BLEDUK KUWU - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Thursday, 10 March 2016

BLEDUK KUWU




Obyek wisata Bledug Kuwu ini berupa telaga lumpur hangat seluas kurang lebih 45 hektar, yang disebut Bledug Kuwu. Fenomena Bledug Kuwu ini adalah keluarnya air beserta lumpur dari endapan laut purba yang keluar karena tekanan air vertikal. Lumpur yang disemburkan Bledug Kuwu disertai asap putih yang membubung itu rata-rata mencapai ketinggian 3 meter. Namun pada saat-saat tertentu terjadi letupan keras yang mampu menyeburkan lumpur setinggi 10 meter hingga nampak demikian spektakuler. Letupan keras ini biasanya terjadi pagi buta ketika udara dingin atau saat cuaca mendung.
Obyek wisata ini terletak di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan, 28 kilometer ke arah timur kota Purwodadi. Kawasan wisata yang secara geografis terletak di dataran rendah bersuhu 28-36° Celcius ini menyajikan letupan gelembung lumpur raksasa yang mengeluarkan percikan air dan garam. Adanya kandungan garam di tempat itu oleh masyarakat setempat dimanfaatkan untuk membuat garam secara tradisional dan sangat menarik untuk dinikmati.
Legenda terjadinya Bledhug Kuwu :
Dikisahkan, pada sekitar abad ke-7 Masehi, daerah Grobogan termasuk dalam wilayah Kerajaan Medang Kamolan yang diperintah oleh Dinasti Sanjaya/Syailendra. Salah seorang raja dari dinasti ini adalah Dewata Cengkar, seorang yang konon amat gemar makan daging manusia. Karena kesukaan raja yang aneh tersebut, membuat rakyat merasa ketakutan. Mereka tidak ingin menjadi santapan sang raja yang haus darah itu. Berbagai cara dilakukan untuk melawan sang raja, tetapi semuanya sia-sia saja. Tak ada yang bisa mengalahkan kesaktian sang raja.
Beberapa waktu kemudian, muncullah Ajisaka, seorang pengembara, yang merasa prihatin dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat. Ajisaka pun kemudian berusaha untuk menghentikan kebiasaan sang raja. Dengan disaksikan oleh ribuan pasang mata, Ajisaka pun menantang adu kesaktian dengan sang raja. Banyak orang yang menyangsikan kemampuan Ajisaka, mengingat tubuhnya yang kecil. Namun apa pun, masyarakat tetap menaruh harapan kepada Ajisaka. Sang raja yang menerima tantangan Ajisaka hanya terbahak-bahak. Raja pun menawarkan, kalau seandainya Ajisaka mampu mengalahkannya, maka Ajisaka berhak memperoleh hadiah berupa separuh wilayah kerajaan. Sebaliknya, jika Ajisaka kalah, maka raja akan memakan tubuh Ajisaka.
Ajisaka pun menyanggupi semua tawaran sang raja. Adapun permintaan terakhir Ajisaka kepada sang raja adalah, jika dia kalah dan tubuhnya dimakan oleh sang raja, Ajisaka memohon agar tulang-tulangnya nanti ditanam dalam tanah seukuran lebar ikat kepalanya. Tentu saja sang raja segera mengiyakan dan sama sekali tidak menduga bahwa ikat kepala Ajisaka itu adalah ikat kepala yang mengandung kesaktian. Ajisaka segera melepas ikat kepalanya dan kemudian menggelarnya di atas tanah. Ajaib, ikat kepala itu berubah menjadi melebar. Raja Dewata Cengkar menggeser tempat berdirinya. Hal itu berlangsung terus seiring dengan makin mebelarnya ikat kepala Ajisaka, sampai akhirnya Dewata Cengkar tercebur di Laut Selatan, karena Ajisaka mengibaskan bagian ikat kepala yang dipegangnya. Namun Dewata Cengkar tidak mati, sebaliknya, tubuhnya menjelma menjadi bajul (buaya) putih. Sepeninggal Dewata Cengkar, rakyat kemudian menobatkan Ajisaka sebagai raja di Medang Kamolan.
Pada saat Ajisaka memerintah Medang Kamolan, muncullah seekor naga yang mengaku bernama Jaka Linglung. Menurut pengakuannya, dia adalah anak Ajisaka dan saat itu sedang mencari ayahnya. Melihat wujudnya, Ajisaka menolak untuk mengakuinya sebagai anak. Ajisaka pun berusaha menyingkirkan sang naga, tetapi dengan cara yang amat halus. Kepada sang naga, Ajisaka mengatakan akan mengakuinya sebagai anak, jika naga itu berhasil membunuh buaya putih jelmaan Dewata Cengkar di Laut Selatan. Terdorong keinginan untuk diakui sebagai anak, Jaka Linglung pun menyanggupi permintaan Ajisaka untuk membunuh Dewata Cengkar.
