BABAD TULUNGAGUNG - SEJARAH, CERITA, LEGENDA & MITOS

Saturday 12 March 2016

BABAD TULUNGAGUNG



PERGURUAN PACET
Pada zaman Pemerintahan Mojopahit hubungan antara daerah pedalaman sangat sulit, sehingga keamanan di sebelah selatan sungai Brantas tidak mudah dapat dikuasai.
Sering disana-sini timbul pemberontakan. Berdirinya perguruan-perguruan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan raja, karena selain mengajarkan ilmu, para guru pada umumnya juga merupakan mata telinga dari pada perguruan Negara. Demikian pula hubungannya dengan peguruan di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal dipimpin oleh seorang sakti bernama Kyai PACET.
Kyai Pacet mengajarkan ilmu Joyokawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya :
1. Pangeran Kalang dari Tanggulangin.
2. Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak.
3. Menak Sopal dari Kadipaten Trenggalek.
4. Kyai Kasanbesari Tua-Tua dukuh Tunggul.
5. Kyai Singorataruno dari dukuh Plosokandang.
6. Kayi Sendang Gumuling dari desa Bono.
7. Pangeran Lembu Peteng putra Majapahit (termasuk murid baru).
Pada suatu hari Kayi Pacet telah mengadakan pertemuan dengan para murid-muridnya. Pada persidangan itu selain memberikan wejangan-wejangan ilmu, Kyai Pacet menceritakan, bahwa diantara murid-muridnya ada yang mendirikan peguron, tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu kepada gurunya.
Kyai Kasanbesari merasa tertusuk perasaannya, dikarenakan dia sendirilah yang mendirikan peguron sebagaimana kata sindiran yang telah diucapkan dihadapannya dengan terus terang oleh sang guru tersebut.
Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Besari meninggalkan tempat pesamuan. Dengan kepergian Kyai Besari yang tanpa pamit itu Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran BEDALEM untuk menasehati Kyai Kasanbesari agar menyadari diri dan mau kembali ke Bono rowo untuk tetap menjadi murid dari Kyai Pacet. Apa sebab Kyai Pacet menunjuk kedu murid tersebut, karena ia mengerti bahwa Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam juga menjadi muridnya Kyai Kasanbesari. Dengan keberangkatan dua orang utusan tersebut maka Kyai Pacet berpesan pada murid-murid lainnya supaya mereka mau tetap di Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan mengadakan semadi di dalam sebuah gua. Yang ditugaskan mengawasi di luar gua adalah Lembu Peteng.
KYAI KASANBESARI INGIN MEMBUNUH KYAI PACET.
Kyai Kasanbesari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan marah terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem. Dalam wawancaranya Pangeran Bedalem menyatakan, bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet, dan dia terus pulang ke Betak. Sebaliknya Pangeran Kalang malah menunjuki tindakan Kyai Besari bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berontak dan membunuh gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo dengan tujuan untuk membunuh Kyai Pacet. Pada waktu Kyai Besari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemadi dengan tanpa diketahui oleh fihak yang mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena dalam penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang siap untuk menerkamnya. Kyai Besari dan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar dari gua dan lari tunggang langgang.
Konon, setelah kedua orang itu melarikan diri maka Kyai Pacet telah memanggil Pangeran Lembu Peteng yang berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah waktu Kyai Pacet sedang bersemadi Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa dia tadi telah mendengar suara “GEMLUDUG” dan setelah dilihatnya tampak bahwa Kyai Pacet memegang cahaya yang kemudian berubah menjadi sebilah keris. Keris tersebut kemudian diberi nama Kyai Gleduk, sedang desa dimana Kyai bersemadi hingga sekarang bernama GLEDUG. Selesai bersemadi Kyai Pacet segera mengejar kedua orang yang sedang berlari itu.
Kyai Kasanbesari mengerti kalau dikejar, segera mengeluarkan kanoragannya dengan membanting buah kemiri yang berubah menjadi seekor harimau.
Kyai Pacet mengimbanginya dengan membanting bungkul gamparan yang berubah menjadi ular besar. Kedua binatang itu berkelahi. Harimau kanoragan dari Kyai Besari kalah dan berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Besari menderita kekalahan itu oleh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang. Kyai Besari terus melarikan diri, sedang Kyai Pacet bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke Padepokan untuk mengerahkan murid-murid guna menangkap Kyai Besari dan Pangeran Kalang.
Murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan dipimpin oleh Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-temannya dapat berjumpa dengan Kyai Besari dan Pangeran Kalang. Timbullah peperangan yang ramai. Kyai Besari melarikan diri ke Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pangeran Lembu Peteng.
Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada waktu itu putera dari Pangeran Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di Tamansari.
Roro Kembangsore merasa tidak keberatan bahwa Pangeran Kalang bersembunyi di situ, karena Pangeran Kalang masih pernah pamannya (saudara dari Ayahnya).
Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke tamansari untuk mencari Pangeran Kalang.
Di tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore. Puteri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi disitu. Pangeran Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan menyatakan rasa asmaranya. Roro Kembangsore mengimbanginya.
Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langenasmara, maka Pangeran Kalang yang bersembunyi di tamansari itu dapat mengintip dan mengetahui bagaimana tindakan kemenakannya terhadap Pangeran Lembu Peteng. Dengan diam-diam Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada kakaknya ialah Pangeran Bedalem.
Pangeran Bedalem setelah mendengar pelaporan dari adiknya, menjadi marah sekali, terus pergi ke tamansari. Timbullah perang antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus dikejar oleh Pangeran Bedalem.
Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan diri dari peperangan dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, rumah Kyai Betak, yaitu pernah kakaknya. Pada waktu itu Kyai Betak sedang berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama Banguntulak dan Dadaptulak. Dengan kedatangan Kyai Besari kedua anak tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang.
Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu itu bermaksud untuk meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “NGIDERI PARI”. Kyai Betak tidak meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi perang. Kyai Betak kalah dan mati terbunuh. Kyai Besari terus pergi dengan membawa pusaka Korowelang.
Waktu Dadaptulak dan Banguntulak pulang dari ladang, mereka sangat terkejut melihat ayahnya berlumuran darah dan dalam keadaan tidak bernyawa. Oleh sebab tidak ada orang lain yang datang di situ kecuali Kyai Besari, maka Banguntulak dan Dadaptulak yakin bahwa pembunuhnya tak lain tentu Kyai Besari.
Segera mereka mengejarnya ke arah selatan dan dapat menemukannya. Terjadilah peperangan. Banguntulak dan Dadaptulak kalah. Banguntulak terluka dan berlumuran darah. Darahnya berbau langu. Maka tempat dimana ia mati dinamakan Boyolangu, sedang tempat dimana Dadaptulak meninggal dinamakan Dadapan.
Kyai Besari melanjutkan perjalannya. Ia berjumpa dengan Pangeran Bedalem yang sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem menceritakan tentang peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu bersedia membantunya. Keduanya segera pergi mencari Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama-sama Roro Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat tertangkap dan dibunuhnya. Jenazahnya dibuang ke dalam sungai. Roro Kembangsore dapat meloloskan diri terus lari. Punakawan dari Pangeran Lembu Peteng setelah mengetahui peristiwa terbunuhnya Pangeran yang menjadi momongannya itu memberi tahukannya kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera mengirimkan utusan, ialah Adipati Trenggalek dengan diikuti oleh bekas punakawan Pangeran Lembu Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Mojopahit. Dalam perjalannya mereka bertemu dengan Perwira Mojopahit bersama dengan Pangeran Suka yang ketika itu mendapat tugas dari Raja untuk mencari putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, ialah Pangeran Lembu Peteng. Adipati Trenggalek menceritakan hal ikhwal tentang terbunuhnya Pangeran Lembu Peteng. Setelah mengerti prosesnya maka Perwira Mojopahit tersebut ingin membuktikan tempat kejadian itu bersama-sama dengan wadyabalanya.
