KISAH SUNAN GESENG... - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Saturday 6 January 2018

KISAH SUNAN GESENG...


Dari beberapa versi...............
Bismillahirrohmaanirrohiim. Asyhadu allaa ilaaha illallooh wa asyhadu anna Muhammadar rosuululloh. Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan anugerah-nya kepada kita semua, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, hamba-Nya yang terkasih Rosuululloh Muhammad SAW, keluarga dan sahabatnya serta semua pengikut beliau hingga akhir zaman, amin.
Barang siapa mencintai Nabi Rosul Allah beserta Wali – Nya, berarti ia juga termasuk dalam mahabah kehadirot Allah SWT. Dengan kondisi yang seperti itu makanya kami ingin sedikit mengingat sejarah para Wali Allah di Tanah Jawa yang mengembangkan Agama Islam sebagai rohmatan lil ‘alamin.
Telah menjadi sunatullah pada masa zaman Majapahit bergulirlah suatu perjalanan permasalahan aqidah dari Hindu – Budha menjadi Islam yang di awali dengan berdirinya Kerajaan Demak Bintoro yang dirajai oleh beliau Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Islam di Demak Bintoro Insya Allah pada tahun 1403, yang di sponsori oleh Majelis Wali Songo yang mansyur dengan metode dakwahnya dan kearifan juga keramatnya.
Dengan partisipasinya wali songo ini, Allah telah menentukan kehendaknya Kerajaan Islam Demak Bintoro menjadi Kerajaan Besar dan berpengaruh di bumi tanah jawa dan sekitarnya. Dari awal ini kami ingin mengutarakan mahabah kami terhadap wali Allah yang bernama Ki Cokrojoyo yang akhirnya terkenal dengan Sunan Geseng. Pada zaman wali songo terkenallah seorang wali dari jawa yang bernama Raden Said yang terkenal dengan Sunan Kalijogo.
Pada saat itu Sunan Kalijogo syiar agama Islam di suatu daerah, beliau bertemu dengan seorang hamba Allah yang bernama Ki Cokrojoyo, istrinya bernama Rubiyah dan memiliki seorang putra bernama Joko Bedug, pekerjaan Ki Cokrojoyo menyadap gula kelapa, walau hanya dengan kehidupan yang sederhana keluarganya tentram dan bahagia, karena Ki Cokrojoyo dan keluarganya “ nrimo ing pandum ” dengan ketentramannya itu Ki Cokrojoyo senang bersenandung ( uro-uro ), dalam perjalanan syiarnya Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Ki Cokrojoyo, yang akhirnya diajarkan Kalimat Dzikir yang dilantunkan dengan pujian.
Hari – hari Ki Cokrojoyo selalu pujian dengan kalimat yang diajarkan oleh Wali Allah Sunan Kalijogo, dan suatu saat keajaiban terjadi dengan amalan itu saat Ki Cokrojoyo mengambil hasil panennya yang dibuat gula kelapa tiba-tiba berobahlah gula kelapa itu menjadi emas, namun Ki Cokrojoyo tidak menjadi bangga malah beliau langsung bersiku dan berpamitan pada istri dan anaknya untuk mencari Kanjeng Sunan Kalijogo.
Setelah ketemu Kanjeng Sunan Kalijogo menerima Ki Cokrojoyo di terima sebagai murid dan disuruhnya bertapa, yang insya allah dilakukan satu tahun. Setelah satu tahun Kanjeng Sunan Kalijogo teringat akan kondisi muridnya yang bertapa lalu dicarinya dalam pencarian tempat yang digunakan bertapa telah menjadi hutan alang-alang yang akhirnya dibakar oleh Kanjeng Sunan Kalijogo.
Setelah habis alang-alangnya barulah tampak Ki Cokrojoyo masih dalam kondisi bertapa dan gosong, karena terbakarnya dengan ilalang dan pada saat itu dibangunkannya Ki Cokrojoyo dengan ucapan salam Kanjeng Sunan Kalijogo yang akhirnya terbangun dan langsung sungkem ( sujud ) terhadap Gurunya, setelah itu Kanjeng Sunan Kalijogo memerintahkan untuk mandi dan menyuruh pulang menemui keluarganya, setelah ketemu keluarga diceritakannya segala kejadian pada istrinya dan anaknya. Istri dan anak ikut bersyukur kehadirat Allah atas diselamatkannya Ki Cokrojoyo atas bimbingan Kanjeng Sunan Kalijogo.
Dari perjalanan itu diangkatlah derajat Ki Cokrojoyo di hadapan Allah menjadi Wali Allah, maka Ki Cokrojoyo di beri nama oleh Kanjeng Sunan Kalijogo menjadi Sunan Geseng untuk mengingat laku dan ketawadukannya terhadap Guru sehingga bisa mencapai derajat mulia.
Dan setelah itu di tugaskannya Sunan Geseng oleh Sunan Kalijogo untuk syiar Islam, khususnya mengajak masyarakat untuk bertauqid membaca dua kalimat syahadat yang terkenal ajakan Sunan Geseng yaitu masalah ( sasahidan ) membaca dua kalimah syahadat dan menjalankan ajaran Rosul Muhammad SAW.