Jaka Linglung pun segera berangkat. Oleh Ajisaka, Jaka Linglung tidak diperkenankan melalui jalan darat agar tidak mengganggu ketenteraman penduduk. Sebaliknya, Ajisaka mengharuskan Jaka Linglung agar berangkat ke Laut Selatan lewat dalam tanah. Singkatnya, Jaka Linglung pun sampai di Laut Selatan dan berhasil membunuh Dewata Cengkar. Sebagaimana berangkatnya, kembalinya ke Medang Kamolan pun Jaka Linglung melalui dalam tanah. Dan sebagai bukti bahwa dia telah berhasil sampai di Laut Selatan serta membunuh Dewata Cengkar, Jaka Linglung tak lupa membawa seikat rumput grinting wulung dan air laut yang terasa asin.
Beberapa kali Jaka Linglung mencoba muncul ke permukaan, karena mengira telah sampai di tempat yang dituju. Kali pertama dia muncul di Desa Ngembak (kini wilayah Kecamatan Kota Purwodadi), kemudian di Jono (Kecamatan Tawangharjo), kemudian di Grabagan, Crewek, dan terakhir di Kuwu (ketiganya masuk Kecamatan Kradenan). Di Kuwu inilah, konon Jaka Linglung sempat melepas lelah. Dan tempat munculnya inilah yang kini diyakini menjadi asal muasal munculnya Bledhug Kuwu.

Kisah lain bledug kuwu.
Setelah Prabu Dewata Cengkar berubah menjadi bajul putih (buaya putih) di laut kidul, maka Aji Saka lah yang kini memegang kendali kerajaan Medhangkamulan. Sebagai seorang raja, Aji Saka terkenal karena sangat arif, dan bijaksana, serta membela kepentingan rakyatnya.
Setiap ada kesempatan, Aji Saka selalu meninjau langsung kehidupan rakyatnya. Hingga suatu hari tatkala dia berjalan di sebuah desa yang tentram, Aji Saka melihat segerombolan gadis yang sedang menumbuk padi dengan menggunakan lesung dan alu. Di antara gerombolan gadis-gadis itu, ada seorang gadis yang sangat cantik rupawan, dan memiliki senyum menawan. Hal itu membuat kalbu Aji Saka bergetar.
Saat sedang menumbuk padi itu, tiba-tiba kain jarik yang dipakai sang gadis tersingkap, sehingga nampaklah betis gadis ayu tersebut. Dan melihat pemandangan tersebut, Aji Saka menjadi sangat bernafsu, sehingga (maaf beribu-ribu maaf) meneteslah sepermanya di tanah dan dipatuk oleh seekor ayam . Untuk tetap menjaga wibawa, Aji Saka segera kembali ke kerajaan Medhangkamulan. Dan dikisahkan, ayam tersebut bertelor dan oleh pemilik ayam (seorang janda tua) telor tersebut dieramkan di lumbung padinya.
Setelah beberapa waktu, tiba-tiba desa tersebut menjadi gempar karena telor tersebut menetas, tapi bukan anak ayam melainkan seekor ular yang besar. Di sepanjang badan ular tersebut bertuliskan “putrane Aji Saka” dengan huruf Jawa. Dan anehnya lagi ular tersebut bisa berbicara layaknya manusia.
Karena selalu mencari ayahnya, maka oleh janda tua tersebut si ular diantar ke kerajaan. Bagi Aji Saka sendiri ini benar-benar mengejutkan. Namun sebagai seorang raja yang arif, Aji Saka mau mengakui sang ular puteranya dengan syarat jika sang ular bisa membunuh bajul putih (buaya putih) di laut kidul. Untuk menghindari kehebohan masyarakat, maka sang ular diharuskan lewat dalam bumi (dalam tanah) selama berangkat dan pulang dari laut kidul. Sang ularpun menyanggupi dan segera berangkat ke laut kidul.
Perkelahian hebat terjadi antara sang ular dengan bajul putih. Dan dimenangkan oleh sang ular. Saat pulang dari laut kidul menuju Medhangkamulan, sang ular bingung. Ketika dia melongokkan kepala, ternyata baru sampai di Kuwu (wilayah di Kab. Grobogan Jateng). “Besuk rejane jaman, di daerah ini akan terdapat sumber garam, yang bisa dijadikan untuk mata pencaharian warga di sekitar sini” ujar sang ular.