Meskipun diadakan pengerahan tenaga untuk mencarinya, namun jenazahnya Pangeran Lembu Peteng tak dapat diketemukannya. Sungai dimana jenazah Pangeran Lembu Peteng dibuang oleh Perwira Mojopahit diberi nama Kali Lembu Peteng.
PERWIRA MADA MENCARI JEJAK PANGERAN BEDALEM DAN KYAI BESARI.
Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa ia dikejar oleh balantentara dari Mojopahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke jurusan selatan. Karena takutnya maka Pangeran Bedalem bunuh diri mencebur ke sebuah kedung. Kedung tersebut kemudian dinamakan Kedung Bedalem. Oleh sebab Kadipaten Betak lowong, maka yang diangkat untuk mengganti Bedalem ialah Pangeran Kalang.
Balatentara Mojopahit disebar untuk mencari Kyai Besari. Putra Mojopahit yang bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi ini kena dirunduk oleh Kasan Besari dan tergelincir masuk ke sebuah Kedung hingga meninggal dunia. Kedung tersebut lalu diberi nama Kedungsoko. Akhirnya Kyai Besari dapat diketemukan di desa Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh sebab itu Kyai Besari tidak mau menyerah maka timbul peperangan. Kyai Besari kalah dan terkena pusaknya sendiri yaitu Korowelang. Dukuh tersebut oleh Sang Perwira diberi nama dukuh Tunggulsari.
Karena kecakapannya menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat gelar Patih Gajah Mada.
PANGERAN KALANG JATUH CINTA KEPADA Rr. INGGIT Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawar oleh Rr. Inggit, adik dari Retno Mursodo janda alm. Pangeran Bedalem. Roro Inggit ingin dijadikan istrinya, tetapi menolak dan Retno Mursodo juga tidak menyetujuinya.
Pangeran Kalang memaksanya. Roro Inggit bersama Retno Mursodo meninggalkan Betak dan terus melarikan diri menuju ke desa Plosokandang.
Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi kehilangan jejak, sehingga ia lalu mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa barang siapa ketempatan dua orang putri dari Kadipaten Betak tetapi tidak mau lapor, maka akan dijatuhi hukuman gantung.
KYAI PLOSOKANDANG DIPERSALAHKAN
Salah seorang murid dari Kyai Pacet yang bernama Kyai Singotaruno disebut pula Kyai Plosokandang, karena berasal dari dukuh Plosokandang. Pada suatu hari ia ketemuan dua orang putri ialah Rr. Inggit dan Rr. Mursodo. Kedatangan putri Betak ini sengaja mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang. Segala sesuatu mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh Rr. Mursodo diceritakan semua, dan karena itu Kyai Singotaruno tidak berkeberatan untuk melindunginya, meskipun ia sendiri mengerti bahwa usahanya itu sangat berbahaya bagi jiwanya sendiri.
Adipati Kalang datang sungguh ke Plosokandang dan bertanya kepada Kyai Singotaruno apakah dia mempunyai tamu yang berasal dari Betak. Kyai Singotaruno menjawab bahwa ia tidak mempunyai tamu seorangpun. Tetapi Adipati Kalang tidak percaya, dan ingin mencarinya sendiri ke belakang. Roro Mursodo dan Roro Inggit ketika mendengar bahwa tamu yang datang itu Adipati Kalang, segera berkemas dan melarikan diri ke jurusan barat. Adipati Kalang mengetahui hal ini, dan ia sangat marah kepada Kyai Singotaruno. Kyai Singotaruno dianggap salah, dan dijatuhi hukuman gantung.
RORO INGGIT BUNUH DIRI.
Oleh karena Roro Inggit takut bila sampai dipegang oleh Pangeran Kalang, maka ia berputus asa dan bunuh diri terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Tempat dimana Roro Inggit bunuh diri oleh Pangeran Kalang diberi nama desa Beji. Adapun Roro Mursodo terus lari menuju ke Gunung Cilik.
MBOK RONDO DADAPAN.
Ketika Pangeran Lembu Peteng perang dengan Kyai Besari, maka Roro Kembangsore dapat memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan.
Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama mBok Rondo Dadapan. mBok Rondo mempunyai anak laki-laki bernama Joko Bodo. Lama kelamaan Joko Bodo terpikat oleh kecantikan wajah Roro Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak secara halus oleh Roro Kembangsore. Oleh karena Joko Bodo selalu mendesak maka pada suatu hari ketika mBok Rondo Dadapan sedang bepergian, Roro Kembangsore mengajukan permintaan. Ia bersedia dikawin, asalkan Joko Bodo mau menjalani tapa mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodo menerima permintaan tadi dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji itu tidak diketahui oleh mBok Rondo Dadapan. Roro Kembangsore juga pergi menuju ke Gunung Cilik. Maka ketika mBok Rondo pulang dari bepergian ia merasa terkejut, karena keadaan rumah kelihatan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi kesana kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya diketemukan Joko Bodo sedang duduk termenung menghadap kebarat. Dipanggilnya berulang kali tidak mau menjawab. Karena jengkelnya mBok Rondo lupa dan mengumpat “Bocah diceluk kok meneng bae kaya watu”.
Seketika itu juga karena kena sabda mBok Rondo, Joko Bodo berubah menjadi batu. mBok Rondo menyadari atas keterlanjuran kata-katanya. Maka ia lalu berharap; “Besuk kalau ada ramainya zaman gunung ini saja beri nama “GUNUNG BUDEG”, dan hingga sekarang gunung tadi disebut orang gunung budeg.
RESI WINADI DI GUNUNG CILIK
Pada suatu hari Sang Patih mendengar berita bahwa di gunung cilik ada seorang pendeta wanita yang menamakan diri Resi Winadi. Yang menjadi pendeta tersebut sebetulnya ialah Roro Kembangsore. Kecuali menjadi pendeta ia juga menjadi empu. Resi Winadi mempunyai dua orang cantrik kinasih yang bernama SARWO dan SARWONO. Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke Kadipaten Betak untuk mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri untuk diadu dengan pusaka milik Pangeran Kalang.
Cara mengadunya adalah sebagai berikut :
Kalau pusakanya ditikamkan di pohon beringin daunnya rontok dan pohonnya tumbang, itulah yang menang. Selanjutnya bilamana pusaka Resi Winadi yang kalah maka Resi Winadi tunduk dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya kalau pusaka Sang Resi menang dan Pangeran Kalang menghendaki untuk dimilikinya maka ada syaratnya ialah Pangeran Kalang supaya pergi sendiri ke Gunung Cilik untuk memintanya, tetapi bila sudah mulai naik gunung harus berjalan dengan jongkok (laku dodok), tidak diperkenankan memandang wajah sang resi sebelum diizinkan. Setelah cantrik mengerti akan tugasnya berangkatlah ia. Kecuali penugasan kepada cantrik Sarwo, Resi Winadi juga menugaskan kepada Sarwono untuk masuk ke tamansari Betak dengan menyamar, dan yang penting dapat mencabut sumbat ijuk yang berada di Tamansari. Adapun letaknya di bawah batu gilang .
Setelah datang di Betak cantrik Sarwo menghadap Adipati Kalang dan mengutarakan segala maksudnya, ialah apa yang ditugaskan oleh Resi Winadi.
Pangeran Kalang menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun-alun untuk diadunya. Pusaka Betak dicoba terlebih dahulu, ialah ditikamkan pada pohon beringin kurung yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun, tetapi tidak apa-apa. Sekarang datang gilirannya pusaka Gunung Cilik. Setelah ditikamkannya, maka semua daunnya telah rontok dan kemudian tumbanglah pohon itu.
