JAYABAYA - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Friday, 11 March 2016

JAYABAYA



Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.
Pemerintahan Jayabhaya
Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kediri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang melawan Jenggala.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.
Kemenangan Jayabhaya atas Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh empu Sedah dan empu Panuluh tahun 1157.
Jayabhaya dalam Tradisi Jawa
Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya. Contoh naskah yang menyinggung tentang Jayabaya adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa.
Dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa.
Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.
Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang.
Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya.
Dikisahkan dalam Serat Jayabaya Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.
Dari nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri.
Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Jayabaya. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada umumnya bersifat anonim.
Jayabaya adalah sejarah atau legenda cerita rakyat ?
Nama Jayabaya sangat populer bukan hanya dikalangan orang tradisional Jawa, tetapi juga bagi orang Indonesia umumnya, itu semua dikarenakan adanya ramalan kuno yang disebut Jangka Jayabaya, yang ramalannya seputar kemerdekaan Indonesia 1945 – terbukti kebenaranya.
Indonesia merdeka didahului dengan masuknya tentara Jepang selama 3,5 tahun dengan mengusir kolonialis Belanda yang telah bercokol lebih dari 3.5 abad dinegeri ini. Dengan tepat pula meramalkan siapa Ratu, maksudnya Pemimpin , Presiden pertama R.I dan bagaimana perjalanan perjuangannya.
Isi ramalan Jayabaya adalah :
1. Ramalan tentang perjalanan negara di Nusantara/Indonesia.
2. Sikap ratu/pemimpin yang baik yang seharusnya dilakukan dan sikap jelek yang pantang dilakukan.
3. Contoh perilaku ratu/pemimpin yang bisa jadi panutan.
4. Sikap pamong/priyayi/birokrat dan tingkah laku manusia dimasyarakat pada saat tertentu.
5. Gejolak alam, yaitu berbagai bencana alam termasuk wabah dan penyakit, perubahan iklim dan geologis/geografis. termasuk jebolnya Lapindo ( tambak segaran kedua )
6. Watak dan tindakan manusia yang mempengaruhi kehidupan secara umum, keadaan negara dan perilaku alam.
Esensi pralambang Jayabaya mengandung nasehat yang bijak, bagaimana manusia bisa hidup selamat sejahtera dengan berkah Tuhan. Tentu harus punya kesadaran yang tinggi, selalu berbuat baik terhadap sesama manusia, mahluk, bumi, alam dan menyadari kodratnya sebagai titah dari Sang Pencipta. Dengan berbudi luhur, manusia akan mengalami kehidupan di jaman Kalasuba, yang serba baik,enak, makmur, tetapi kalau masih saja melanggar norma-norma baku kehidupan seperti moralitas, tata susila , maka masyarakat dan negeri ini akan berada pada jaman Kalabendu, yang serba nista, terpuruk, tidak karuan.
Watak mulia Jayabaya
Semua pihak berpendapat bahwa Prabu Jayabaya sangatlah bijak, kuat tirakatnya dalam mengemban tugas negara. Untuk memecahkan persoalan negara yang pelik, Sang Prabu disertai oleh Permaisuri, Ratu Pagedhongan ( sering di sebut-sebut dalam bacaan mantra-mantra Jendra), disertai pula oleh beberapa menteri dan punggawanya yang terkait, melakukan perenungan/ngelelimbang di Padepokan Mamenang, memohon petunjuk Gusti, Tuhan.