Sang ular pun kembali melanjutkan perjalananya. Dan untuk yang kedua kali sang ular melongokkan kepala di Jono (masih di wilayah Kab. Grobogan Jateng), dan yang ke tiga di Crewek ( Wilayah Kab. Grobogan). Sampai ketiga kalinya belum tepat, snag ular menangis dan meneteslah air matanya. Hingga sekarang di kedua tempat tersebut juga bisa menghasilkan garam, namun untuk wilayah Crewek garamnya terlihat kemerahan (hal ini diyakini karena air mata sang ular).
Akhirnya tibalah sang ular di kerajaan Medhangkamulan, dan dengan besar hati, Aji Saka mengakui ular tersebut puteranya dan diberi nama Jaka Linglung. Sejak saat itu Jaka Linglung pun tinggal bersama ayahnya di kerajaan Medhangkamulan.
Jadi menurut dongeng almarhum Bapak saya, bledug Kuwu (di mana daerah tersebut jauh dari laut), namun airnya mengandung garam karena ada aliran bekas jalannya Jaka Linglung dari laut kidul. Percaya atau tidak, ini hanya sebuah Dongeng ( yang dalam bahasa Jawa Dongeng = dipaidho kengeng = bisa disangkal)
Kisah Lainya Lagi......Legenda Bledug Kuwu
Jika Anda melintas di Purwodadi, ada situs kuno yang nyaris terlupakan. Maka mampir saja jika ingin mengetahui jejak sejarah. Wisata alam ini sungguh aneh, ajaib dan menakjubkan. Bledug Kuwu namanya. Konon, kubangan tanah yang menyemburkan lumpur di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan itu adalah jejak ular raksasa bernama Jaka Linglung. Dia usai membunuh Bajul Putih di laut selatan. Usai pertarungan, ia perjalanan pulang melalui jalur bawah tanah dan kubangan itu dipercaya sebagai bekas tubuh Jaka Linglung yang keluar dari dalam perut bumi.
Menurut legenda masyarakat sekitar, fenomena alam Bledug Kuwu bermula pada masa kerajaan Medang Kamulan sekitar abad ke 8. Sebagaimana disebutkan seorang pemandu sekaligus juru kunci Danang Amono Putro (45). “Saya sering menjelaskan cerita itu. Di hari biasa, setidaknya sekitar 200-an dan hari libur bisa mencapai 700 pengunjung,” papar pria warga Kuwu RT 06/RW04 Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan kepada LawangSewu Post, belum lama ini.
Rata-rata para wisatawan tertarik menyambangi tempat tersebut karena ajaib tapi nyata. “Tak jarang juga penasaran terhadap peninggalan cerita legenda rakyat yang ada di zaman kerajaan Medang Kamulan itu,” katanya.
Secara singkat Danang mengulas, dahulu di kerajaan Medang Kamulan dikuasai oleh seorang raja bernama Prabu Dewata Cengkar. Dia adalah sosok raja yang sombong, serakah dan ditakuti. Ia juga dikenal sebagai raja yang tidak bisa mati, sehingga tidak pernah kalah kala bertarung melawan musuh-musuhnya. “Ia juga sering menarik upeti kepada rakyat semaunya. Jika ada yang membangkang, langsung dibunuh,” ungkapnya.
Apabila ada prajurit yang tidak taat, langsung dipecat hingga dihukum mati. Konon, Dewata Cengkar mempunyai ritual memakan daging dan meminum darah manusia. “Kesaktian raja itu menyebabkan dirinya tidak bisa terbunuh atau mati,” tambahnya.
Namun akhirnya datanglah seorang tokoh ksatria dari negeri Tibet bernama Aji Saka. Di tangan Aji Saka lah Dewata Cengkar kuwalahan soal kadigdayan. Terjadi pertarungan hingga akhirnya Dewata Cengkar kalah. Kendati demikian, Lanjut Danang, pertarungan itu tidak menyebabkan raja tersebut terbunuh. "Kalah bertarung, Cengkar kemudian melarikan diri ke laut selatan dan malihrupa menjadi bajul putih atau buaya putih. “Aji Saka kemudian mengutus anaknya bernama Jaka Linglung, untuk mengejarnya ke laut selatan,” lanjut Danang.