Pangeran Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka tersebut. Sarwo tidak keberatan asal Pangeran Kalang bersedia memenuhi syarat-syaratnya tadi. Pangeran Kalang tidak berkeberatan. Dengan diantar oleh cantrik Sarwo dan diikuti oleh beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah Pangeran Kalang ke Gunung Cilik. Di tamansari Betak, Sarwono yang ditugaskan mencabut sumbat ijuk di bawah batu gilang dapat menemukan tempat itu. Sumbat segera dicabutnya, dan seketika itu memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak tertimpa banjir dan terendam air. Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan naik sebuah getek.
DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK
Waktu itu Sarwono sedang menghadap Resi Winadi untuk melaporkan tugas yang dilaksanakan. Datanglah ibunya Rr. Mursodo. Maka saling berceritalah mengenai riwayat masing-masing. Tak lupa pula disebut-sebut tentang matinya Rr. Inggit, karena dikejar-kejar oleh Pangeran Kalang. Mereka sangat bergembira dapat bertemu kembali sehingga saling mencucurkan air mata. Kemudian datanglah Patih Majapahit dengan bala tentaranya juga ingin menyatakan kebenaran berita yang diterimanya.
Pada saat itu tampaklah dari jauh kedatangan dua orang. Yang seorang berjalan jongkok dan nyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh cantrik Sarwo. Setelah dekat, maka Sang Resi memberi perintah supaya Pangeran Kalang memandangnya. Alangkah terkejutnya bercampur malu. Karena yang disembah-sembah tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu bercampur takut maka Pangeran Kalang terus melarikan diri, yang kemudian dikejar oleh Patih Mojopahit.
PANGERAN KALANG MATI TERBUNUH.
Timbullah peperangan antara Prajurit pengawalnya Pangeran Kalang dengan bala tentara Mojopahit. Prajurit dari Pangeran Kalang mengalami kekalahan dan kesemuanya mati terbunuh di suatu desa, yang mana oleh Patih Gajah Mada desa tersebut diberi nama desa BATANGSAREN.
Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Mojopahit dapat ditangkap dan dihujani senjata tajam, sehingga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka-luka. Tempat dimana Pangeran Kalang tertangkap ini diberi nama CUIRI.
Meskipun keadaan sudah parah masih dapat melarikan diri, tetapi …….
Tempat tertangkap untuk kedua kalinya ini diberi nama desa Kalangbret.
Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah, lalu bersembunyi di song sungai, dan disinilah ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Tempat tersebut oleh Patih Gajah Mada dinamakan desa Ngesong. Setelah keadaan aman Patih Gajah Mada kembali ke Mojopahit. Bekas pertapaan Rr. Kembangsore hingga sekarang menjadi tempat pesadranan.

2. ASAL MULA NAMA TULUNGAGUNG
Sejarah menyatakan, bahwa nama TULUNGAGUNG tidaklah timbul dengan tiba-tiba. Telah banyak musim silih berganti, berikut masa-masa yang dilampauinya, yang kesemuanya itu meninggalkan kenang-kenangan yang tersendiri di dalam lembaran riwayat terjadinya kota Tulungagung. Apa yang dapat kita kenangkan dari nama TULUNGAGUNG di dalam riwayat lama, sebenarnya adalah suatu tempat lingkaran yang berpusat pada sekitar alun-alun termasuk desa Kauman dan Kampungdalem.
Tulungagung berasal dari dua perkataan : TULUNG dan AGUNG. Kata TULUNG mempunyai dua arti :
Pertama : TULUNG dalam bahasa Sanskerta artinya SUMBER AIR atau dalam
bahasa bahasa Jawa dapat dikatakan umbul.
Kedua : TULUNG yang berarti pemberian pertolongan atau bantuan.
Adapun : AGUNG berarti besar.
Jadi lengkapnya TULUNGAGUNG mempunyai arti “SUMBER AIR BESAR” dan “PERTOLONGAN BESAR”.
Meskipun SUMBER AIR, dan PERTOLONGAN itu berlainan artinya, namun di dalam sejarah Tulungagung kedua-duanya tak dapat dipisahkan, karena mempunyai hubungan erat sekali dalam soal asal mula terbentuknya daerah maupun perkembangannya.
Dahulu orang menyebutnya Kabupaten Ngrowo, ialah sesuai dengan keadaan daerahnya yang berupa rawa-rawa. Lalu lintas perhubungan dilakukan melalui sungai, terutama lewat sungai yang hingga sekarang masih disebut sungai Ngrowo. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila letak daerah-daerah yang disebut-sebut orang dalam sejarah maupun cerita-cerita rakyat kesemuanya tidak jauh letaknya dari sungai, misalnya : Gledug, Pacet, Waung, Ketandan, Tawing, dan lain-lain. Sebelum dijadikan Kabupaten daerah-daerah itu dikuasai oleh para Tumenggung di bawah perlindungan kerajaan Mataram.
Di daerah Ngrowo terdapat banyak sumber-sumber air. Diantara sumber-submer itu yang termasuk besar atau agung airnya ialah tempat dimana sekarang sudah menjadi alun-alun. Tempat di sekitar alun-alun ini dinamakan Tulungagung yang berarti ada sumber air yang besar.
Dahulu daerah Ngrowo itu tidak seluas sekarang. Semenjak ketemenggungan diubah kedudukannya menjadi Kabupaten, maka diperlukan adanya perluasan daerah. Tidak cukup hanya terdiri dari rawa-rawa saja, tetapi membutuhkan pula daratan untuk kemakmuran masyarakatnya.
Bantuan-bantuan dari Kabupaten sekitarnya sangat dibutuhkan. Ini terjadi pada sekitar abad ke-19. Kabupaten Blitar menyumbangkan daerah Ngunut. Kabupaten Ponorogo menyumbang daerah pegunungan Tranggalih atau Trenggalek sekarang, sedang Kabupaten Pacitan memberikan daerah pantai selatan, ialah Ngrajun, Panggul, Prigi, dan Jombok. Dengan demikian Kabupaten Ngrowo dahulu daerahnya meliputi pula daerah Kabupaten Tenggalek. Bantuan berupa daerah itu merupakan pertolongan yang besar bagi pembentukan Kabupaten Ngrowo. Bupati pertama hingga ke XI masih disebut Bupati Ngrowo. Baru pada tahun 1901 nama Ngrowo itu diganti dengan TULUNGAGUNG. Ketika itu yang menjadi bupatinya R.T. Partowidjojo. Beliau yang menyaksikan perubahan nama tadi karena menjabat Bupati sejak tahun 1896 hingga tahun 1901.
Demikianlah asal mula TULUNGAGUNG yang hingga sekarang masih pula sering disebut orang kota Banjir. TULUNGAGUNG mengandung makna “Berasal dari SUMBER AIR YANG BESAR”, tetapi dengan usaha dan bantuan yang besar dapat pula memberi pertolongan yang besar.
3. RIWAYAT TERJADINYA ALUN-ALUN TULUNGAGUNG
Semenjak daerah-daerah ketemenggungan digabungkan menjadi satu untuk dibentuk suatu Kabupaten, maka Kota Ngrowo membutuhkan tempat kediaman Bupati dan alun-alun. Pertama-tama dibangun di Kalangbret, kemudian di Ringinpitu. Tetapi karena tidak adanya kesatuan pendapat dari para Tumenggung, maka pembangunan di kedua tempat itu mengalami kegagalan. Guna mengatasi hal ini diadakan pelaporan ke Mataram. Dari Kraton kemudian diperoleh petunjuk berupa ilham, yang mana menyebutkan, bilamana ingin membangun kota yang nantinya akan dapat langsung berdiri dan menjadi tempat yang ramai dan daerahnya menjadi subur, supaya memilih suatu tempat di sebelah utara Wajak. Di situ terdapat sumber air yang besar. Sumber tersebut supaya disumbat, dan diantaranya ditanami pohon beringin yang berasal dari Mataram.
