MERUNUT KONFLIK MATARAM SABDA RAJA - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Tuesday 2 January 2018

MERUNUT KONFLIK MATARAM SABDA RAJA


( Berkaitan dengan wahyu Gagak Emprit )
Sejenak lupakan konflik internasional dan teknologi tempur canggih. Mari menarik diri untuk melihat apa yang terjadi di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kasultanan yang biasa dikenal adem ayem tiba-tiba memercikkan api konflik. Ada pertentangan keras antara Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan sejumlah adiknya terutama Gusti Prabuningrat dan Gusti Yudhaningrat.
Konflik itu dipicu oleh dua pernyataan yang dikeluarkan Sultan sebagai raja yang disebut Sabda Raja dan Dawuh Raja. Keduanya disampaikan secara tertutup di Bangsal Kencana dan baru pada Jumat 9 Mei 2015, Sri Sultan menyampaikan isi lengkap dua pernyataan itu ke public. Dan hal ini banyak muncul pertanyaan yang menarik untuk dijawab dengan menyusuri kembali sejarah Mataram.
Sultan mengatakan Sabda Raja dan Dawuh Raja dikeluarkan karena dirinya mendapat perintah dari Tuhan melalui para leluhurnya. Mari kita simak dulu bunyi lengkap Sabda Raja dan Dawuh Raja itu sebelum membahas lebih lanjut.
Sabda Raja (dikeluarkan 30 April 2015)
Gusti Allah Gusti Agung Kuasa Cipta. Kawuningana sira kabeh abdining sun putri dalem sederek dalem sentana dalem lan abdi dalem. Nampa weninging dawuh Gusti Allah Gusti Agung Kuasa Cipta lan ramaningsun, eyang-eyang ingsung para leluhur Mataram wiwit wektu iki ingsun nampa dhawuh kanugrahan dhawuh Gusti Allah Gusti Agung Kuasa Cipta asma kalenggahan ingsun Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh, Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgenging Bawono Langgenging Tata Panatagama.
Sabdaraja iki perlu dimangerteni diugemi lan ditindakake ya mengkono sabdaningsun.
Inti dari Sabda Raja itu adalah mengubah gelar Sultan HB X. Semula gelar yang dimiliki sama dengan para pendahulunya kecuali dalam soal angka. Gelar sebelumnya adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono Senapati ing Ngalogo Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang jumeneng kaping sedasa
Sementara Dawuh Raja yang dikeluarkan 5 Mei 2015 berbunyi
Sira abdi ingsun seksenana Ingsun Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh, Suryaning Mataram Senapati Ing Ngalaga Langgenging Bawono Langgeng Langgenging Tata Panatagama kadhawuhan netepake putri ningsung Gusti Kanjeng Ratu Pembayun katetepake Gusti Kanjeng ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawana Langgeng Ing Mataram. Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun.
Intinya adalah mengganti nama putri tertua Sultan yakni GKR Pembayun menjadi Gusti Kanjeng ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawana Langgeng Ing Mataram. Nama yang mengarah pada putri mahkota. Artinya Pembayun yang akan meneruskan menjadi penguasa takhta Mataram
Soal siapa yang menjadi raja nanti bukan yang akan kita bahas. Tetapi soal perubahan nama Sultan memang memunculkan sejumlah konsekuensi dan persoalan.
Ada beberapa perubahan yang kemudian memunculkan berbagai persoalan. Pertama adalah hilangnya gelar Khalifatullah yang merupakan makna dari wakil Allah. Tetapi Sultan mengatakan bahwa gelar itu tidak hilang tetapi diganti dengan Langgenging Tata Panatagama yang maknanya sama.
Perubahan lain adalah Buwono menjadi Bawono. Dalam bahasa Jawa dua kata ini sebenarnya sama yang berarti bumi. Tetapi dalam makna filosofi menjadi beda. Buwono artinya bumi, sementara Bawono adalah semesta. Yang artinya tugas Sultan harus lebih luas. Selain itu kaping sedasa diganti dengan kasepuluh. Alasannya itu sesuai urutan. Kasepuluh berarti yang kesepuluh. Sementara kaping sedasa berarti sepuluh kali
Yang paling menarik sebenarnya munculnya kata Surya Mataram. Inilah yang kemudian akan membawa ke sejarah lama Mataram. Sultan mengatakan Surya Mataram muncul sebagai tanda berakhirnya perjanjian antara para pendiri Mataram yakni Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring. Perjanjian itu telah terpenuhi sehingga tidak ada lagi ada batas antara mataram lama dan mataram baru. Perjanjian itu telah memisahkan mataram menjadi mataram lama yakni dari masa Ken Arok hingga Pajang dan Mataram Baru dari jaman Panembahan Senapati hingga HB X ini. Jika perjanjian itu sudah dipenuhi maka berarti tidak ada lagi batas. Sejak Ken Arok hingga HB X berada dalam satu garis keturunan.