Jaka Linglung sendiri merupakan lelaki yang sakti mandraguna, namun ia mempunyai fisik buruk rupa dan mengerikan. Kepercayaan masyarakat sekitar, Jaka Linglung digambarkan sebagai ular naga raksasa. “Sebelum berangkat ke laut selatan, Jaka diberi pesan oleh ayahnya. Jika menang melawan Bajul Putih, ia tidak diperbolehkan pulang melalui jalur darat, melainkan harus melalui perut bumi,” kata Danang.
Mengapa lewat jalur bawah tanah? Danang menjelaskan, fisik Jaka Linglung supaya tidak dilihat oleh masyarakat, sebab jika melihatnya, dikhawatirkan akan menjadi bahan pergunjingan masyarakat. Terlebih fisiknya yang menakutkan. “Bajul Putih pun akhirnya berhasil dibunuh oleh Jaka Linglung dalam pertarungan di laut selatan. Jaka pun kemudian pulang sebagaimana pesan ayahnya, yakni melalui jalur bawah tanah. Begitu keluar, ia menyembul di daratan Desa Kuwu,” terangnya.
Kubangan lubang tanah berdiameter ± 650 meter yang menyemburkan lumpur di lahan tanah sekitar 45 hektar di Desa Kuwu inilah yang kemudian dipercaya sebagai tapak tilas makhluk mengerikan berwujud ular naga raksasa yang heroik tersebut. “Itulah sebab mengapa masyarakat sekitar percaya bahwa lubang di Bledug Kuwu itu terhubung dengan laut selatan, sehingga air semburan itu berasa asin,” tambah Danang.
Tumpahan air asin dari letupan-letupan lumpur tersebut oleh masyarakat dijadikan tempat pembuatan garam yang dikenal “Bleng”. Air dialirkan melalui parit-parit menjauh dari kubangan. Beberapa peneliti yang pernah melakukan penelitian di tempat tersebut menyebut bahwa semburan lumpur yang meluber sekitar 10 meter di sekeliling kubangan terdapat kandungan gas metana, gas CO2, H2S dan belerang.
Dari ceruk-ceruk itulah petani garam di Desa Kuwu telah ratusan tahun mengolah garam, diperkirakan sejak abad 17. “Petani garam yang membuat parit dan mengalirkan di pinggir kubangan itu harus telanjang atau tidak berpakaian. Karena mitosnya, jika tidak telanjang akan tenggelam dalam lumpur,” pungkasnya.
Letupan terbesar Bledug Kuwu dinamai Joko Tuwo. Dia meledak secara periodik sekira 15 detik sekali dengan bunyi “Bledug” seperti namanya kini. Lemparan lumpur sekira 5-10 meter ke udara dan jatuh ke tanah sekira 10 meter. Sementara letupan terkecil disebut Roro Denok, bunyinya lebih lemah. Kapasitas lemparan ke udara hanya 1-2 meter ke udara. Frekuensi letusan Joko Tuwo 4-5 kali per menit. Sementara letusan kecil mencapai 10 kali lebih per menit. (Abdul Mughis) - See sumber :lawangsewupos.com
Kisah lain lagi dari Legenda Bledug Kuwu
Legenda Terjadinya Bledug Kuwu
Konon kabarnya bahwa tanah Pulau jawa ini sudah dikuasai oleh Kerajaan Galuh yang diperintah Prabu Sindulaya Sang Hyang Prabu Watu Gunung. Pusat pemerintahannya berada di Jawa Barat, karena dianggap mempunyai peranan penting terhadap raja-raja di luar Jawa. Beliau memang berhasil mengangkat nama Galuh menjadi termasyhur dan juga rakyatnya hidup makmur.
Prabu Watu Gunung dikaruniai empat orang putra, yaitu Dyah ayu Dewi menjadi ratu di Nusatembini, Pangeran Adipati Dewata Cengkar, Dewata Pemunah Sakti menjadi adipati di Madura, dan yang terakhir Pangeran Adipati Dewata Agung menjadi adipati di Pulau Bali.
Rakyat Galuh cenderung tidak senang terhadap salah seorang pangeran yaitu Pangeran Adipati Dewata Cengkar. Tingkah lakunya yang kasar terhadap rakyat kecil dan suka menganiaya orang sangat tidak mencerminkan sebagai seorang pangeran. Lebih-lebih terhadap salah satu kegemarannya yang auka memakan daging manusia. Hal tersebut menjadikan rakyat Galuh yang dulunya hidup tenteram berubah menjadi kekhawatiran terhadap keselamatan mereka. Kemudian bagi rakyat yang hatinya kecil, seraya pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mencari perlindungan. Perubahan keadaan yang dirasakan oleh rakyat Galuh menjadikan Sang Hyang Watu Gunung mulai bertandang. Lebih-lebih yang menjadi biang keladinya adalah anaknya sendiri, sehingga Sang Prabu seperti dicoreng mukanya. Dengan rasa malu yang tidak dapat ditebus dengan nilai uang, seketika memerintahkan Patih untuk menghadapkan Dewata Cengkar ke istana.