Usaha penyumbatan sumber air yang besar itu tidaklah mudah. Oleh calon Bupati dicarinyalah petunjuk dari seorang yang berilmu tinggi. Di desa Tawangsari terdapat seorang Kyai sakti yang bernama CHOSIM alias ABU MANSUR. Kyai Abu Mansur dimintai pertolongan untuk melaksanakan tugas pembangunan alun-alun tersebut dan oleh beliau disanggupinya. Tindakan pertama yang diambilnya ialah : Kyai Mansur membongkar tujuh batang pohon beringin yang ditanam di desa Ringinpitu. Kemudian lalu dicarinya persenjataan lain berupa seekor kerbau bule (kerbau yang putih warna bulunya) untuk dipergunakan sebagai sasrahan. Bantuan senjata mistik juga dijalankan, ialah dengan meminta kedatangan rooh halus yang menurut cerita bernama DJIGANGDJOJO dan TJUNTANGDJOJO untuk menunggui penyumbatan air tersebut. Setelah perlengkapannya dipersiapkan, maka lalu diadakan pengerahan tenaga untuk mencari ijuk guna disumbatkan pada mata air tersebut. Yang disuruh memadatkan sumber itu ialah kerbau bule tadi, dengan cara menginjak-injak tanpa istirahat, sehingga karena lelahnya sampai kehabisan tenaga dan mati, kemudian ditanam sebagai sasrahan. Disamping itu juga dibuatkan urung-urung dan saluran yang dapat mengalirkan air lewat Kali Jenes menuju ke sungai Ngrowo. Air sudah tidak memancar lagi. Bibit pohon beringin yang berasal dari Mataram ditanam, yang kemudian menjadi sebuah pohon yang rindang. Oleh masyarakat setempat pohon yang tumbuh di tengah alun-alun itu diberi nama RINGIN KURUNG, karena di sekelilingnya diberi pagar tembok. Ringin itu tumbang, akibat angin besar sesudah jaman Jepang ialah pada tahun 1947.
Semenjak disumbatnya sumber air yang besar itu, maka lambat laun rawa-rawa menjadi kering dan merupakan daerah subur. Pengeringan rawa-rawa itu berarti pula suatu pertolongan besar bagi masyarakat setempat, termasuk kota Tulungagung yang telah menjadi ramai seperti sekarang ini.
Demikianlah sekedar riwayat tentang pembangunan Alun-alun Tulungagung.
4. BABAD – DEMUK.
Meskipun desa Demuk merupakan desa terpencil yang letaknya di dataran pegunungan gamping dekat perbatasan Blitar Selatan, namun juga tak ketinggalan turut menghiasi lembaran dari pada sejarah Kabupaten Tulungagung.
Kalau orang menyebut nama Demuk, maka kesan pertama yang timbul menggambarkan nama sebuah desa tempat orang sakti yang memiliki kelebihan-kelebihan. Desa Demuk pada pertengahan abad ke-19 masih berwujud hutan belukar yang tidak pernah diambah orang. Tak ada yang berani mendekatinya. Karena sudah terkenal keangkerannya.
Boleh dikatakan dalam bahasa Jawa “Wingit”: “Jalma mara jalma mati, sato mara sato mati’. Banyak cerita-cerita ajaib tumbuh di kalangan masyarakat Tulungagung mengenai babadnya desa ini terutama yang menyangkut keistimewaan dari pada penghuni pertama atau cikal bakal, ialah Raden Mas Djajengkoesoemo. Nama ini hampir semua orang-orang tua mengenalnya.
R.M. Djajengkoesoemo masih keturunan Raja Mataram (Hamengkubuwono II). Beliau adalah putra R.M.T. Djajaningrat, Bupati Ngrowo yang ke-5. nama kecilnya R.M. Moidjan. Sejak dari kanak-kanak sudah tampak jiwa kepahlawanannya, dan bibit kebenciannya terhadap orang-orang Belanda. Seringkali putera Bupati ini bertengkar dengan sinyo-sinyo dan bahkan pada suatu ketika pernah ada seorang anak Belanda yang ditempelengnya sampai jatuh pingsan. Ayahnya, ialah R.M.T. Djajaningrat kerap kali merasa jengkel terhadap tindakan puteranya. Karena kenakalannya pernah R.M.Moijan dihajar oleh sang ayah, dimasukkan dalam kolah berisi air yang dicampur dengan tumbukan lombok rawit. Tetapi ternyata tidak apa-pa. jangankan menangis, merasa pedih atau “wedangan” (bahasa Jawa) pun tidak. Setengah orang mengatakan bahwa R.M.Moijan adalah anak kendit (mempunyai jalur putih yang melingkar diatas pingganya).
Ini menandakan seorang anak yang memiliki kekebalan. Setelah dewasa R.M.Moijan berganti nama R.M.Djajengkoesoemo. pada tahun 1644 R.M.Djejengkoesoemo R.M.Djajengkoesoemo sudah menjabat Wedono di kota Tulungagung, lalu pindah ke Srengat (1849), kemudian ke Nganjuk (1051). Tiga tahun kemudian menjabat Collecteur Berhbek lalu dipindah jadi Wedono Distrik Gemenggeng. R.M.Djajengkoesoemo sangat memperhatikan kebutuhan penduduk. Ini terbukti dengan usaha pembangunannya, ialah ketika di Srengat membuat bendungan Pakel yang dapat menolong penghidupan rakyat desa Pakel, Pucung, dan Majangan (Ketm. Ngantru). Selain itu membangun rumah Kawedanan dengan merogoh sakunya sendiri.
Di Nganjuk juga membangun rumah, lantai dan pagar Kawedanan atas biaya sendiri serta mengerjakan bendungan kali Lo, yang menggenangi kebun tebu sampai menjadi sawah. Di Gemenggeng membangun rumah Kawedanan beratab sirap dan memperbaiki bendungan Kedung Gupit-Paron yang sering kali dadal, sampai menjadi kuta sekali.
Oleh sebab beliau sering berkecimpung dalam masalah pembangunan, maka hubungannya dengan masyarakat menjadi lebih akrab, sehingga hampir setiap orang mengenalnya.
Eratnya perhubungan ini lebih menjangkitkan jiwa kepatriotannya, sehingga dimana saja namanya selalu disebut orang. Beliau termasuk seorang yang berkeras hati dan pemberani, tetapi perasannya sangat halus. Hal ini terbukti dengan terjadinya peristiwa Ngujang. Pada waktu itu jembatan Ngujang sedang dalam keadaan dibangun. Kuli-kuli bekerja dengan sibuknya.
Dalam perjalannya dari Nganjuk ke Tulungagung R.M.Djajengkoesoemo tertarik kepada kesibukan pekerjaan-pekerjaan pembangunan, sehingga terpaksa berhenti untuk melihatnya.
Makam R.M. Djajengkoesoemo
Di Demuk (wafat tgl. 9-12-1903)
(foto team 1971).
Diantara berpuluh-puluh kuli, terdapat beberapa kelompok orang yang sedang beristirahat sambil duduk menikmati bekal yang dibawanya dari rumah.
Kebelutan pada saat itu ada seorang petugas bangsa Belanda yang sedang berkeliling mengadakan pengawasan. Mengetahui orang duduk sambil makan itu ia marah-marah dengan membentak-bentak ia menyuruh orang-orang itu bekraja kembali dan menaburkan pasir pada makanan kuli tersebut.