Selain Sunan Geseng ada murid-murid Sunan Kalijogo yang terkenal lagi yaitu Sunan Bayat (Klaten), Syekh Jangkung (Pati) dan Ki Ageng Selo (Demak). Dari riwayat itulah maka kami jama’ah Dzikrurrohmah sedikit mengingat sejarah beliau karena beliau termasuk Wali Allah yang juga berjasa dalam pengembangan Islam di Tanah Jawa.
Sunan Geseng berdakwah dengan sangat santun dan arief, yaitu melakukan pendekatan budaya dengan masyarakat jawa. Seperti yang di lakukan Gurunya Kanjeng Sunan Kalijogo, Berda’wah dengan menggunakan wayang kulit, melakukan selamatan yang tujuannya untuk bersedekah dan muji syukur kehadirat Allah, serta memuliakan tamu-tamu santri, umat, masyarakat, pejabat yang diajak berdzikir dan puji-pujian. Dengan cara itulah masyarakat jawa yang tadinya hindu, budha diajak menyeberang ke Islam.
Begitulah bijaknya Sunan Geseng Wali Allah tidak mematikan budaya-budaya yang baik dan luhur. Yang dilakukan dengan tidak melanggar aqidah dan syariat, tapi sangat ampuh untuk menyatukan, umat masyarakat.
Semoga dari sedikit penjelasan ini kita bisa melanjutkan perjuangan beliau Sunan Geseng dan Wali-Wali Allah semua sebagai generasi penerus perjuangan Nabi Muhammad SAW.
Batu gosong...
Di sini meninggalkan sebuah cerita yang sangat menakjubkan dengan bukti berupa petilasan yang masih terjaga dengan baik dan bisa disaksikan oleh siapa saja yang ingin melihatnya. Petilasan itu berupa batu gosong, yang konon diyakini sebagai tempat duduk Sunan Geseng ketika terbakar oleh api.
Sunan Kalijaga amatlah dekat dan melekat di hati kaum muslimin di Tanah Jawa melebihi yang lainnya. Kelebihan utamanya adalah kepiawaiannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam adat tradisi orang Jawa. Kecintaan masyarakat Jawa terhadap wayang, memberikan inspirasi bagi Sunan Kalijaga untuk memasukkan hikayat-hikayat Islam ke dalam permainan wayang. Sunan Kalijaga adalah pencipta lakon wayang kulit dan pengarang buku-buku wayang yang mengandung cerita dramatis bernuansa Islam.
Salah satu murid kinasih Sunan kalijaga adalah Sunan Geseng. Beliau adalah murid yang sangat patuh dan setia terhadap semua perintah Sunan Kalijaga. Pada suatu hari Sunan Kalijaga ingin menguji kesetiaan Sunan Geseng dengan ujian yang cukup berat. Sunan Geseng yang waktu itu masih bernama Ki Cokrojoyo, buyut Nyai Ageng Bagelen, diminta untuk menjaga dan memegangi tongkat yang ditancapkan di sebuah bukit di wilayah Bagelen. Sunan Kalijaga berpesan agar Ki Cokrojoyo tidak meninggalkan tempat itu sampai beliau kembali.
Ki Cokrojoyo duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat yang ditinggalkan oleh Sunan Kalijaga. Hujan, panas, dingin dan ancaman binatang buas selama menunggui tongkat gurunya tak sejengkalpun Ki Cokrojoyo menggeser tempat duduknya. Ia tetep tak bergeming dari tempat duduknya, meski hanya sesaat. Hari demi hari, bulan terus berganti, tahun demi tahun tak terasa Ki Cokrojoyo telah duduk bersila memegangi dan menjaga tongkat gurunya selama 1 tahun.
Setelah 1 tahun itulah Sunan Kalijaga kembali ke tempat itu untuk menemui muridnya Ki Cokrojoyo. Namun apa yang terjadi di luar dugaan? Muridnya tak terlihat lagi di tempat itu. Bukit tempat dimana Ki Cokrojoyo memegangi dan menjaga tongkat Sunan Kalijaga sudah berubah menjadi sebuah hutan yang sangat lebat.
Sunan Kalijaga dengan amat terpaksa membakar tempat itu untuk mengetahui tempat sang murid, yang ditinggalkan sendirian selama 7 tahun tersebut. Dengan keadaan hutan yang sangat menyeramkan, hati Sunan Kalijaga tak yakin apakah Ki Cokrojoyo masih bertahan di tempat itu.
Setelah tiga perempat bagian hutan itu habis terbakar, di sanalah tampak Ki Cokrojoyo duduk bersila dalam keadaan sama persis ketika ditinggalkan dahulu. Tubuhnya hitam terpanggang api sambil memegangi erat tongkat Sunan Kalijaga yang ditancapkan di tanah.
Bagian Ki Cokrojoyo tampak gosong akibat terpanggang api, namun dirinya tak bergeming sedikitpun dari tempat duduknya. Hati Sunan Kalijaga terharu saat itu. Beliau belum pernah menemui kesetiaan dan ketaatan yang sangat luar biasa dari seorang muridnya itu sebelumnya. Melihat pengorbanan sedemikian besar yang telah diberikan oleh muridnya, maka sejak itu Ki Cokrojoyo telah lulus ujian dan dinilai telah memiliki ilmu setingkat dengan ilmu seorang wali. Lantas Ki Cokrojoyo diberi gelar Sunan Geseng.