Prabu Watu Gunung sangat murka kepada Dewata Cengkar. Dewata Cengkar yang tidak terima pergi begitu saja meninggalkan istana tanpa pamit. Dia bersama para pasukan yang masih setia kepadanya melarikan diri ke arah timur di waktu tengah malam. Mereka terus berjalan ke timur. Perjalanan mereka terhenti di saat mereka sampai di tempat yang sangat indah dan berlokasi sangat strategis. Tempat tersebut tepatnya di Pegunungan Kendeng. Dewata Cengkar mulai membangun bangunan seperti istana. Dia mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Medang Kamolan. Untuk membantu urusan pemerintahan diangkat seorang temannya dari Galuh yang bernama Arya Tengger menjadi Patih dan seorang lagi bernama Ruda Peksa menjadi Tumenggung.
Setelah Prabu Dewata Cengkar berhasil mengangkat nama Medang Kamolan menjadi termasyhur dan rakyat menjadi makmur. Medang Kamolan termasuk sudah bisa melupakan rasa balas dendamnya kepada Prabu Watu Gunung. Karena bujukan Patih Arya Tengger dan Ruda Peksa dendam Prabu Dewata Cengkar tersulut kembali. Dengan kemampuan prajurit Medang Kamolan yang sudah perkasa Dewata Cengkar menyerbu Kerajaan Galuh.
Kisah tragis bagi Prabu Watu Gunung, sejak peristiwa Dewata Cengkar makan daging manusia rakyat Galuh banyak yang meninggalkan kampung halamannya. Secara berangsur-angsur diikuti oleh warga yang lain dan tidak mau kembali lagi ke kampung halamannya. Akibatnya, menjadikan Prabu Watu Gunung menjadi murung. Kerajaan Galuh semakin lemah karena prajuritnya banyak yang meninggal dan penggantinya sulit dicari.
Dalam kondisi yang kronis semacam itu datang serangan dari prajurit Medang Kamolan yang dipimpin sendiri oleh rajanya. Prajurit Galuh menjadi kalang kabut karena tidak ada persiapan, pertempuran tidak bisa dielakkan. Pada saat prajurit Galuh hampir kalah dan terpojok, sudah ada yang melapor kepada Prabu Watu Gunung untuk minta bantuan. Prabu Watu Gunung sangat terkejut ketika laporan itu menyebutkan nama Dewata Cengkar. Prabu Watu Gunung matanya memerah dan pada saat itu pula memerintahkan pasukan istana untuk turun ke medan perang menghadapi putranya sendiri. Sesampainya di medan perang Prabu Watu Gunung seraya turun dari kudanya menghadapi langsung Prabu Dewata Cengkar.
“Dewata Cengkar, apakah demikian caranya seorang anak membalas budi terhadap orang tua? Aku ini ayahmu, besok yang memiliki Galuh juga kamu, tetapi caranya tidak seperti ini.”
“Aku sudah tidak butuh pidatomu lagi. Ayo sekarang lawan aku!”
“Sabarlah Dewata Cengkar, perbuatanmu ini tidak direstui oleh Yang Maha Agung. Terkutuk kamu nantinya.”
“Jangan banyak bicara lagi, sekarang serahkan Galuh padaku!”
“Iya, tapi jangan sekarang.”
Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Prabu Watu Gunung, Dewata Cengkar seketika mengangkat gada di tangannya dan langsung dihantamkan tepat pada tubuh Prabu Watu Gunung. Bersama dengan pukulan itu, terdengar suara menggelegar sambil mengeluarkan asap dan cahaya yang menyilaukan. Kemudian dengan hilangnya asap dan cahaya tersebut hilang pulalah tubuh Watu Gunung beserta kerajaan dan rakyat Galuh, kemudian berubah menjadi hutan belantara. Dari dalam hutan terdengar suara kutukan Prabu Watu Gunung.
“Dewata Cengkar, semua sudah terlanjur. Dengan sifat-sifatmu yang seperti binatang, nantinya akan menjadi kenyataan.”