R.M. Djajengkoesoemo mengetahui semua kejadian itu. Beliau tak dapat menabahkan hatinya. Tanpa pikir panjang pusakanya dihunus diacungkan kepada petugas yang kasar itu. Karena pusaka itu sangat ampuh maka petugas tadi tak dapat bergerak dan mati dalam keadaan tetep berdiri.
Keris pusaka itu bernama keris Kyai Semar Mesem yang sampai sekarang masih disimpan oleh keturunan R.M. Djajengkoesoemo. Dengan terjadinya peristiwa itu R.M. Djajengkoesoemo dipersalahkan, tetapi karena beliau itu masih keturunan Raja, tidak dikenakan hukuman penjara, melainkan diselong ke Demuk. Untuk ini beliau disuruh mengajukan permohonan babad hutan kepada pemerintah Belanda. Surat keputusan berhenti dari jabatan karena pensiun onderstand diberikan dan berlaku mulai tanggal 23-3-1880, sedang surat ijin babat hutan Demuk diperolehnya pada tanggal 10 Oktober 1893.
Waktu berangkat beliau hanya membawa bekal uang f.0,25, dan mengerahkan tenaga sebanyak 40 orang. Tiga pedukuhan yang dikerjakan ialah Puser, Boto dan Kasrepan. Luas tanah yang dibabad kesemuanya ada 35 bau, terdiri dari 9,75 bau untuk pekarangan, dan 25,25 bau untuk pagagan. (Isin No. 755 tgl. 10 Oktober 1893). Ikut bertanda tangan sebagai Komisi :
1. Kontroleur Ngrowo,
2. Wedono Distrik Ngunut, dan
3. Assisten Wedono Kalidawir.
Tanah tersebut tetap menjadi miliknya R.M. Djajengkoesoemo sampai turun-temurun. R.M. Djajengkoesoemo wafat pada tanggal 9-12-1903 dan dimakamkan di Demuk.
Sedang putranya bernama R.M. Argono Purbokoesoemo yang umumnya disebut Raden Margono pernah menjabat Kepala Desa Puser. Cerita kesaktian masih pula terdapat pada masa itu. Pernah ada seorang mantra klasir mencobanya, ialah dengan sengaja meninggalkan topinya. Mantri ini lalu suruhan orang untuk mengambilnya tetapi entah karena apa tidak kuat mengangkat. R.M.Margono mengerti hal ini. Beliau segera mendekati topi tersebut, lalu disemparnya dengan kaki. Topi melesat dan jatuh persis di atas kepala mantri Klasir. Demonstrasi ini diketahui oleh para lid Klasir, baik dari desa Demuk maupun desa sekitarnya, sehingga setelah itu Mantri Klasir tak berani menonjolkan kelebihannya lagi.
R.M. Djajengkoesoemo oleh pejabat pemeritnah Belanda sangat disegani. Demikian pula keturunnya ialah R.M. Purbokoesoemo.
Ketika jaman perang kemerdekaan desa Demuk yang terpencil itu menjadi ramai seperti kota, karena banyak orang datang untuk minta restu agar untuk mendapatkan keselamatan di dalam masa perjuangan menghadapi musuh.
R.M. Poerbo ini mempunyai 9 orang putera dan salah seorang diantaranya menjadi isteri Wedono pensiunan (R.P. Sajid) di Kediri, yang menyimpan surat piagam maupun surat silsilah peninggalan Eyangnya. R.M. Poerbo meninggal pada tanggal 26-6-1946 dan dimakamkan pula di dekat makam ayahnya. Hingga sekarang desa Demuk merupakan desa yang bersejarah sehingga di dekatnya didirikan Pos kemantren dan setelah diadakan perubahan wilayah, masuk Kecamatan Pucanglaban.
5. DESA – PERDIKAN
Sebelum kita mengungkap tentang sejarah desa Perdikan yang berada di dalam wilayah Kabupaten Tulungagung, maka untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih luas, para pembaca kami ajak meninjau sepintas lalu dalam garis besarnya tentang pengertian yang menyangkut persoalan tanah perdikan, sehingga dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan yang lebih positif dalam mengadakan penilaian selanjutnya.
ARTI KATA PERDIKAN
Nama “perdikan” asalnya dari perkataan Sanskerta “Mahardika” artinya tuan, master, sieur. Dalam buku Ramayana sebutan mahardikan oleh para pendeta, diartikan bebas dari hidup lahir. Sebagai seorang kawula sudah dapat manunggal dengan Gustinya. Akan tetapi dalam dunia yang fana ini banyak orang yang memakai kata merdika dalam pengertian “bebas untuk berbuat sekehendak hatinya”.
ASAL DESA PERDIKAN
Desa Perdikan sudah ada sejak dari jaman agama Hindu di Jawa. Pada waktu itu oleh raja telah diberikan anugerah kepada orang-orang atau desa-desa tertentu, berupa kebebasan dari membayar pajak atau melakukan wajib kerjanya terhadap raja atau Kepala Daerah.
HAK-HAK DARI DESA PERDIKAN
Kepada orang-orang atau desa-desa tersebut diberi hak istimewa oleh raja, misalnya hak untuk memakai songsong kebesaran, memakai warna yang ditentukan, dan sebagainya.
Pemberian hak atas tanah rupa-rupanya hanya untuk pembukaan hutan belukar, tidak menyangkut tanah-tanah pertanian. Daerah perdikan itu langsung di bawah kekuasaan Raja, tidak di bawah pangeran, adipati, bupati, dan lain sebagainya.
Raja berhak untuk merubah adanya hak-hak istimewa itu dan juga berhak untuk mencabutnya.
ALASAN MEMBERIKAN HAK.
Yang biasanya menjadi alasan bagi Raja untuk memberikan hak-hak istimewa itu misalnya :
I. Untuk memajukan agama.
II. Untuk memelihara makam raja-raja atau bangsawan-bangsawan keturunannya.
III. Untuk memelihara pertapaan, pesantren, langgar dan masjid (di jaman Islam).
IV. Untuk memberi ganjaran kepada orang atau desa yang berjasa kepada raja umpamanya yang menunjukkan kesaktiannya kepada raja pada saat yang genting.
Secara demikian maka pegawai tinggi yang berjasa pun diberi pula ganjaran. Oleh karena itu desa perdikan atau orang-orang yang dapat hak istimewa tadi tidak di bawah perintah kepala daerah. Mereka politis termasuk orang penting bagi raja, yaitu sebagai mata telinga raja dalam daerah-daerah yang letaknya jauh dari pusat kerajaan.
Desa perdikan dapat digolongkan menjadi dua :
Pertama : Yang dibebaskan dari membayar pajak dan melakukan wajib kerja, dengan dibebankan kewajiban untuk memelihara makam, memelihara kepentingan agama, dan lain sebagainya.
Kedua : Yang dibebaskan dari kewajiban-kewajiban terhadap raja atau kepala daerah, dengan ketentuan bahwa kewajiban-kewajiban haruslah dijalankan guna kepentingan kepala desanya, yang dapat mempergunakannya sebagai keuntungan sendiri atau untuk lain keperluan. x)[1]
adapun yang disebut “ desa perdikan” terdiri dari empat macam, ialah :
I. Desa Perdikan.
II. Desa Mutihan.
III. Desa Pakuncen.
IV. Desa Mijen.
I. Desa Perdikan : Adalah desa yang dibebaskan dari kekuasaan yang tertentu, dari suatu beban dan kewajiban-kewajiban, yang semua itu harus dipikul oleh rakyat di daerah biasa. Istilah perdikan, biasa berlaku buat perseorangan dan dapat berlaku buat suatu daerah (desa) dengan semua penduduknya.