Petilasan Sunan Geseng berada di puncak Gunung Siringin, Pedukuhan Gatep, Desa/Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Selain di Bagelen petilasan Sunan Geseng juga terdapat di daerah Piyungan Bantul (DIY), Kebumen (Jateng) dan makamnya berada di Argotirto, Magelang (Jateng). Tidak jauh dari lokasi petilasan juga terdapat sebuah batu besar dengan permukaan agak rata dan lebar.
Oleh penduduk setempat diberi nama Si Roto, diyakini tempat berkumpulnya para wali dalam membahas syiar Islam di Tanah Jawa. Hingga sekarang juga masih ada peninggalan Sunan Geseng lainnya, yakni berupa bangunan masjid yang sekarang diberi nama Masjid Sunan Geseng. Masjid ini terletak di Pedukuhan Kauman, Desa/Kecamatan Bagelen, kurang lebih berjarak 2 Km dari lokasi petilasan Sunan Geseng.
Hampir setiap hari banyak orang datang berziarah di sini. Peziarah tersebut tidak hanya berasal dari Kabupaten Purworejo saja, tak sedikit juga peziarah yang datang dari luar kota. Seperti dari Semarang, Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Solo, kota-kota besar lainnya di Pulau Jawa ini.
Jalan menuju ke lokasi batu petilasan Sunan Geseng kurang lebih berjarak 500 meter dari jalur utama Jalan Raya Purworejo-Jogjakarta Km 11,5. Jalannya cukup menantang, sedikit terjal karena terletak di puncak bukit yang memiliki ketinggian kurang lebih 100 meter di atas permukaan tanah. Meski demikian jalan ke lokasi sudah cukup nyaman dengan adanya perbaikan oleh pemerintah setempat.
Kisah lain yang serupa.....
Sunan Geseng, Mubaligh Tanah Bagelen
Judul: Sunan Geseng: Mubaligh Tanah Bagelen
“Clontang-clantung,
wong nderes buntute bumbung,
apa gelem apa ora?“
(Clontang-clantung,
orang nderes ekornya bumbung/bambu,
apa mau apa tidak?)
Ini adalah tembangan berbau mantra yang selalu diucapkan oleh Ki Cakrajaya, tukang nderes nira kelapa sebelum memanjat pohon nira (aren). Hasil dari nderesan itu kemudian diolah menjadi gula.
Cakrajaya adalah seorang tukang nderes nira kelapa yang hidup miskin di tengah hutan. Dia tinggal di Desa Bedhug, Tanah Bagelen -saat ini Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo-, berada di bantaran aliran Sungai Watukura/Bagawanta. Karena saking miskinnya, dia juga dipanggil “Ki Petungmlarat”. Meskipun demikian, orang mengenalnya sebagai seorang yang kuat bertirakat/tapa brata, sehingga menjadi luhur budinya dan sakti ilmunya. Karenanya, Ki Cakrajaya di-”tua”-kan di wilayahnya.
Suatu hari, ketika Ki Cakrajaya akan memanjat pohon nira -siap dengan mantranya, datanglah seorang yang pembawaannya sangat ‘alim menghampirinya.
“Kisanak, apa sebabnya setiap kali engkau memanjat batang aren selalu mengucapkan kalimat tadi?”
“Itulah mantra agar hasilnya melimpah”, jawab Ki Cakrajaya.
“Ah, apa yang Kisanak ucapkan itu salah dan kurang tepat”.
“Salah dan kurang tepat? Ah, anda rupanya belum kenal denganku. Akulah Ki Cakrajaya, tukang nderes sudah sejak masa kecilku. Itu merupakan ilmu warisan leluhurku dan mantra itupun bukan sembarang mantra!”
“Betul kata-katamu, Kisanak. Tapi aku mempunyai mantra yang lebih unggul, yang akan bisa menghasilkan lebih banyak dari mantramu itu”, kata lelaki ‘alim dengan perbawa mantap dan tegar.
“Buktikanlah, Kisanak!” pinta Cakrajaya.
“Baiklah, ijinkanlah aku melihat cara Kisanak mengolah legen (nira) itu”. Ki Cakrajaya lalu mengajak laki-laki tadi ke rumahnya, lalu mengajarinya. Sang tamu kemudian mencetal gula aren satu tangkap. Cetakan itu diserahkan pada Ki Cakrajaya dengan pesan agar jangan dibuka sebelum dirinya keluar dari Desa Bedhug.
Setelah laki-laki itu keluar dari desanya, Ki Cakrajaya segera membuka cetakan gula. Matanya terbelalak karena isinya bukan lagi gula, melainkan setangkap emas yang berkilauan. Ki Cakrajaya tersadar, bahwa tamunya tadi bukanlah orang sembarangan. Diapun mengejar sang tamu. Dia akhirnya berhasil juga mengejar dan menemukan laki-laki misterius itu, yang tidak lain adalah Sunan Kalijaga; anggota Wali Songo yang termasyhur di kalangan rakyat jelata.
Karena dibuat penasaran, Ki Cakrajaya minta diajarin “mantra sakti” dengan bersedia menjadi muridnya. Sunan Kalijaga kemudian mengajarkan syahadat. Sejak saat itu, Cakrajaya selalu diajak Sunan Kalijaga mengembara dari satu daerah ke daerah yang lain sambil menyebarkan dakwah Islam.
