TOKOH "Mbah Suro" dari desa Nginggil yang gersang kini mulai terlupakan. Tapi sebelum peristiwa Sawito, agaknya peristiwa di tepi Bengawan Sala beberapa tahun yang lalu itu merupakan contoh lain, yang berbeda, tentang bagaimana sejumlah orang ingin berlindung dan bertahan dalam suatu masa yang mencemaskan. Waktu itu adaah waktu kejatuhan Bung Karno, waktu peralihan yang penuh gejolak ke "masa baru". Mulyono, bekas lurah Nginggil yang berumur kira-kira 46 tahun, sudah dikenal dengan sebutan "Mbah Suro". Ia bertindak sebagai dukun. Banyak orang mempercayai kesaktiannya, termasuk orang yang berkedudukan di kota-kota. Tak heran bila banyak orang datang. Dan desa Nginggil pun berubah wajah, bak daerah yang banyak dikunjungi turis. Lampu-lampu neon dipasang di sana. "Sehingga kalau malam hari kita ke Nginggil", begitu tulis wartawan Ramelan dalam bukunya Mbah Suro Nginggil (1967), "kita akan menikmati sinar-sinar lampu neon di tengah-tengah lingkungan hutan belantara yang gelap seram itu". Bahkan direncanakan jalanan akan diaspal oleh Mbah Suro. Aspal sudah tersedia. Tapi kemudian pemerintah Orde Baru melancarkan operasi polisionil ke desa itu
Genjer-genjer
Adapun penguasa setempat waktu itu mensinyalir bahwa "Pertapaan Gunung Kendeng" di desa Nginggil itu tempat persembunyian orang-orang PKI yang lari. Menurut Let. Kol. (waktu itu) Leo Ngali Maret 1967, satu team penyelidik yang terdiri dari anggota ABRI dan sipil pernah dikirim ke sana. Mereka diterima para murid Mbah Suro dan dipersilakan menunggu: katanya, setelah jam 12.00 mereka bakal diterima Mbah Suro (ternyata tidak jadi). Selama menunggu, mereka dihidangi tarian dan nyanyian, antara lain lagu Genjer-Genjer, yang menurut pemerintah Orde Baru adalah lagu PKI. Juga, kata Leo Ngali, para pengikut Mbah Suro meneriakkan yel "Hidup PKI!" Mbah Suro diketahui memang sering menyatakan kesetiaannya kepada Bung Karno. Pertemuan dengan para pengikutnya konon selalu disertai seruan "Hidup Bung Karno!" (yang lalu disambut dengan: "Hidup Mbah Suro!"). Ada juga diberitakan bagaimana orang-orang di dusun itu mengucapkan pernyataan anti para pelajar dan mahasiswa di kota-kota besar -- yang waktu itu berdemonstrasi menentang Bung Karno. Mbah Suro kemudian tertangkap. Anak buahnya berupa pasukan "Banteng Ulung" dan "Banteng Sarinah" (para wanita) dilumpuhkan oleh pasukan RPKAD. Sang pemimpin kemudian ditembak mati, "konon melarikan diri ketika sedang disuruh apel", tulis Ramelan. Satu regu dokter dan pejabat, kemudian kepada umum membuktikan bahwa Mbah Suro betul mati. Ketika beberapa saat setelah menyerah si Mbah yang masih muda itu ditanya apa betul ia kebal, ia menjawab: "Ah, tidak, Pak. Itu kan hanya orang-orang saja yang mengatakan".