Apabila segenap penduduk desa dibebaskan dari membayar pajak dan dari melakukan wajib kerja buat raja atau kepala daerah di atas desa, maka desa itu dinamakan desa “Perdikan”.
II. Desa Mutihan : Yang dinamakan desa Mutihan ialah desa yang penduduknya terkenal sebagai orang alim, taat kepada pemerintah agama, yaitu beribadat berpuasa dalam bulan Ramadhon dan menjalankan perintah agama. Mereka menjatuhkan diri dari kesenangan-kesenangan lahir, yang dikenal dalam masyarakat Jawa, seperti pukul gamelan di rumahnya, joged, tayub, wayang, dan lain sebagainya. Orang tadi disebut “PUTIH”.
Dengan demikian maka guru agama dan santri-santri dibebaskan dari pembayaran pajak dan wajib kerja, atau kewajiban-kewajiban itu dialihkan untuk diberikan kepada kepala desa untuk kepentingan agama.
Begitulah maka di-ibu kota kabupaten dan dibanyak ibu kota Kawedanan diadakan kampung Mutihan, yang biasanya dinamakan kampung Kauman.
III. Desa Pakuncen : Istilah mutihan atau keputihan juga dipakai bagi mereka, yang diwajibkan memelihara makam para bangsawan atau makam-makam yang dianggap keramat.
Orang-orang yang memikul kewajiban itu biasanya juga orang yang alim, setidak-tidaknya ia harus dapat membaca Qur’an dan hafal ayat-ayatnya, sebab ia dalam beberapa upacara harus dapat mengucapkan atau membaca do’a.
Nama penjaga dan pemelihara makam tersebut disebut Pakuncen atau juru-kunci (dari perkataan kunci, yaitu kunci dari pada rumah makam yang dimuliakan).
IV. Desa –Mijen : Istilah Mijen tidak lagi dipakai di daerah “GOUVERMENT”. Perkataan Mijen asalnya dari istilah Piji.
Di Piji (Piniji) artinya di-ismewakan terpilih dari yang lain-lain.
Di daerah Swapraja oleh Susuhunan telah diadakan desa Mijen untuk guru agama, yang sangat dicintainya.
KEWAIBAN BAGI DESA PERDIKAN.
Untuk memberi pembebasan pembayaran pajak antar wajib kerja kepada desa atau orang perdikan yang wajib di-ingat adalah sebagai berikut :
Oleh (1). Tanah yang dimiliki / penduduk desa perdikan dilain desa haruslah dikenakan pajak bumi.
(2). Pembebasan dari pajak penghasilan hanya berlaku bagi penduduk desa yang tetap, dan kalau penghasilannya didapat dari sesuatu perusahaan, maka yang dibebaskan hanyalah pajak dari perusahaan, yang tempatnya berada dalam wilayah desa perdikan saja.
(3). Pembebasan dari pajak rojokoyo hanya berlaku buat chewan milik penduduk desa perdikan yang tetap atau milik orang perdikan, yang dagingnya tidak untuk dijual.
(4). Siapa yagna tergolong penduduk tetap dari desa perdikan ditentukan oleh kepala daerah.
Dengan resolusi pemerintahan Ned. Ind. Ttgl. 24/5-1836 No. 12 ditetapkan bahwa apabila kepala desa perdikan meninggal dunia, untuk penggantinya harus diajukan calon-calon oleh pegawai pemerintah yang berkewajiban, terutama dari anak lelaki atau keturunan lainnya. Jika ini tidak ada, maka pencalonan itu dipilih dari sanak saudara yang paling dekat atau dari para ulama ang terkemuka.
Dalam Regl. Tentang pemilihan kepala desa (Stbl. 1078 No. 27) ditetapkan, bahwa kepala desa perdikan diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jendral.
SEJARAH DESA PERDIKAN, TAWANGSARI, WINONG DAN MAJAN.
Setelah sedikit banyak kita memiliki pengertian tentang kedudukan serta persoalan pokok mengenai tanah perdikan, maka marilah kita ikuti sejarah perkembangan tanah perdikan yang berada di dalam wilayah Tulungagung.
Sejak jaman penjajahan Belanda, Tulungagung memiliki tiga desa perdikan ialah Tawangsari, Winong dan Majan. Desa-desa tersebut terletak di tepi sungai Ngrowo masuk wilayah Kecamatan Kedungwaru.
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih jelas mengenai asal usul desa tersebut, di bawah ini kami sajikan sedikit keterangan tentang satu dan lain hal yang ada hubungannya dengan pendirian serta perkembangannya.
Mula pertama tiga desa itu tergabung jadi satu, dapat digolongkan sebagai desa Mutihan, yang dipinpin oleh seorang Kyai bernama Abu Mansur.
Abu Mansur berasal dari Ponorogo, murid dari Kyai Basyariah. Saudara laki-laki menjadi Biskal di Bankalan Madura, sedang adiknya bernama Roro Mirah.
Pada masa itu yang menduduki tahta kerajaan di Mataram adalah Paku Buwono ke II (1742-1749). Seorang dari permaisurinya adalah Roro Mirah adik dari pada Abu Mansur. Dengan demikian Abu Mansur termasuk ipar dari pada Sang Raja.
Oleh sebab Abu Mansur mahir dalam bidang keagamaan maka ia mengajukan permohonan untuk mendirikan pesantren. Tempat yang dipilihnya ialah desa Tawangsari yang terletak di dekat sungai Ngrowo. Desa tersebut pernah ditinjau oleh raja, dan ditanyakan kenapa kyai Mansur memilih daerah itu, karena mengingat letaknya, dikhawatirkan akan mudah dilanda banjir. Tetapi Kyai Mansur berpendapat, justru tempat yang dekat dengan air itu memenuhi syarat untuk dijadikan tanah pertanian dan pesantren.
Pendirian masjid serta pesantren mendapat restu dari raja, Kyai Mansur mendapatkan piagam, yang menyatakan Tawangsari dijadikan daerah perdikan dan diserahkan turun-temurun kepada Kyai Abu Mansur .
Di samping itu untuk keselamatan daerahnya kyai Mansur diberi pinjaman pusaka kraton yang bernama Kyai Banteng Wulung, tetapi bilamana sudah temurun kepada buyut, diharapkan agar pusaka tersebut dikembalikan ke Mataram.
Demikianlah secara singkat riwayat berdirinya desa perdikan Tawangsari. Lama kelamaan pesantren tersebut menjadi ramai, dan kemudian didirikan masjid lagi di Winong dan Majan dan masing-masing dipimpin oleh Kyai Ilyas dan Chasan Mimbar, putra dan cucu kemenakan dari kyai Tawangsari. Mulai saat itu Winong dan Majan dinyatakan berdiri sendiri dan dinyatakan pula menjadi desa perdikan hinga saat ini. Yang diberi wewenang untuk memimpin desa tersebut adalah kerabat dan keturunan dari kedua kyai itu. Kyai Chasan Mimbar adalah keturunan Patih Mataram P.A. Danuredjo yang kawin dengan Kanjeng Ratu Angger putera puteri dari Roro Mirah yang menjadi Permaisuri Raja.
Pada jaman Jepang pusaka dari Tawangsari dikembalikan ke Kraton oleh karena Jepang sudah sampai waktunya pada turun buyut.
Yang menyerahkan ke Jogja ialah Eyang Pandji dari desa Maesan Kecamatan Modjo (ia ada hubungan keluarga dengan Haji Chasan Mimbar).
Pusaka tersebut diterima oleh Hamengku Buwono ke IX. Konon menurut ceritanya waktu pusaka itu masih di Tulungagung, desa Tawangsari tidak pernah dilanda banjir besar.