Suatu saat, Sunan Kalijaga pamit ingin sembahyang ke Mekkah -dalam riwayat yang lain dikatakan ke Demak/Cirebon. Cakrajaya diperintahkan untuk menunggu tongkatnya. Cakrajaya kemudian duduk bersila, penuh khidmat. Saking lamanya, tubuh Ki Cakrajaya ditumbuhi rumput belukar, bambu berduri. Tempat bertapanya itu pun berubah. Ketika Sunan Kalijaga teringat bahwa ia telah meninggalkan muridnya, maka datanglah dia ke tempat Ki Cakrajaya menunggui tongkatnya. Karena semak-belukar begitu rimbun dan rapat, maka dibakarlah rumpunan bambu berduri itu. Ajaibnya, Ki Cakrajaya tidak cedera sedikitpun. Hanya kulitnya saja yang berubah menjadi hitam. Karena hitam (Jawa=geseng), maka Sunan Kalijaga memanggil Ki Cakrajaya menjadi “Sunan Geseng“.
Menurut riwayat, proses pembakaran itu menghasilkan nama-nama daerah yang masih ada hingga kini. Misalnya, Muladan. Berasal dari kata ‘mulad‘ (berkobar-kobar). Daerah ini sekarang terletak di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Sunan Geseng terus diajak Sunan Kalijaga mengembara ke arah timur. Suatu ketika Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya, maka muncullah sumber air yang disebut ‘sendang‘ (Danau). Oleh Sunan Kalijaga, Sunan Geseng diminta mandi dan membersihkan tubuhnya yang telah terbakar. Sungguh ajaib, Sunan Geseng pun sembuh. Tubuhnya kembali seperti semula. Kotoran hasil bersih-bersih badan itu kemudian terbawa hingga ke Sungai Kedung Pucung. Dan sendang tempat mandi itu kemudian disebut Sendang Banyu Urip.
Pengembaraan terus berlanjut. Sampailah di suatu daerah, Sunan Kalijaga memberikan wejangan tentang hidup dan ilmu-ilmu Tuhan. Maka daerah itu kemudian disebut Desa Ngajen -dari kata mengaji, yang saat ini berada di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul.
Ketika berdakwah di wilayah Bagelen, Sunan Kalijaga (dan Sunan Geseng) telah mendirikan pondok pesantren di Dukuh Watu Belah, sekarang tepatnya di Desa Trirejo, Kecamatan Loano. Lalu Desa Dlangu, sekarang Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo. Juga mendirikan mesjid Loano di Desa/Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo. Kemudian mesjid di Kauman Bagelen.
Makam Sunan Geseng Tirto
Desa Tirto merupakan salah satu desa yang terdapat di dalam Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di dalam desa Tirto terdapat makam Ki Cokrojoyo atau lebih dikenal sebagai Sunan Geseng. Tepat nya lokasi makam Sunan Geseng terdapat di dalam Dusun Tirto yang berada didalam Desa Tirto. Makam beliau cukup dihormati orang - orang di sekitar makam. Selain dikunjungi oleh orang - orang yang tinggal disekitar makam, makam tersebut juga kerap kali dikunjungi oleh para pendatang yang tinggal nya bukan berasal dari Kecamatan Grabag juga. Ada beberapa waktu yang dimana pengunjung makam Sunan Geseng tersebut begitu banyak sehingga membludak. Waktu - waktu yang banyak datang nya pengunjung ke makam Sunan Geseng adalah pada bulan ramadhan sekitar tanggal 20an. Selain pada bulan ramadhan, ada juga hari - hari dimana pengunjung makam Sunan Geseng tersebut terhitung lumayan banyak yaitu pada hari - hari besar Islam. Biasa nya pengunjung lebih sering mengunjungi makam Sunan Geseng pada hari Kamis malam hari. Karena pada Kamis malam di percaya orang - orang sebagai waktu yang paling tepat untuk digunakan ber-ziarah seperti yang dipercaya orang - orang pada umum nya bahwa Kamis malam atau di sebut juga malam jumat terutama malam jumat kliwon dipercaya waktu yang paling sakral dalam melakukan ziarah ke makam dan memanjatkan doa - doa.
Mitos pemindahan makam :
Setelah beberapa waktu berselang Eyang Cokrojoyo memutuskan untuk tinggal menetap di Kleteran. Beliau berteman dengan Eyang Wonotirto. Eyang Cokrojoyo sempat berpesan kepada Eyang Wonotirto bahwa jika Eyang Cokrojoyo meninggal, beliau ingin Eyang Wonotirto memakamkan dirinya di desa tempat tinggal Eyang Wonotirto. Menurut cerita didalam usaha pemindahan jenazah Eyang Cokrojoyo dari Kleteran ke Desa Tirto, Eyang Wonotirto menjelma menjadi seekor kucing kemundian jenazah dari Eyang Cokrojoyo menjadi seekor tikus putih sehingga pemindahan tersebut tidak dicurigai dan tidak diketahui oleh orang - orang. Sedangkan makam istri dari Eyang Cokrojoyo tetap berada di Kleteran.