Perenungan/ngelelimbang bisa berlangsung beberapa hari, minggu, bisa juga sebulan bahkan tahun, ini di lakukan demi mendapatkan jawaban/petunjuk dari Dewata Agung, mengenai langkah yang harus dilakukan demi kebaikan kawula dan negara.
Selama masa perenungan/ngelelimbang di Mamenang, Raja dan Ratu hanya menyantap sedikit kencur, kunyit dan temulawak (tiga buah sebesar jari telunjuk) dan minum secangkir air putih segar yang langsung diambil dari mata air, sehari cukup 2 atau 3 kali. Sedangkan para menteri hanya menyantap semangkok bubur jagung dan secangkir air putih setiap waktu makan. Dan setelah mendapatkan jawaban/solusi , Raja dan rombongan kembali ke istana di Kediri.
Sabdo Pandito Ratu
Di istana diadakan Pasewakan Agung , rapat kerajaan yang dipimpin raja, dikesempatan tersebut raja mengumumkan kebijakan yang diambil kerajaan dan yang mesti dijalankan dan ditaati seluruh pejabat dan kawula.
Apa yang diputuskan dan telah diucapkan oleh raja didepan rapat itu, disebut Sabdo Pandito Ratu atau Sabdo Brahmono Rojo, harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak termasuk oleh raja sendiri. Jadi, seorang raja/pemimpin itu harus memenuhi janjinya dan apa yang diucapkan harus ditepati, tidak boleh mencla-mencle , cedera janji.
Ini adalah salah satu falsafah kepemimpinan Kejawen yang sudah dikenal sejak dari masa lampau. Rahayu...!
Perselisihan dengan Jenggala....
Sejak tahun 1135 Masehi, yang menduduki tahta kerajaan Panjalu ialah Shri Aji Jayabaya, yang bergelar Shri Maharaja Shri Warmeshwara Madhusudanamataranindhitta Suhrtsingha Paramakrama Digjayatunggadewanama Jayabhayalancana. Pada waktu peng-hadapan di hari Kamis, Shri baginda duduk di atas singgasana bersama dengan prameswari Dyah Hayu Sarameshwari.
Nampak telah menghadap Shri baginda .ialah putra, mahkota sang Maha Mantri Sarweswara yang duduk berdampingan dengan patih Dyah Suksara. Mereka bersama-sama membahas kesejahteraan rakyat. Belum selesai Shri baginda bersabda, perbincangan pun terganggu oleh keributan di luar sitinggil, yang ternyata adalah datangnya putri sulung Shri baginda, prameswari raja Janggala, yang bernama Dyah Pramesthi. Sang putri menghadap ayahanda baginda sambil menangis tersedu-sedu.
Betapa terkejutnya Shri baginda menerima kedatangan putri sulungnya, pulang ke Kadhiri tanpa pengawal dalam keadaan yang lemah lunglai lusuh membiaskan kesusahan yang sangat mendalam, sebab diusir oleh suaminya dituduh sebagai mata-mata dari Panjalu.
Serasa ditendang dada Shri Jayabaya mendengar laporan sang putri sulung. Sehingga keluarlah perintahnya yang sangat mahal, untuk mempersiapkan perang melawan Janggala Alkisah peijalanan prajurit Panjalu yang meninggalkan gerbang kota, menum­buhkan rasa bangga bagi masyarakat pedesaan yang dilaluinya. Suara tambur dan bendera perang yang bersulam emas bergambarkan singa berbadan manusia, menggetarkan hati siapapun yang melihatnya.
Di praja Janggala, Shri Narpati Darmatungga telah mendengar bahwa mertuanya tidak menerimakan perlakuannya terhadap Dyah Pramesthi, maka segeralah Shri Darmatungga mempersiapkan pasukan untuk menghadapi ‘singa’ dari Panjalu.
Pertempuran dahsyat pun tak terhin­darkan di bulak Hantang. Kedua pasukan telah bermandikan keringat dibakar matahari yang sedang bertengger di puncak langit. Debu ber­gelung-gelung menyelimuti medan pertem­puran, menempel lekat di tubuh para prajurit yang bersimbah darah.’Gelung rambutterurai awut-awutan, yang nampak bukan lagi manusia yang beradab melainkan jin setan janggitan yang gentayangan mencari mangsa.