Untuk diketahui, ada pemahaman bahwa seluruh raja Jawa jika dirunut adalah keturunan Ken Arok. Dari Singasari, Majapahit, Pajang, hingga Mataram. Asal-usulnya dari garis keturunan Ken Arok dan Ken Dedes.
Pertanyaannya, siapa sebenarnya Ki Ageng Pemahanan dan Ki Ageng Giring? Darimana asal usul mereka dan perjanjian macam apa yang mereka lakukan.
Untuk melacak siapa Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, mari kita kembali di sekitar tahun 1478. Ketika Majapahit tak mampu lagi bertahan. Kerajaan yang pernah menguasai nusantara ini secara pelan namun pasti terus turun pengaruhnya sebelum kemudian dihancurkan oleh serangan Raden Patah dari Demak.
Raja Majapahit terakhir yakni Brawijaya V melarikan diri. Demikian juga keturunan raja. Mereka tersebar ke berbagai wilayah dengan tetap memegang keyakinan Majapahit akan bangkit lagi.
Dua dari putra Brawijaya yang menyingkir itu satu sampai di Gunungkidul yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Giring. Dia disebut putra Prabu Brawijaya V, sedangkan ibunya bernama Retno Mundri. Kemudian Ki Ageng Giring memiliki penerus Ki Ageng Giring II, Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Giring IV. Jika bicara soal Mataram maka berarti menyangkut pada Ki Ageng Giring III yang dimakamkan di daerah Sodo, Paliyan Gunungkidul. Dialah yang nanti menjadi salah satu pihak yang melakukan perjanjian pendiri Mataram.
Sementara salah satu keturunan Raja Majapahit yang melarikan sampai di daerah Grobogan yakni Bondan Kejawan, putra Brawijaya. Bondan Kejawan berputra Ki Getas Pandawa. Kemudian Ki Getas Pandawa berputra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela memiliki beberapa orang putri dan seorang putra bergelar Ki Ageng Ngenis. Ki Ageng Ngenis berputra Ki Ageng Pemanahan. Dan Pemanahan ini adalah ayah dari Sutawijaya, yang kemudian menjadi raja Mataram pertama yang disebut Panembahan Senapati.
Dari jalur keduanya tampak bahwa antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan dari keturunan Majapahit yang berarti keturunan Ken Arok.
Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring juga sama-sama murid dari Sunan Kalijaga. Tetapi kehidupan yang dijalani berbeda. Ki Ageng Giring memilih menjadi petani di Gunungkidul dengan terus berusaha mencari wahyu Kraton untuk membangkitkan lagi Majapahit. Sementara Ki Ageng Pemanahan meniti karier sebagai prajurit hingga memegang jabatan sebagai panglima tertinggi di Pajang.
Pajang sendiri merupakan kelanjutan dari Demak. Setelah Sultan Trenggono mangkat, keadaan Demak penuh perebutan kekuasaan. Hingga kemudian pusat kekuasaan dipindah ke Pajang oleh Sultan Hadiwijaya yang merupakan putra mantu Trenggono. Semasa muda, dia dikenal sebagai Jaka Tingkir. Dia adalah putra dari Ki Kebo Kenanga atau yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Hadiwijaya menghadapi pemberontakan salah satunya oleh Arya Penangsang. Yang akhirnya bisa dikalahkan oleh Sutawijaya (sebelum menjadi Panembahan Senopati) dengan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi sebagai aktor utamanya. Sebagai hadiah, Ki Penjawi mendapat bumi pardikan di daerah Pati, sementara Ki Pemanahan mendapat alas mentaok atau yang yang dikenal menjadi daerah Jogja sekarang ini. Pemanahan sebenarnya sempat kecewa karena Penjawi mendapat daerah yang sudah maju sementara dia harus membuka hutan. Dan pembukaan hutan inilah yang menjadi cikal bakal Mataram.
Ki Ageng Pemanahan membuka hutan tersebut dan membuat rumah pertama di daerah Kota Gede. Tetapi pada awalnya ini hanyalah perdikan yang masih ada di bawah Pajang. Belum menjadi kerajaan.
Nah kurang lebih demikian asal usul Pemanahan dan Penjawi yang melakukan perjanjian dan kemudian dinyatakan telah selesai oleh Sultan HB X melalui Sabda Raja dan memunculkan kata Surya Mataram di gelarnya.
Lalu perjanjian keduanya apa? Dan kenapa perjanjian itu bisa muncul? Kenapa dianggap selesai?