Dalam usaha pembangunan alun-alun Tulungagung Kyai Abu Mansur juga tidak sedikit jasanya. Beliau yang menyerahkan tenaga untuk penyumbatan sumber air yang kemudian di atasnya ditanami pohon beringin (baca sejarah pembuatan alun-alun). Kyai Abu Mansur meninggal dunia di Mekkah ketika menunaikan ibadah haji.
6. TERJADINYA DESA DI SEKITAR
DAERAH KALIDAWIR.
KARANGTALUN.
Desa Karangtalun dibentuk sebelum tahun 1800.
Yang jadi cikal bakalnya adalah orang bernama :
1. Soerosetjo.
2. Singokromo.
Kedua-duanya berasal dari Jawa Tengah.
Setelah meninggal dunia Pak Setjo dan Singokromo dimakamkan di Karangtalun.
Desa Karangtalun dibagi menjadi beberapa blok, ialah :
1. Karangsono.
2. Pojok, dan
3. Bendiljet (kemudian dijadikan pedukuhan).
KARANGSONO.
Dapat dikatakan Karangsono, oleh sebab pada jaman dulu ketika masih berwujud hutan di situ banyak tumbuh tanaman kayu sono.
POJOK.
Dinamakan Pojok, karena tempat tersebut di dalam desa Karangtalun letaknya mlojok (njupit urang) dan di situ banyak talunnya (pagagan).
BENDILJET.
Dahulu blok Bendiljet merupakan hutan belukar.
Menurut ceritanya ketika dibabat di tengah-tengah hutan tersebut diketemukan sebuah kendil yang berisi enjet. Siapa pemiliknya tak ada yang mengetahui.
Meskipun enjet tersebut telah dipergunakan makan sirih oleh orang-orang di sekitarnya, tetapi tak kunjung habis. Oleh sebab itu lalu dijadikan dukuhan yang diberi nama Bendil-enjet. Di desa Karangtalun terdapat pesantren dan punden ialah :
1. Pesantren Setonodowo.
2. Setono–gede.
3. mBah Kendil.
4. mBah Djangil.
Kisah singkatnya adalah sebagai berikut :
Pesantren Setono-dowo.
Pada jaman peperangan Mojopahit ada dua orang yang lari untuk menyelamatkan diri (anak dan bapaknya).
Di dalam perjalanan kedua orang tersebut bertemu dengan seorang perempuan yang mempunyai tujuan sama. Mereka bertempat tinggal di dalam satu rumah.
Pekerjaan si anak dan si bapak tiap hari babad hutan, adapun perempuan itu menyediakan makannya.
Baik si bapak maupun si anak kedua-duanya menaruh hati kepada perempuan tadi, bahkan si bapak ingin pula memperistrikannya. Pada suatu hari anaknya pamit tidak turut babad hutan, dengan alasan merasa sangat payah. Terpaksa bapaknya berangkat sendirian.
Terjadilah suatu peristiwa dimana si anak tadi senang dengan perempuan yang berdiam serumah itu. Ketika bapaknya pulang dari hutan dan mengetahui tindakan anaknya yang tidak senonoh itu, maka tanpa pikir panjang ia mengambil tombak. Sang anak lari dan dikejar. Akhirnya dapat ditusuk dengan tombak tadi sehingga ususnya keluar.
Tetapi masih sempat lari menuju ke barat dan sekali lagi dikejar dan ditombaknya sehingga mati. Dengan matinya anak tersebut, tombaknya juga ditanam bersama mayat itu, sehingga makamnya jadi panjang. Tempat tersebut hingga sekarang disebut setonodowo (makam panjang).
Punden mBah Djangil. Riwayatnya adalah sebagai berikut :
Ada sebuah tonggak kayu yang berada di tepi jalan. Pada suatu waktu terjadi kecelakaan ialah adanya orang dan hewan yang kakinya terantuk kepada tonggak itu sampai jatuh dan menemui ajalnya.
Oleh karena letaknya menonjol (dalam bahasa Jawa “Njangil) maka tempat itu lalu dijadikan punden yang diberi nama mBah Djangil.
DESA – TANJUNG.
Desa Tanjung terjadi dari 2 dukuhan, ialah :
1. Dukuh Bendil.
2. Dukuh Kambingan.
Yang babad pertama ada 5 orang :
1. Pontjodrono – berasal dari Pacitan.
2. Kromomedjo – berasal dari Pacitan.
3. Tanikarso – berasal dari Kudus.
4. Nadikromo – berasal dari Solo.
5. Singokromo – berasal dari Magetan.
Waktu masih berwujud hutan banyak terdapat tanaman penjalin. Oleh sebab itu dukuh tersebut diberi nama Bendil.
Sesudah menjadi pekarangan dan keadaannya menyenangkan lalu diadakan pilihan ketua, sedang yang terpilih ialah Kromomedjo (no. 2 diantara 5 orang yang babad).
DUKUH KAMBINGAN.
Yang babad pertama 2 ialah :
1. Kertomedjo – berasal dari Pacitan.
2. Djowidjojo – berasal dari Pacitan.
3. Kromodjojo – berasal dari Magetan.
4. Singontani – berasal dari Magetan.
5. Karjo Mohamad – berasal dari Solo.
Dinamakan Kambingan karena ketika masih berwujud hutan banyak rumputnya WEDUSAN (Kambingan). Dukuh Bendil dan Kambingan kemudian dijadikan satu dan dinamakan desa Tanjung.
DESA – JOHO.
Desa Joho terdiri dari 3 pedukuhan ialah :
1. Joho
2. Ngrejo
3. Ngampel
Di sebut Joho karena pada waktu masih berwujud hutan di sana ada sebuah pohon besar yang dinamakan pohon Joho.
NGREJO
Waktu hutannya dibabad di tempat ini diketemukan sebuah mata air yang namanya belum dikenal. Oleh karena kebelutulan di dekatnya ada dua ekor angsa (banyak) yang warna bulunya merah, maka sumber tersebut diberi nama banyak-bang.
Hingga sekarang (sampai menjadi rejo) sumbernya masih besar dan dapat digunakan untuk mengairi sawah di sekitarnya. Oleh sebab itu lalu disebut dukuh Ngrejo (karena sudah menjadi ramai).
NGAMPEL.
Dahulu merupakan hutan bambu ampel.
Oleh karena itu setelah menjadi pedukuhan lalu diberi nama Ngampel.
DESA – DOMASAN.
Nama-nama yang babad pertama ialah :
1. Hirosemito.
2. Wonodrijo.
3. Singodipo.
4. Onggongali.
5. Wonokromo.
6. Nojontani.
7. Banjar dan teman-temannya.
Kelompok ini memiliki Wonodrijo sebagai ketuanya.
Daerah kecil tadi diberi nama DOMASAN.
Ceritanya adalah demikian : Pada jaman Belanda pernah diketemukan sebuah arca kecil mirip arca Betara Guru yang bertangan empat; berada di dalam rumah-rumahan yang bentuknya seperti joli dibuat daripada emas.
Barang kuno ini diserahkan kepada Pemerintah Belanda.
Kemudian diketemukan lagi sokodomas, tetapi tidak diserahkan melainkan ditanam kembali. Letak sokodomas itu di tengah-tengah desa dekat SD. Domasan dahulu. Setelah diadakan pilihan lurah namanya tetap disebut Desa Domasan.
Desa ini terdiri dari4 Pedukuhan ialah :
1. Dukuh Gambar letaknya di sebelah utara sokodomas.
2. Dukuh Sanan letaknya di sebelah timur sokodomas.
3. Kembangan letaknya di sebelah selatan sokodomas.
4. Kambingan letaknya di sebelah barat sokodomas.
Desa Domasan pernah masuk wilayah Asistenan Tambakrejo (Sumbergempol), dan sejak tahun : 1873 dimasukkan dalam wilayah Asistenan Kalidawir).