2 comments:

  1. Sabung Ayam Terpopuler S128 dan SV388 Dapat Anda Saksikan Live Disini
    Cukup Daftarkan Diri anda dan Dapatkan Akun Untuk Menonton Sabung Ayam Kesayangan Anda..

    Dapatkan Bonus New Member 10%
    Dapatkan Bonus Deposit harian 5%
    Dapatkan Bonus 100% Langsung 7x win Beruntun ....

    Daftar Sekarang dan Dapatkan User ID untuk Menonton Sabung Ayam.. Gratiss

    Customer Service 24 Jam
    Hubungi Kami di :
    WA : 087785425244

    ReplyDelete
  2. kelinci99
    Togel Online Terpercaya Dan Games Laiinnya Live Casino.
    HOT PROMO NEW MEMBER FREECHIPS 5ribu !!
    NEXT DEPOSIT 50ribu FREECHIPS 5RB !!
    Ada Bagi2 Freechips Untuk New Member + Bonus Depositnya Loh ,
    Yuk Daftarkan Sekarang Mumpung Ada Freechips Setiap Harinya
    segera daftar dan bermain ya selain Togel ad juga Games Online Betting lain nya ,
    yang bisa di mainkan dgn 1 userid saja .
    yukk daftar di www.kelinci99.casino

    ReplyDelete