Mbah Suro memang bukan manusia luar biasa. Paling tidak, begitulah pengalaman pembantu TEMPO Abdul Bari Ts. yang di tahun 1960 sudah ketemu dengan dia di desa Nginggil. Waktu itu Mbah Suro atau Mulyono masih berstatus lurah, merangkap dukun. Abdul Bari waktu itu masih siswa Sekolah Kehutanan Menengah Atas, Bogor. Dia tengah berpraktek ke hutan -- sampai ke kecamatan Menden, yang mewilayahi desa Nginggil. Acara: menjejaki para pencuri kayu jati. Maka untuk mendapatkan data penduduk, mata pencaharian dan keamanan hutan, ia dan beberapa kawannya bertemu dengan lurah Mulyono. Waktu itu, menurut mandor yang mengantar praktek, pak lurah atau Mbah Suro sedang nglakoni. Tak makan nasi sudah selama 2 tahun. Cuma rokok dan kopi. Juga tiga hari tiga malam pati geni, tak makan tak minum. Rambutnya sudah mencapai bahu. Badannya tegap berisi, berpakaian baju hitam seten dan celana sepe dril. Isterinya berkain, baju brokrat hitam. Di lehernya tergantung leontin dari emas. Bentuknya: palu arit. "Waktu itu saya sudah yakin", kata Abdul Bari, "bahwa Mulyono ini BTI (Barisan Tani Indonesia) atau PKI". Pertemuan kedua lebih menarik. Dengan 8 rekan, mereka tiba di Nginggil. Perjalanan agak sukar karena baru banjir. Rumah Mbah Suro yang berbentuk joglo, berikut pendoponya, dihias janur kelapa dan pisang berbuah. yang diikat di tiang-tiang. Juga bendera merah putih. Persiapan kenduri. Mbah Suro sedang merayakan Mauludan -- sehubungan dengan akan lewatnya yang mbau rekso ("si penjaga") Bengawan Sala. Acara penyambutan diramaikan dengan wayang kulit semalam suntuk. Dan Mbah Suro memamerkan kebolehannya meramal: ia menyatakan bahwa kedatangan rombongan itu sudah diketahuinya sebelumnya.
Dan dalam rombongan itu memang ada yang mau diobati dan diramal. Yang mau diobati adalah anak Kepala Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (KBKPH), karena sekolahnya kurang "maju". Yang minta diramal adalah dua siswa Sekolah Kehutanan, teman Abdul Bari. "Ingin tahu saja', bisik mereka. Prosedur ramalan begini: Mbah Suro masuk kamar. Sang isteri dan seorang cantrik berada di luar, duduk menghadapi orang yang mau diramal. Agak lama kemudian, sang isteri lemas, lunglai dan tersandar di kursinya. Dengan bantuan sang cantrik-yang sekaligus merangkap sebagai pemberi penjelasan -- sang isteri ditegakkan duduknya. Tapi tetap tak sadar. Lalu ia mulai bicara. Tapi suaranya besar, suara lelaki. Inilah Mbah Suro, katanya. Lalu ucapan-ucapan lain yang setengah menggumam dalam bahasa Jawa --yang tak difahami oleh para siswa dari Bogor itu, sebab mereka orang Sunda. Tapi kemudian ramalan diterangkan. Rekan yang satu diramal akan dipaksa menikah dengan seorang gadis di kampungnya di Tasikmalaya. Keluarga gadis itu akan memaksanya bahkan dengan senjata tajam. Tapi jangan cemas: ada jimat penangkis, kata si Mbah. Betulkah ramalan Mbah Suro terbukti kemudian? Tidak. Hanya sepulang dari Nginggil pemuda yang diramal itu demam. Pemuda yang satu diramal baik: enam bulan lagi akan segera ke luar dari sekolah, dan akan pegang jabatan penting di kehutanan sekitar situ. Ramalan ini aneh. Waktu itu mereka di kelas dua Sekolah Kehutanan Tingkat Atas. Untuk lulus dari sekolah, paling sedikit dibutuhkan 18 bulan lagi -- bukan cuma 6 bulan seperti ramalan Mbah Suro. Dan ramalan itu memang ternyata tak terbukti. Siswa yang bersangkutan bahkan tak naik kelas.
Mbah Suro
"NYI, bisakah kau mengerti alasanku?"
Wanita cantik itu hanya menundukkan kepala. Ia tak bisa menjawab. Ia amat mencintai guru laki-nya. Bahkan ia rela membayar harga yang sangat mahal untuk cintanya itu. Ia rela pergi dari rumah dinas bapaknya di Blora dan masuk ke tengah-tengah hutan sunyi. Semua itu demi cintanya pada guru laki yang cuma anak seorang lurah. Bukan anak bangsawan seperti dirinya. Karena cinta, perbedaan derajat tak dihiraukan. Sungguh, suaminya, adalah laki-laki yang amat memikat hati.