Mendengar kutukan itu sebenarnya Dewata Cengkar merasa takut dan menyesal. Tetapi Arya Tengger dan Ruda Peksa masih bisa menguasai perasaan Dewata Cengkar kemudian sadar kembali dan melihat para prajurit menyanjung atas kemenangannya.
Atas kemenangannya itu rakyat Medang sudah mendengar. Mereka sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk merayakan kemenangan Prabu Dewata Cengkar. Para pegawai sibuk mempersiapkan semua kebutuhan untuk upacara menyambut kedatangan para prajurit dan rajanya yang pulang dari medan perang.
Lain lagi dengan kesibukan para wanita, karena tugasnya membuat masakan, sudah barang tentu berusaha untuk bisa menghidangkan makanan yang enak-enak. Tetapi naas bagi seorang wanita yang jari kelingkingnya terpotong, kemudian lari merawatnya menuju kamar obat. Setelah selesai wanita itu kembali lagi ke pekerjaannya. Betapa terkejutnya, potongan jari kelingkingnya tidak ditemukan lagi, termasuk daging yang diiris-iris semuanya sudah matang menjadi masakan.
Pesta untuk memeriahkan dimulai. Singkat cerita ternyata Prabu Dewata Cengkar tidak sengaja yang memakan potongan jari tersebut. Dia teringat kegemarannya di masa lalu yaitu memakan daging manusia. Setelah acara usai, Prabu Dewata memerintahkan Arya Tengger untuk mencari daging manusia yang akan dijadikan santapannya. Mula-mula yang dijadikan santapan adalah para narapidana. Setelah di penjara narapidana habis tak tersisa, berganti ke para pemuda kampung. Dewata Cengkar merasa bosan dan meminta Arya Tengger mencari daging wanita muda.
Sebenarnya rakyat Medang Kamolan sudah hampir habis karena banyak yang berbondong-bondong pergi meninggalkan Medang. Mereka meninggalkan Medang karena merasa takut jikalau mendapatkan giliran menjadi santapan Dewata Cengkar berikutnya. Arya Tengger dan Ruda Peksa merasa kebingungan kemana mereka harus mencari. Beruntung salah seorang anak buah Ruda Peksa menemukan ada seorang wanita muda bernama Roro Cangkek di rumah Kaki Grenteng. Arya Tengger meminta para prajurit untuk terus mengawasi rumah Kaki Grenteng, jangan sampai Roro Cangkek lolos.
Di sisi lain ada seseorang bernama Ajisaka datang menuju Jawa bersama dua orang abdinya, Dora dan Sembada. Mereka bermaksud datang ke Jawa untuk menyebarkan agama. Sebelum menginjakkan kaki di tanah Jawa, mereka singgah di Nusa Majedi (Pulah Bawean). Ajisaka melanjutkan perjalanan menuju tanah Jawa hanya bersama Dora. Sembada ditinggal di Nusa Majedi untuk menjaga barang-barang terutama keris pusaka Ajisaka. Ajisaka berpesan kepada Sembada, keris yang dititipkan jangan sampai diserahkan kepada siapapun kecuali Ajisaka sendiri yang mengambilnya.
Saat Ajisaka dan Dora sampai di tanah Jawa, mereka heran karena para rang-orang berbondong-bondong pergi meninggalkan Medang. Sepertinya mereka ketakutan. Ajisaka melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu rumah. Mereka singgah di tempat itu. Rumah itu adalah rumah Kaki Grenteng. Dengan pintu terbuka Kaki Grenteng sekeluarga menerima kehadiran mereka. Pada suatu ketika, Ajisaka mohon izin kepada Kaki Grenteng untuk ke kamar kecil. Sebelum masuk ke kamar kecil, Ajisaka bertemu dengan Roro Cangkek. Kecantikan Roro Cangkek membuat Ajisaka tertarik. Saat dia berada di kamar kecil, Ajisaka mengeluarkan air seninya. Air seni itu ternyata diminum seekor ayam jago milik Roro Cangkek.
Keesokan harinya, prajurit Medang datang ke rumah Kaki Grenteng untuk membawa Roro Cangkek dan dijadikan santapan bagi Dewata Cengkar. Para prajurit mendobrak pintu rumah dan membawa paksa Roro Cangkek. Ayah dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dibuat pingsan oleh para prajurit dengan benda keras. Dora juga tidak bisa berbuat sesuatu karena sudah dalam keadaan terikat. Ajisaka yang masih bebas dengan kecerdikannya berusaha mengelabuhi para prajurit. Ajisaka mengatakan bahwa Roro Cangkek mempunyai penyakit menular.