Shri Aji Jayabaya benar-benar seorang maha jurit yang pantas disebut sebagai titisan Wishnu. Meloncat menyerang barisan lawan, bagai harimau kelaparan menyergap, mang­sanya. Barisan Janggala hancur berantakan diteijang oleh sang ‘singa’ Jayabaya. Bangkai musuh pun berserakan bagai glagah yang diamukgajah.
Pada akhirnya, kedua narpati yang sedang bertikai itu pun telah berhadaphadapan, antara mertua dan menantu, masing-masing menempatkan diri sebagai senopati agung. Keduanya telah siap untuk berperang tanding. Ternyatalah Shri Aji Darmatungga bukan tandingan Shri Aji Jayabaya. Dalam pertarungan yang singkat tangan Shri Jayabaya sempat menyentuh dada Shri Darmatungga, menimbulkan suara gemeretak, dadanya pecah Shri Darmatungga gugur di medan laga.
Pasukan Panjalu pun bersorak gegap gempita, menyaksikan junjungannya unggul dalam perang tanding. Janggala telah takluk dan sepenuhnya dikuasai oleh Panjalu.
Shri Jayabaya dengan pasukannya segera pulang ke Panjalu, di gerbang kota mereka dijemput oleh para kawula yang mengelu elukan para pahlawannya. Untuk memperingati kemenangan yang telah diperoleh, maka sejak saat itu kota Dahana pura juga disebut Pamenang. Dalam kesempatan itu pula Shri Jayabaya berkenan memanggil Mpu Sedah, untuk diperintahkan menulis sejarah perang saudara antara raja Janggala dengan Panjalu dalam bentuk gubahan kesusasteraan yang berjudul Baratayuda.
Memenuhi titah baginda, segeralah Mpu Sedah pamit pulang ke Wukir Padang, memusatkan fikiran untuk mulai menggubah kesusasteraan Baratayuda.
Setelah beberapa lama kemudian, dalam rangka baginda berkeliling ke desa-desa, maka singgahlah Shri baginda ke padepokan Wukir Padang, untuk menjenguk hasil kerja Mpu Sedah. Dalam kesempatan itu Mpu Sedah dengan jelas menyampaikan cerita Baratayuda yang sebagian telah diselesaikannya. Pada bagian awalnya, nampak Shri baginda sangat ‘ berkenan di hati. Namun demikian, setelah sampai pada kisah Prabu Salya dengan dewi Pujawati, serta merta Shri baginda murka. Mpu Sedah dituduh telah mencemooh dan menyinggung perkawinan Shri Jayabaya dengan prameswari Retnayu Sarameshwari, putri maha pendeta Mpungku ‘ Naiyayikadarsana.
keris pusaka, bagai didorong oleh kekuatan yang tak kasat mata bagai kilat keris itu pun menyambar menghujam dada Mpu Sedah tembus belikat. Mpu Sedah menjerit roboh seketika. Geger di Wukir Padang, para cantrik berlarian menyingkir takut pada Shri baginda yang sedang murka. Mayat Mpu Sedah segera disempurnakan melalui upacara sesuai dengan tuntunan agama. Shri baginda pun pulang ke Pamenang.
Sesampainya di istana, segera Shri Baginda memanggil Mpu Panuluh untuk menyelesaikan cerita Baratayuda yang belum selesai. Mpu Panuluh menyatakan kesediaannya.
Nampaklah bahwa Shri baginda sangatlah menyesal telah membunuh Mpu Sedah, oleh sebab itu untuk memulihkan rasa prihatin, Shri baginda berkenan mengangkat menantu cucu Mpu Sedah anak Ajar Subrata yang bernama Endang Sulastri untuk dinikahkan dengan putra baginda satria di Pakanjunan yang bernama Jaya Hamisena.
Tak terlukiskan megahnya upacara pernikahan antara Endang Sulastri dengan Jaya Hamisena. Konon, Mpu Panuluh telah berhasil menyelesaikan tulisan Baratayuda dan menghaturkannya kepada Shri baginda. Puas hati Shri baginda menerima sastra Baratayuda, hal tersebut tercatat dalam sandi sastra yang berbunyi SANGA KUDA SUDDA CANDRAMA (1079 Saka = 1157 Masehi)Selamat sejahtera Shri Jayabaya bertahta sampai dengan tahun 1157 Masehi.
Cerita ini terangkum dalam untaian tembang, MIJIL, SINOM, MASKUMAMBANG dan PANGKUR.
Cerita Mokswanya Prabu Jayabaya Beserta Para Punggawanya