Namun, kini, guru laki yang amat dicintai itu memohon kepadanya untuk mau dicerai. Dicerai baik-baik. Tanpa dendam. Tanpa permusuhan. Masih berada dalam tali percintaan. Sungguh merepotkan. Hati wanita, takkan mau begitu saja dimadu. Tapi, ini tidak dimadu, malah dicerai. Sebab sang guru laki akan kawin dengan empat perempuan dari empat penjuru mata angin.
Inilah yang harus diputuskan sekarang, mengizinkan sang suami menceraikan atau menolak keinginannya. Kalau ditolak, maka dia takkan sanggup mewujudkan impiannya. Ia hanya akan jadi laki-laki biasa yang tak punya nilai apa-apa. Tentu keadaan seperti itu sangat menyedihkan hati. Padahal sebagai istri yang mencinta, ia selalu ingin melihat suaminya bahagia.
"Nyi, kau boleh membawa harta mana yang kausuka. Dan kau juga boleh memilih salah satu muridku untuk jadi suamimu!"
Guru laki-nya memang tak hendak menyia-nyiakan. Perceraian itu harus dilakukan karena sang guru laki ingin memperoleh wahyu kapandhitan. Memang suaminya itu nggentur tapabrata sejak muda. Satu per satu ilmu gaib diserap. Dan kini ia mendapat wisik yang mengharuskan bercerai dan menikahi empat perempuan dari empat penjuru mata angin. Tak peduli siapa wanita itu. Karena itu, tak pantas dirinya cemburu.
"Demi cintaku padamu, Kang. Jatuhkanlah talak tigamu kepadaku. Dan untuk laki-laki yang bakal mendampingi hidupku, kau saja yang memilihkan!" lirih suaranya. Menahan tangis.
Bulan sedang penuh. Bundar dan menggairahkan.
Di bawah kilauannya dua orang anak manusia saling memandang. Tak ingin melepaskan. Namun harus dilepaskan. Cinta tak cuma butuh pengertian-pengertian, tapi juga butuh pengorbanan. Begitulah, sepasang kekasih itu akhirnya mesti berpisah atas nama cinta.
Siapakah laki-laki beruntung yang bisa mempersunting wanita cantik anak bangsawan yang amat mencintainya itu? Ia bernama Muljono. Anak mbarep lurah Nginggil. Dan setelah kawin, ia menjadi lurah Nginggil menggantikan ayahnya yang sudah tua. Perawakannya tidak terlalu tinggi tidak terlalu pendek. Kulitnya kuning. Rambutnya panjang. Hidungnya mancung. Matanya tajam. Kedua alisnya hitam. Bibirnya tipis. Suaranya lembut. Perilakunya penuh tata kesopanan. Tubuhnya kurus, karena sering tapa brata.
Setelah menceraikan istrinya, dan memberikan rumah serta segala keperluan berumahtangga, barulah ia menikahi empat wanita dari empat penjuru mata angin. Untuk mendapatkan keempat wanita tersebut tidaklah terlalu sulit bagi Muljono. Dia memang tampan. Siapa pun wanita yang memandang pasti terpikat karenanya. Apalagi didukung dengan kedudukannya sebagai lurah.
Benarlah apa yang dibisikkan wisik. Begitu menikahi empat wanita dari empat penjuru mata angin, namanya cepat melambung. Terkenal seantero tanah Jawa. Orang-orang dari Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang, Solo, Surabaya, Banyuwangi berdatangan ke Nginggil. Nama Muljono tak lagi dikenal. Orang-orang telah memberinya sebutan baru, yakni, Mbah Suro Nginggil.
Nginggil adalah nama sebuah desa yang dikepung oleh hutan jati. Masuk dalam wilayah Kabupaten Blora. Tanahnya tandus. Ladang dan sawahnya melulu mengandalkan air tadah hujan. Kehidupan penduduknya rata-rata miskin. Mata pencaharian setiap harinya berladang, beternak, mengumpulkan kayu bakar untuk dijual ke kota. Dalam hal berdagang penduduknya cenderung ke Ngawi, lantaran lebih dekat. Bisa ditempuh enam sampai dengan delapan jam jalan kaki.