Para prajurit berhasil dikelabuhi dan melepaskan Roro Cangkek. Sebagai gantinya Ajisaka bersedia dikorbankan. Ajisaka dihadapkan kepada Dewata Cengkar.
“Hai anak muda, tahu maksudnya kau dibawa kemari?”
“Belum paduka.”
“Kau akan kujadikan santapanku.”
“Hamba bersedia paduka, tapi perkenankan hamba meminta sesuatu kepada paduka sebagai permintaan terakhir.”
“Katakan saja! Akan kupenuhi.”
“Hamba minta sebidang tanah seluas sorban yang saya ikatkan di kepala hamba ini paduka.”
“Hanya itu? Baiklah akan kukabulkan.”
“Tapi hamba minta paduka sendiri yang mengukurnya.”
“Baiklah.”
Hari eksekusi itu tiba. Ajisaka dibawa ke alun-alun. Pengukuran dilakukan sendiri oleh Dewata Cengkar. Ajaib, sorban itu tidak habis-habis digelar. Dewata Cengkar terus menggelar sampai di tebing Laut Kidul. Karena kelelahan, Dewata Cengkar terpeleset dan tergantung di tebing yang bawahnya adalah Laut Kidul.
“Ajisaka, aku menyerah, aku mengaku kalah. Baiklah, Medang sekarang kuserahkan padamu asalkan kau selamatkan aku.”
Permintaan itu tidak dituruti Ajisaka. Ajisaka malah melepaskan tangan Dewata Cengkar yang menggantung di tebing. Dewata Cengkar terjatuh masuk ke Laut Kidul. Anehnya, Dewata Cengkar berubah wujud menjadi seekor buaya putih. Dari laut terdengar suatu ancaman dari Dewata Cengkar kepada Ajisaka. Dia mengancam akan memakan anak cucunya yang lengah berada di Laut kidul akan dimakan Buaya Putih.
Setelah dinobatkan menjadi raja Medang Kamolan, Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Nusa Majedi mengambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di Nusa Majedi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka. Akhirnya kedua abdi itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.
Karena tak kunjung kembali, Ajisaka menyusul Dora ke Nusa Majedi. Betapa terkejutnya, yang ditemukan malah kuburan mereka berdua yang berarti mereka sudah mati. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua abdi kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
ha na ca ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
Setelah Ajisaka menjadi raja, Medang Kamolan menjadi kerajaan yang makmur. Rakyat bebas dari ketakutan kanibalisme yang dilakukan Dewata Cengkar. Di sisi lain, aneh, ayam jago yang dulunya meminum air seni Ajisaka itu bertelur layaknya ayam betina, tetapi hanya satu. Telur itu oleh Rara Cangkek dirawat dan disembunyikan di dalam lumbung padi.
Lumbung padi yang setiap hari padinya selalu diambil untuk dimakan sepertinya padi di dalamnya tidak habis-habis. Hal ini menyebabkan kecurigaan Kaki Grenteng. Setelah diselidiki ternyata terdapat ular raksasa. Ular raksasa itu dapat berbicara layaknya manusia dan mengaku anak dari Ajisaka.
Ular itu menminta dipertemukan dengan Ajisaka. Oleh Kaki Grenteng diberitahukan bahwa Ajisaka sudah menjadi raja di Medang Kamolan. Seketika ular tersebut mohon pamit untuk pergi menuju Medang Kamolan. Sesampainya di sana ular tersebut tidak diperlakukan dengan ramah. Para prajurit berusaha melawan ular itu. Ular itu tetap memaksa masuk dan akhirnya dipertemukan dengan Ajisaka. Mulanya Ajisaka tidak mau mengakui ular tersebut sebagai anaknya. Kemudian ular tersebut menceritakan asal-usulnya. Ajisaka sejenak berpikir. Ajisaka memberikan suatu syarat kepada ular tersebut jika ular tersebut sanggup mengalahkan buaya putih musuhnya yang berada di Laut Kidul maka Ajisaka bersedia mengakuinya sebagai anak.
Seketika ular tersebut pamit dan berangkat menuju Laut Kidul. Sesampainya di sana, pertarungan langsung terjadi. Dengan mengerahkan segala kesaktian yang dimiliki, Ular tersebut dapat mengalahkan dan membunuh buaya putih tersebut. Sebagai bukti ular tersebut sudah membunuh buaya putih, dia membawa kepala buaya putih.