Sebelumnya mohon maaf, jika penjabaran lewat tulisan ini sama sekali berbeda dengan versi sejarah resmi. Karena apa yang akan kami bahas ini adalah versi legenda dan mitos termasuk supranatural yang berkembang di sekitar masyarakat dimana dulu kerajaan ini berdiri.
Menurut sejarah, tepatnya legenda, kerajaan Kediri yang kala itu diperintah oleh Prabu Jayabaya sama-sama “mokswa” beserta raja dan punggawanya. Konon, keduanya berpindah ke alam gaib.
Menurut kepercayaan kabuyutan, Wisnu ngejawantah atau turun ke Arcapada di bumi Jawa. Tanah yang dipilih oleh sang Wisnu adalah Kediri, dan kemudian dia bergelar Sri Jayabaya. Wisnu sendiri berarti hidup, urip nurcahyo, suksma.
Sedang arti nejawantah adalah ngeja = muncul, kelihatan dan wantah = nyata. Dan bernama Jayabaya berarti = kesaktian, kemenangan, benih hidup yang berwujud menjadi baya = bayi. Di Kediri dia berwujud badan raga, atau manusia hidup yang dilengkapi suksma dan raga. Oleh karena itu, banyak yang percaya kalau Kediri itu tempat yang paling tua di tanah jawa, tempat hidup manusia pertama di tanah Jawa yang sudah lengkap dengan suksma dan raganya.
Kelahiran Wisnu di tanah Kediri sendiri persisnya berlangsung di sebuah desa kecil yang dibuka ditengah rimba belantara di pinggir sungai Kediri, Jawa Timur. Karena tanahnya yang subur, maka banyak warga yang ikut bergabung dan menjadi ramailah tempat itu. Yang babad alas adalah kakak beradik yang sakti dan bijaksana bernama Kyai Doho dan Kyai Doko.
Ngejawantahnya Wisnu yang kemudian berganti nama menjadi Jayabaya di Kediri, kelak akan membuat tempat ini menjadi pesat sekali perkembangannya. Karena itu, akhirnya dibentuk sebuah negeri yang diberi nama kerajaan Doho. Sedangkan desanya, atau mungkin ibukotanya jika di jaman sekarang, diberi nama Daka. Istananya sendiri di beri nama Mamenang.
Di bawah pemerintahan prabu Jayabaya, banyak kerajaan kecil yang ikut melebur jadi satu. Dengan begitu, kerajaan Doho makin bertambah besar dan berjaya.
Kyai Doho sendiri selaku pembabat hutan diberi kepercayaan oleh raja dengan kedudukan sangat tinggi dengan nama kebesaran Ki Butolocoyo, yang berarti orang bodoh yang bisa dipercaya. Hal ini sebagai bentuk penghargaan raja atas jasanya yang telah membuka wilayah tersebut. Sementara itu, Kyai Doko, adiknya, diberi pangkat senopati perang dan diberi nama Kyai Tunggul Wulung.
Raja dan ratu Mamenang ini punya pesanggrahan bernama pesanggrahan Wanasatur. Di pesanggrahan ini, pasangan pemimpin ini sangat besar sekali tirakatnya. Meski tinggal puluhan hari, keduanya hanya makan rimpang kunir dan temulawak saja. Didekat pesanggrahan yang dulunya digunakan untuk menanam kedua tanaman obat ini sampai sekarang masih bernama desa SiKunir dan Silawak.
Makanya tak mengherankan bila prabu Jayabaya waskita batin. Mengerti sak durunge winarang (tahu sebelum kejadian). Jauh hari sudah diprediksikan kalau sepeninggal dirinya negeri Doho ini akan pindah ke Medang Kamulan, yaitu Prambanan, dan kembali ke Jenggala (daerah Kediri), selanjutnya ke Sigaluh (Jawa Barat), Majapahit (Jatim), ke Jawa Tengah lagi (Demak, Pajang, Mataram), lalu ke jaman baru (kemerdekaan).
Setiap raja memutuskan pindah pusat pemerintahan selalu diikuti kawulanya. Dan daerah yang ditinggalkannya menjadi hutan kembali.