Letak Desa Nginggil berada di lembah. Di sekelilingnya bukit-bukit. Di dekatnya mengalir Bengawan Solo yang airnya sangat jernih dan berlimpah. Karena dengan aliran sungai itulah Nginggil gampang ditempuh dari arah Madiun, Solo, dan Tuban. Para pendatang selalu datang dengan naik perahu. Sebagian saja yang jalan kaki. Itu pun harus dengan rombongan besar. Maklum untuk mencapai Nginggil harus melewati hutan belantara yang lebat dan buas.
Orang-orang yang ngalap berkah ke Nginggil sangatlah beragam. Ada pegawai (juga tentara) yang ingin cepat naik pangkat dan dapat kedudukan. Ada pejabat yang ingin jabatannya tidak digeser orang lain. Ada pedagang yang ingin dagangannya laris-manis. Ada orang-orang sakit yang ingin segera disembuhkan. Ada orang-orang liar yang ingin ilmu kebal, ilmu bisa terbang, ilmu kanuragan, ilmu pelet. Dan semua keinginan itu mampu dipenuhi Mbah Suro Nginggil dengan baik.
Keempat isterinyalah yang membantu Mbah Suro Nginggil melayani tamu-tamunya. Mulai dari menata antri tamu di pelataran pesanggrahan. Mempersilakan mereka masuk satu per satu. Sampai mengambilkan ramuan obat yang mesti diberikan pada tamu. Beberapa murid juga ikut membantu Mbah Suro memilih dan mengolah obat. Namun untuk menulis rajah selalu dikerjakan sendiri.
Karena sebegitu banyak tamu Mbah Suro dalam sehari, maka tak semua tamu bisa dilayani pada hari itu juga. Akhirnya tumbuhlah penginapan-penginapan dan juga pemukiman-pemukiman baru. Desa Nginggil yang sepi sontak berubah jadi kota yang amat ramai. Orang datang-pergi silih berganti. Pada pertengahan 1960-an keramaian Nginggil mengimbangi Kota Surabaya. Mesin-mesin diesel dihidupkan untuk menyalakan listrik. Pedagang-pedagang berjejer melayani para pembeli. Siang-malam Nginggil selalu ramai.
Pada waktu itu, lagi-lagi PKI melakukan pemberontakan dan gagal. Hal demikian membuat pengikut partai Komunis di ekskaresidenan Madiun kalang kabut. Mereka lari tunggang-langkang mencari keselamatan diri. Daripada disembelih percuma, lebih baik bertahan hidup di gunung, gua, atau hutan. Dan tentunya mereka banyak pula yang lari menuju Nginggil untuk bersembunyi.
Nginggil memang tempat bersembunyi yang baik. Di perbukitan, banyak tersedia gua. Makanan gampang diperoleh dari hasil hutan jatinya yang lebat. Kalau ada keahlian berburu, di lingkungan hutan banyak burung, monyet, menjangan, ular. Juga ikan-ikan di kali-kalinya yang jernih. Buah-buahan khas hutan macam duwet, mangga, jambu, cacil: sangat gampang diperoleh. Umbian-umbian juga banyak. Apabila ingin ketela, jagung, atau pisang bisa mengambil tanaman milik orang kampung. Para pelarian takkan mati kelaparan di Nginggil.
Namun Nginggil yang sunyi dan sendiri sudah berubah. Desa pinggiran Bengawan Solo itu sudah jadi kota besar. Puluhan ribu orang ada di sana. Mereka ada yang antri berobat. Ada yang mencari ilmu kanuragan. Ada yang ingin merubah nasibnya sehingga diperlukan manekung tapabrata di bawah bimbingan Mbah Suro. Pelarian orang-orang komunis itu pun berbaur dengan murid dan tamu-tamu Mbah Suro.