PERJANJIAN GIRING-PEMANAHAN
Ki Ageng Giring III menikah dengan Nyi Talang Warih melahirkan dari pernikahan tersebut dua orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV. Isyarat akan turunnya wahyu Kraton Mataram di perbukitan kidul itu atas petunjuk Sunan Kalijaga, seorang tokoh spiritual yang mampu melihat dengan pandangan lahir batin atas suatu persoalan masyarakat.
Oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai santri yang mampu menjalankan tirakat dengan kuat untuk menyangga negeri.
Untuk mengupas keterkaitan kisah ini, tidak bisa lepas dari perjalanan Ki Ageng Pemanahan mengawal Sultan Hadiwijaya di Kraton Pajang.
Pada saat itu, Ki Ageng Pemanahan masih dilingkungan Kraton Pajang di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Alkisah, setelah kemenangan Ki Ageng Pemanahan menaklukkan Aryo Penangsang di Jipang Panolan, belum mendapatkan hadiah dari sultan sebagaimana dijanjikan dalam sayembara, bahwa barang siapa yang bisa mengalahkan Aryo Penangsang akan mendapat hadiah tanah perdikan yang luas.
Ki Penjawi sudah diberi hadiah tanah Pati (Jawa Tengah), sementara Ki Ageng Pemanahan yang sebenarnya paling berhak malah belum mendapatkan haknya.
Karena kecewa hatinya, Ki Ageng Pemanahan lantas pergi dari istana. Ia menuju ke rumah sahabatnya, Ki Ageng Giring III, di daerah Gunungkidul. Ki Ageng Giring terkenal sebagai seorang petani pertapa sekaligus penyadab nira kelapa.
Bersamaan dengan itu, Sunan Kalijaga dawuh bahwa kelak wahyu Gagak Emprit akan turun di tengah pegunungan selatan dalam sebuah air degan. Namun kapan wahyu itu akan turun, Kanjeng Sunan tidak pernah menjelaskan dan pantang bagi murid untuk bertanya kepada Guru.
Oleh Sang Guru, Ki Ageng Pemanahan kemudian disuruh melakukan tirakat di daerah yang terdapat pohon mati yang berbunga. Pohon mati yang berbunga itu ditemukan oleh Ki Pemanahan yang sekarang disebut Kembang Lampir, wilayah Panggang, Gunungkidul. Adapun Ki Ageng Giring yang tinggal di daerah Paliyan Gunungkidul disuruh menanam sepet atau sabut kelapa kering, yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan atau buah kelapa muda. Sabut kelapa kering yang secara nalar tidak mungkin tumbuh, namun atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa.
Selama bertahun-tahun pohon kelapa itu dirawat dan dijaga Ki Ageng Giring di pekarangan rumahnya, hingga menjadi tinggi dan besar. Namun Ki Ageng merasa heran pohon kelapa itu tidak juga berbuah, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh gurunya, Sunan Kalijaga. Namun Ki Ageng tidak pernah ragu sedikit pun, kesabaran dan ketekunannya dalam ibadah diperkuat dan terus menjalankan laku prihatin sebagaimana tuntutan ajaran Islam, hingga suatu ketika pohon kelapa itu muncul degan satu biji saja dan beliau mendapatkan mimpi yang aneh.
Menurut mimpi itu, Ki Ageng harus segera memetik satu-satunya buah kelapa yang masih muda itu dan meminum airnya saendegan atau sekali teguk agar kelak dapat menurunkan raja dengan kepribadian yang utuh. Oleh karena itu, Ki Ageng Giring berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu agar cukup haus sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut dengan sekali minum.
Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, sahabatnya Ki Ageng Pemanahan datang dari Kembang Lampir dengan maksud untuk silaturahmi. Tuan rumah baik Ki Ageng maupun Nyai Ageng Giring rupanya tidak ada di rumah. Dalam keadaan capek dan haus Ki Ageng Pemanahan melihat buah degan di dapur. Tanpa pikir panjang Ki Ageng Pemanahan memaras degan itu dan meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan sekali teguk. Ia merasa tidak perlu meminta izin karena ia yakin kedekatan persaudaraan dengan sahabatnya itu.
Tak begitu lama kemudian datanglah Ki Ageng Giring dari ladang. Ia langsung menuju dapur bermaksud meminum degannya. Ternyata didapati degan sudah dibelahdan isinya sudah habis. Ia mendapati sang sahabat, Ki Ageng Pemanahan sedang bersantai di depan rumah. Dalam berbagai pentas kethoprak rakyat, dilukiskan dengan dialog sebagai berikut:“Lo Adi Pemanahan? Kapan tiba di gubugku ini, Di?” tanyanya sambil merangkul melepas rindu kepada sahabatnya.