Sesuai dengan perintah Ajisaka, ular tersebut tidak boleh lewat di atas tanah ketika kembali ke Medang. Ular tersebut lewat menyusuri bawah tanah. Karena dirasa sudah sampai, ular tersebut muncul ke permukaan. Rupanya belum sampai dan masih jauh. Tempat pertama ia muncul ke permukaan ini adalah di Jono, kemudian muncul lagi di Crewek dan yang ketiga kalinya muncul di Kuwu. Kemunculan yang ketiga ini terjadi keanehan. Karena di dalam tanah ular tersebut sudah kelelahan, dengan sekuat tenaga dia muncul ke permukaan dan berubah menjadi seorang anak kecil yang lumpuh dan linglung. Sejak saat itu ia dinamai Jaka Linglung.
Beruntung dia ditolong oleh seorang dukun bayi sampai keadaannya pulih. Anak kecil yang linglung setelah berpamitan dengan mbah dukun kembali menengok lubang yang digunakan untuk keluar dari bumi. Setelah sampai di dekatnya terjadi keajaiban lagi, tangan dan kakinya seketika menjadi satu melekat dengan badan mengembang terus hingga menjelma menjadi seekor ular raksasa seperti semula. Kemudian masuk lubang yang ada di depannya untuk melanjutkan perjalanan menuju Medang Kamolan. Lubang bekas masuknya Jaka Linglung tak lama kemudian pulih kembali, penuh berisi lumpur yang disusul dengan suara Bledug…bledug…. begitu seterusnya sampai sekarang. Sejak saat itu tempat tersebut dinamakan Bledug Kuwu.
Sesampainya di Medang Kamolan, Ajisaka bersedia mengakui Jaka Linglung sebagai anak karena sudah berhasil mengalahkan buaya putih. Tidak mungkin Jaka Linglung ditempatkan di istana. Ajisaka mengambil kebijakan Jaka Linglung ditempatkan kebun istana bersama teman-temannya sesama binatang. Binatang-binatang ini hidup rukun satu sama lain. Setelah selang beberapa hari, Jaka Linglung sudah tidak diperhatikan. Dia sudah jarang dikasih makan. Hal ini membuat ia merasa kelaparan. Rasa lapar yang tak tertahankan ini membuat dia terpaksa memakan temannya sendiri sesama binatang.
Kelakuan Jaka Linglung ini diketahui penjaga kebun dan melaporkannya kepada Prabu Ajisaka. Ajisaka marah dan menghukum Jaka Linglung. Dia dipindahkan ke Hutan Klampis. Jaka Linglung tidak boleh makan kecuali ada makanan sendiri yang datang ke mulutnya.
Pada suatu hari ada 9 anak penggembala yang sedang menggembala kambing di Hutan Klampis. Jaka Linglung tidak bisa makan dan kelaparan. Dia membuka mulutnya sehingga kelihatan seperti gua. Tubuhnya dimasukkan ke dalam tanah. Hujan turun dengan lebatnya. 9 anak tadi mencari tempat perlindungan. Mereka berlindung di dalam mulut Jaka Linglung yang dikira gua itu. Salah satu dari kesembilan anak tadi ada yang kudisan. Karena 8 orang tadi takut ketularan, mereka mengusir anak kudisan tadi. Anak kudisan berlindung di bawah pohon besar. Setelah hujannya reda, anak kudisan itu mencari teman-temannya. Dia kaget ketika teman-temannya sudah tidak ada, yang ada hanyalah seekor ular yang mulutnya berlumuran darah.
Anak itu segera berlari ketakutan dan mengatakan kepada para orang tua teman-temannya bahwa anak mereka sudah tewas dimakan ular. Peristiwa ini dilaporkan kepada Prabu Ajisaka. Ajisaka marah besar lagi. Jaka Linglung dimarahi habis-habisan.
Hal ini membuat Ajisaka bingung hukuman apa yang harus diberikan. Ajisaka kemudian mengundang Kaki Grenteng sekeluarga ke istana. Setelah dirapatkan akhirnya Ajisaka menghukum Jaka Linglung dengan cara dipantek tubuhnya dan mulutnya dicengkal sehingga tidak bisa mengatup lagi. Jaka Linglung menghembuskan nafas terakhir di tempat itu. Roro Cangkek yang melihat penyiksaan itu tidak kuasa menahan tangis. Tempat dimana Jaka Linglung dihukum terakhir itu sekarang bernama Bumi Kesongo.
Sumber: Mulyono U.
Warga sekitar Bledug Kuwu
Dan ternyata masih banyak kisah lainnya lagi yang serupa dengan postingan diatas ...wallahualam bishshawab.....esh

No comments:

Post a Comment