Sebagai orang yang tinggi ilmunya, Mbah Suro tak menolak siapa pun yang datang. Bahkan pelarian komunis itu ada juga yang diterima jadi muridnya. Mereka dilatih ilmu kanuragan. Dilatih ilmu pengobatan. Karena orang-orang komunis pintar mengambil hati, dengan cepat pula mereka menjadi murid-murid kepercayaan.
Sejak itulah ada sedikit perubahan dengan iklim kehidupan di wilayah Nginggil. Para pendatang dicoba untuk diorganisasikan oleh para pelarian. Para murid juga diberi wadah organisasi. Memang mereka tidak memakai nama PKI. Namun semangat untuk menggelorakan kehidupan kembali PKI sangat tinggi. Warung-warung mesti menjual tiga barang khas Nginggil. Yakni: Pentung, Kolor, dan Iket. ( P,K,I )
Pentung terbuat dari kayu walikukun. Kayu yang sangat gampang ditemukan di hutan pada saat itu. Gunanya untuk membela diri apabila mendapat serangan mendadak di hutan. Kolor, konon sudah diberi jampi-jampi Mbah Suro, barangsiapa yang memakainya akan mempunyai ilmu kekebalan, dan dipastikan menang apabila bertarung dengan lawan. Iket yang diikatkan di kepala untuk menandakan ketundukkan terhadap Mbah Suro. Bisa juga dipercaya sebagai tolak-balak. Tak mempan tenung dan santet.
Para pendatang yang bermukim di Nginggil rata-rata tiga sampai dengan lima hari tidak mengerti semangat yang disembunyikan oleh para pelarian. Pentung Kolor Iket dipikirnya sebagai syarat untuk mendapatkan berkah Mbah Suro. Maka tanpa pikir panjang, mereka pun membeli barang-barang itu sebagai kenang-kenangan.
Mbah Suro sama sekali tidak menegur apa yang dilakukan sebagian muridnya. Ia hanya mengurusi tamu yang tak ada putus-putusnya. Siang-malam terus ada. Sepertinya Mbah Suro kehilangan waktu istirahat. Namun ia memang betah tirakat. Meski tidak tidur berhari-hari, tidak makan berbulan-bulan; takkan menyebabkannya sakit. Malah membuatnya semakin sakti.
"Tidurlah, Kang!"
"Masih banyak orang yang butuh pertolonganku. Biarkan mereka datang. Jangan tahan. Menolong orang lain sama artinya menolong diri kita sendiri!"
"Kau butuh istirahat!"
"Sudah kalian beri hidangan tamu-tamu kita?"
Para istri mengangguk. Semua tamu yang masuk dalam pesanggrahan Mbah Suro harus diberi makan. Rezeki tak boleh ditumpuk, ia harus dialirkan kembali untuk kebutuhan orang banyak. Karenanya ada lebih 20 juru masak di dapur rumah Mbah Suro. Mereka bekerja siang-malam untuk memuliakan tamu-tamunya. Mereka pun seperti Mbah Suro, jarang beristirahat.
Keterkenalan Nginggil bukan tanpa akibat. Ibarat pohon, semakin tinggi menjulang semakin keras angin menerjang. Nginggil mulai diperhatikan oleh banyak mata. Setiap dengus napasnya senantiasa berada dalam pengawasan. Terlebih lagi, ternyata di Nginggil terdapat pelarian komunis yang terus menggelorakan idealisme sesat.
Mbah Suro menangkap pertanda.
"Nyi, aku menangkap firasat yang tidak baik!"
"Firasat apa, Kang?!"
"Sebaiknya kalian pulang saja. Kalau keadaan sudah baik, kalian akan kujemput kembali!"
"Tapi...!"
"Ini perintah. Tak boleh membantah. Segera persiapkan bekal untuk perjalanan!"
Ketiga isteri Mbah Suro segera bangkit. Setelah menghaturkan sembah takzim mereka mundur dan hilang di balik kamar. Hanya seorang istrinya yang bertahan.
"Apa pun yang terjadi aku akan berada di sampingmu. Maafkan aku!" katanya sambil menunduk dalam-dalam.
Mbah Suro mengambil napas panjang. Matanya menerawang jauh.