Karena satu peristiwa sang Prabu Jayabaya akhirnya mokswa, dan tak diketahui jejaknya. Bahkan sepeninggal dirinya, negeri Doho dilanda banjir bandang, dan keraton Mamenang rusak parah diterjang ganasnya lahar gunung kelud, hingga akhirnya negeri Doho kembali menjadi hutan belantara.
Ki Butolocoyo yang ikut mokswa akhirnya diminta oleh prabu Jayabaya untuk menjadi raja makhluk halus di Goa Selebale, yang terletak di selatan Bengawan Solo. Kyai Tunggul Wulung ditunjuk untuk menjadi penguasa gunu kelud. Abdi kinasihnya, Ki Kramataruna, tinggal di sebuah sindang atau telaga kecil di desa Kalasan, yang terletak di sebelah barat keraton Mamenang.
Ramalan Tanah Jawa Dari Raja Kediri ( Jayabaya )
Asal muasal ramalan ini adalah saat prabu Jayabaya raja Kediri bertemu pendita dari Rum yang sangat sakti, Maulana Ali Samsuyen. Ia pandai meramal serta tahu akan hal yang belum terjadi. Jayabaya lalu berguru padanya, sang pendeta menerangkan berbagai ramalan yang tersebut dalam kitab Musaror dan menceritakan penanaman orang sebanyak 12.000 keluarga oleh utusan Sultan Galbah di Rum, orang itu lalu ditempatkan di pegunungan Kendeng, lalu bekerja membuka hutan tetapi banyak yang mati karena gangguan makhluk halus, jin dsb, itu pada th rum 437, lalu Sultan Rum memerintahkan lagi di Pulau Jawa dan kepulauan lainnya dgn mengambil orang dari India, Kandi, Siam.
Sejak penanaman orang-orang ini sampai hari kiamat kobro terhitung 210 tahun matahari lamanya atau 2163 tahun bulan, Sang pendeta mengatakan orang di Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah Hajar Subroto di G. Padang.
Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan Pulau Jawa sejak ditanami yang kedua kalinya hingga kiamat, lamanya 2.100 th matahari. Ramalannya menjadi Tri-takali, yaitu :
I. Jaman permulaan disebut KALI-SWARA, lamanya 700 th matahari (721 th bulan). Pada waku itu di jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar, petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak manusia menjadi dewa dan dewa turun kebumi menjadi manusia.
II. Jaman pertengahan disebut KALI-YOGA, banyak perobahan pada bumi,bumi belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak makhluk yangsalah jalan, karena orang yang mati banyak menjelma (nitis).
III. Jaman akhir disebut KALI-SANGARA, 700 th. Banyak hujan salah mangsa dan banyak kali dan bengawan bergeser, bumi kurang manfaatnya, menghambat datangnya kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang yang mati banyak yang tetap memegang ilmunya.Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa.
Silahkan dicermati dan perhatikan secara seksama. Apakah ramalan ini sudah terjadi atau belum.



1 comment:

  1. Gabung Bersama kami di Betpulsa,net
    Situs Paling Terpercaya Betpulsa
    Menangkan Bonus Jutaan Rupiah Setiap Harinya
    Jaminan Kemenangan Bergaransi

    Games Yang Tersedia Antara Lain :
    * SPORTSBOOK
    * POKER
    * LIVE CASINO
    * IDN LIVE
    * BLACK JACK
    * SLOT ONLINE
    * SABUNG AYAM S128

    Promo di Betpulsa :
    * Min Depo 25 K
    * Min WD - 50 K
    * Bonus New Member 15%
    * Next Deposit 10%
    * Bonus Harian 5%
    Dan Masih Banyak Bonus Lainnya
    * Deposit Via Pulsa Tanpa Potongan Rate 100%
    * Deposit dan Withdraw 24 jam Non stop ( Kecuali Bank offline / gangguan )
    * Proses Deposit & Withdraw Tercepat
    * Livechat 24 Jam Online
    * Untuk Info Lebih Lanjut Bisa Hubungi CS Kami

    ## Contact_us ##
    WHATSAPP : 0822 7636 3934

    ReplyDelete