“Baru saja Kakang, sudah lama aku tidak berkunjung ke sini, bagaimana kabar Kakang Giring?” kata Ki Ageng Pemanahan. “Kakang, karena kehausan dari perjalanan jauh, eh sampeyan dan mbakyu tidak ada. Aku langsung njujug pawon dan meminum degan yang ada di babragan milik Kakang, aku mohon maaf sebelumnya Kakang”, lanjut Pemanahan.
Ki Ageng Giring tertunduk lemas. Tetapi hanya bisa pasrah. “Ada apa Kakang kok tampak tidak berkenan. Maafkan atas kelancanganku”. Kata Pemanahan terbata-bata.
“Ketiwasan Adi!”, sergah Ki Ageng Giring dengan nada lemas dan kecewa berat. “Sebenarnya Adi, degan tersebut merupakan wahyu yang telah aku upadi dengan tapa brata yang sulit untuk mendapatkan kemuliaan bagi anak cucuku kelak di kemudian hari”, ia menegaskan. Ia kemudian menceritakan mengenai ‘wahyu gagak emprit’ yang diperolehnya berwujud degan tersebut. Dengan besar hati akhirnya ia berkata, “Adi, barangkali ini semua memang sudah menjadi titah Gusti, sehingga aku harus rela anak cucumulah kelak yang akan menjadi penguasa tanah Jawa ini. Namun Adi, apabila engkau tidak berkeberatan izinkan juga anak cucuku setelah keturunan ke tujuh darimu juga ikut nunut mukti.”
Ki Ageng Pemanahan kemudian menjawab, “Aduh Kakang Giring aku minta maaf, karena ketidaktahuanku aku menjadi penghalang kemuliaan anak cucumu. Akan tetapi barangkali ini memang sudah garising pepesthen. Namun demikian, aku rela dengan permintaan Kakang agar setelah keturunanku yang ketujuh nanti anak cucu Kakang ikut mukti wibawa. Dan untuk itu Kakang, apabila kita kelak mempunyai anak kuusulkan agar kita berbesanan sebagai jalan tengah”. Akhirnya kedua sahabat tersebut bersepakat.
Bagi Ki Ageng Giring, kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati pada generasi ketujuh. Setelah perginya Ki Ageng Pemanahan dari rumahnya, Ki Ageng tidak bisa menyembunyikan masygul hatinya. Ia banyak merenung mupus takdir di pinggir sungai, yang kini dikenal masyarakat dengan nama Kali Gowang. Nama Kali Gowang, karena hatinya lagi lagi terluka, gowang, kecewa, teriris-iris atas kegagalannya memperoleh wahyu Mataram. Setelah kegagalan itu, Ki Ageng Giring semakin banyak beribadah kepada Allah SWT dan tak lama kemudian kesehatannya mulai rapuh lalu dimakamkan di dekat rumahnya.
Kisah selanjutnya adalah kembalinya Ki Ageng Pemanahan ke Kraton Pajang, nagih janji kepada Sultan Hadiwijaya dengan diantar oleh Sunan Kalijaga.
Jadi perjanjian keturunan ke-7 Giring itulah yang dimaksud dinyatakan selesai. Betapapun membuktikan nasab hingga 7 turunan tidaklah mudah. Apalagi intrik dan campur tangan politik Jawa pada kurun waktu itu sangat keras. Kerajaan Mataram berpindah-pindah dari Kotagede ke Pleret, dari Pleret ke Kartasura dan akhirnya dari Kartasura ke Surakarta. Kita hanya mengetahui bahwa Kerajaan Mataram kemudian didirikan oleh Danang Sutawijaya putra Ki Ageng Pemanahan yang bergelar Panembahan Senopati. Panembahan Senopati kemudian menurunkan Panembahan Sedo Krapyak, Panembahan Sedo Krapyak menurunkan Raden Mas Rangsang yang kita kenal dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Babad Nitik Sultan Agung menguraikan perjalanan Sultan Agung, termasuk pembuktian bahwa Puger memang keturunan Giring. Penulis babad ini menceritakan bahwa pada suatu ketika parameswari Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi yang cacat. Bersamaan dengan itu isteri Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Panembahan Kajoran sebagai seorang ulama sepuh dan dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya bayi anak Wiramanggalalah yang dikembalikan ke Amangkurat I ditukar dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil.
Dengan demikian, menjadi benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng Giring-lah yang menjadi raja, meskipun silsilah itu diambil dari garis perempuan. Paku Buwono I adalah raja yang berdarah Giring.
Tetapi banyak yang menganggap bahwa kelapa muda yang disebut sebagai wahyu gagak emprit adalah kiasan atau sanepo belaka. Artinya bukan kelapa dalam arti sebenarnya. Karena kisah Jawa apalagi yang terkait raja selalu penuh dengan symbol.

No comments:

Post a Comment