Di luar pesanggrahan kehidupan berjalan seperti biasa. Seperti takkan terjadi apa-apa. Padahal ketiga istri mbah Suro sudah pergi. Dan Mbah Suro sendiri tidak melayani tamu. Ia memilih manekung tapabrata di suatu tempat. Minta petunjuk Sang Maha Hidup untuk mengartikan firasat yang ia terima.
Tidak terlalu pagi, tidak pula terlalu siang. Ketika para petani sedang suntuk-suntuknya kerja di ladang, ketika para pedagang sedang sibuk-sibuknya melayani pembeli, ketika kehidupan mulai berdenyut kencang, mendadak bumi Nginggil hujan peluru. Dari seberang sungai, orang-orang tak dikenal memberondongkan senapan. Melesakkan meriam. Tanpa ampun. Tanpa belas kasihan.
Keceriaan dan kecerahan begitu saja berubah kegelapan dan jerit tangisan. Orang-orang yang tak tahu apa-apa itu bertumbangan. Jerit kepedihan malah semakin memompa semangat senapan. Mayat-mayat berserakan. Bertindihan. Ada pemuda. Kakek-kakek. Ibu-ibu. Bayi. Juga anak-anak kecil yang saat itu sedang asyik bermain. Mereka tewas tanpa harus mengerti kesalahannya
"Aaakh...!" jerit seorang anak Nginggil (bukan pendatang bukan pula pelarian) berumur dua belasan tahun yang langsung tumbang karena sebutir peluru bersarang di lehernya. Kelak anak ini akan menjadi orang nomer satu Nginggil pada 1990-an.
"Hentikan!" teriak Mbah Suro kepada lawannya di seberang sungai.
Padahal sejak tadi malam ia hilang. Sekarang tiba-tiba muncul dengan istrinya.
"Mereka tak bersalah. Mereka tamu saya. Mereka murid saya. Kalau ada kesalahan, sayalah sumber kesalahan itu. Bukan mereka. Tangkap saya. Dan biarkan mereka meneruskan hidupnya!"
Mbah Suro dan istri terbang melintasi sungai. Berbicara sejenak dengan pimpinan penyerbuan. Ia menyerahkan pusaka-pusakanya. Setelah itu dengan diperlakukan sangat khusus ia dibawa pergi. Pergi entah kemana. Tak seorang pun tahu akan nasibnya.
Dengan penyerahan Mbah Suro penyerbuan berhenti. Penduduk asli Nginggil, pendatang, dan para pelarian pelan-pelan bangkit dari tiarapnya. Menahan sakit di badan. Sesekali memandang tumpukkan mayat dan kubangan darah. Dengan sisa-sisa tenaga dicarinya keluarga yang masih tersisa. Namun serak suaranya malah membuat Nginggil makin mencekam.
Wanita cantik keturunan bangsawan yang telah dicerai atas nama cinta oleh guru laki yang amat dicintai itu, berkunjung ke Nginggil. Melihat rumah kenangannya telah rata dengan tanah. Melihat ladang yang dulu berpagar pohon pisang kini berserak mayat orang-orang tak dikenal. Seandainya dulu ia punya keberanian mengingatkan keinginan kekasihnya untuk tidak usah menjadi Wong Kesdik ing Tanah Jawi, mungkin kejadiannya tak akan begini. Tapi cinta memang buta. Ia hanya ingin melihat guru laki-nya bahagia. Bahagia bisa meraih cita-citanya.
Dengan kesedihan melangit-langit, ia ikut menyaksikan ribuan mayat dimasukkan dalam satu lubang tanpa upacara atau ritual apa pun. Yang terpenting mayat harus dikubur agar tidak menebarkan penyakit pada orang lain. Kuburan massal itu, kini menjadi tanah lapang di Desa Nginggil, yang tak bisa ditanami apa pun selain rumput yang tumbuh liar.
Ketika malam tiba: Bulan sedang penuh. Bundar dan menggairahkan.
"Di mana engkau sekarang, Kang?!"
mlm
ReplyDeleteMasah sih
ReplyDeleteMasah sih
ReplyDeleteCerita ini pernah aq dengar dari Mbah ku.... Tentang sosok Mbah Suroo....
ReplyDelete