. Mahabah dan pekasih
    7. Kerejekian / magnet uang
    8. Buka Aura
    9. Pelatihan Bekam
    10. Pelatihan Terapi Listrik
    11. Gurah Mata
    12. Pelatihan Refleksi
    13. Terapi Telinga
    14. Pelatihan Pengobatan dengan Energi
    15. Pelatihan Pembuatan Minyak Mahabah
    16. Pelatihan Buka Aura
    17. Pelatihan Pengisian Energi / Benda Pusaka
    18. Terapi Al fashdu
    19. Terapi Panas
    20. Prana
    Kami akan ajarkan sampai bisa cara aplikasi dan pemakaianya

    Alamat : Dusun Kliwon / Dukuh
    RT 05/ RW 05
    Desa Haur kuning
    Kecamatan Nusa Herang
    Kuningan Jawa Barat
    Rute dari arah barat / jakarta turun di terminal Cirebon lalu naik elf jurusan Cirebon – Cikijing turun di gang Dukuh Haur Kuning tinggal jalan kaki
    Rute dari arah Timur/ Jawa Tengah turun di terminal Cirebon lalu naik elf jurusan Cirebon – Cikijing turun di gang Dukuh Haur Kuning tinggal jalan kaki . WA 0813 3838 3022

    ReplyDelete
    Replies
    1. mas admin tulung di hapus postingan komen diatas

      Delete
  2. Baca prediksi togel mbah jambrong di artikel prediksi togel jitu

    ReplyDelete