DESA PAKISAJI.
Desa ini terdiri dari 4 pedukuhan ialah :
1. Ngejring.
2. Bocor.
3. Jigang.
4. Jatirejo.
Masing-masing pedukuhan mempunyai riwayat sendiri-sendiri.
Dukuh Ngejring – Pada waktu babadnya terdapat banyak pohon jring (jengkol) yang kemudian dipergunakan untuk nama pedukuhan tersebut.
Dukuh Bocor – Di sini diketemukan banyak mata air yang seolah-olah keluar dari pada suatu wadah yang bocor.
Oleh karena itu pedukuhan tersebut dinamakan dukuh Bocor.
Dukuh Jigang – Di situ terdapat sebuah pohon besar. Diantara akarnya ada yang berbentuk seperti kaku manusia yang sedang jigang. Maka pedukuhan itu lalu diberi nama dukuh Jigang.
Dukuh Jatirejo – Nama Jatirejo dipergunakan seb agai nama pedukuhan, karena di tempat tersebut dahulu banyak sekali tanamannya pohon jati. Pedukuhan ini didirikan pada sekitar tahun 1800. Tiap-tiap pedukuhan ada ketuanya.
Dukuh Ngejring diketuai oleh : Krijolesono.
Dukuh Jigang diketuai oleh : Krijodrono.
Dukuh Bocor diketuai oleh : Towongso, sedang Jatirejo oleh Amadarjo yang akhirnya keempat orang tadi diakui sebagai Uceng pedukuhan.
Sebelum dibentuk Desa maka empat pedukuhan itu digabungkan dengan desa Karangtalun. Kemudian timbul suatu usul kepada Pemerintah agar empat pedukuhan ini dikeluarkan dari desa Karangtalun dan dibentuk suatu desa tersendiri.
Usul itu dikabulkan dan setelah dan setelah diadakan pilihan, maka orang bernama Kasanrejo telah terpilih sebagai Kepala Desa dan berkedudukan di Pakisaji karena di situ terdapat sebuah pohon pakis yang diaji-aji oleh penduduk.
DESA PAGERSARI.
Desa Pagersari terdiri dari 4 pedukuhan ialah :
1. Pagersari.
2. Tondo.
3. Ngumbo, dan
4. Genengan (Tawang).
Dukuh : Pagersari.
Pedukuhan ini dikelilingi (dipagari) oleh gunung-gunung dan rawa-rawa, sehingga hawanya sangat dingin. Mengingat letaknya daerah itu maka lalu diberi nama Pagersari.
Dukuh : Tondo
Nama pedukuhan ini diambilkan dari nama orang yang babad pertama, ialah : Tondo-suwarno.
Dukuh : Ngumbo
Nama Ngumbo berasal dari kata “amba” yang artinya luas.
Dahulu hutannya sangat lebat sampai yang babad merasa payah. Karena luasnya daerah tadi maka lalu dinamakan Ngumbo.
Dukuh : Genengan.
Bentuk daerahnya persegi panjang, dan disekelilingnya terdapat rawa-2 sehingga tempat ini merupakan suatu dataran yang tinggi (geneng). Oleh karena itu lalu diberi nama Genengan.
DESA : BANYU – URIP.
Desa Banyu – urip terdiri dari 2 padukuhan, ialah :
Banyu- urip dan Baran.
Desa tersebut sebelum tahun: 1968 masih berbentuk pedukuhan dan termasuk wilayah desa Kalibatur. Dengan adanya operasi pembinaan wilayah Tulungagung Selatan, maka lalu diadakan pemecahan.
Dukuh Banyu-urip dijadikan desa tersendiri dan mendapat tambahan wilayah dari desa Rejosari yang berdekatan letaknya. Sebabnya dinamakan Banyu-urip menurut cerita adalah sbb. :
Dahulu kala ketika masih berwujud hutan terdapat sebuah sungai yang airnya terus-menerus mengalir. Sungguhpun tempat ini letaknya di daerah pegunungan, namun bagi yang babad pertama tidak timbul rasa gelisah karena disitu terdapat air yang mereka namakan “Banyu panguripan” oleh sebab itu lalu tempat tersebut lalu diberi nama Banyu-urip.
Tetapi lama- kelamaan akibat tanah longsor sungai jadi tertutup tanah dan tidak kelihatan lagi. Pada tahun 1944 didekat bekas sungai tersebut pernah dibuatkan waduk tetapi karena derasnya air hujan terpaksa tanggulnya putung dan hingga sekarang belum diadakan perbaikan lagi.
Dukuh : Baran.
Ceritanya adalah demikian : waktu mmasih berupa hutan ada seseorang bernama : Dulkusen memang sengaja bara disitu untuk babad hutan. Kemudian datang lagi seseorang yang bernama : Wonokarso.
Begitu seterusnya berturut-2 datang beberapa orang lain berikut keluarganya yang juga untuk tujuan yang sama sehingga tempat tadi merupakan tempatnya orang bara. Setelah menjadi padukuhan lalu diberi nama Baran.
Didekatnya pedukuhan ini terdapat rawa yang disebut pula rawa Baran.
Dukuh : Tekik.
Dukuh Tekik terletak disekitar Kantor Perwakilan Kali batur. Dahulu ditempat ini tedapat sepotong pohon tekik besar yang letaknya di tepi jalan. Karena rindangnya maka banyak orang yang bepergian berhenti disitu untuk berteduh. Demikian pedukuhan itu lalu dinamakan dukuh Tekik.
DESA : N G U B A L A N.
Desa Ngubalan terdiri dari 2 padukuhan ialah :
Ngubalan.
Ngluweng.
Dukuh Ngubalan.
Kata Ngubalan diambil dari kata-2 bahasa Jawa “mobal” artinya : menyala.
Adapun riwayatnya, ketika diadakan pembabadan hutan untuk dijadikan suatu pedesaan, maka kayu-2 hasil pembabadan dikumpulkan pada suatu tempat terbuka.
Karena teriknya matahari kayu-2 yang suda kering tadi terbakar sehingga menimbulkan nyala api yang hebat.
Mengingat kejadian itu maka yang babad pedukuhan tadi diberi nama Ngubalan.
Disini terdapat pula sebuah kucur yang hingga sekarang terus memancarkan air dan dapat dipergunakan untuk mengairi sawah di desa Ngubalan.
Dukuh : Ngluweng.
Ditempat ini pada jaman dahulu terdapat sebuah sumber besar yang bentuknya seperti sumur (luweng).
Sumber tadi sangat besar manfaatnya bagi daerah tersebut. Karena selain dipergunakan untuk air minum juga untuk pertanian. Mengingat bentuknya seperti luweng, maka pedukuhan tadi lalu diberi nama Ngluweng.
DESA : SALAK KEMBANG.
Desa Salak Kembang terdiri dari 2 pedukuhan ialah :
Salakan dan Kembangan.
Dahulu keduanya merupakan kelurahan dan masing-2 ada kepala desanya. Oleh sebab daerahnya tidak luas maka lalu digabungkan menjadi satu, demikian pula mengenai namanya. Kalau dahulu bernama Salakan dan Kembangan lalu dirubah menjadi Salak Kembang.
Dukuh : Salakan.
Apa sebab disebut-sebut dukuh Salakan, karena semenjak dahulu disitu terdapat sebatang pohon salak yang hingga kini masih hidup dan tak ada orang yang berani menebangnya.
Yang menjadi cikal-bakalnya ialah : mBah Irodjojo, yang mana setelah meninggal dunia dimakamkan di dukuh tersebut.
DESA SALAK KEMBANG tidak memiliki djalan perempatan sebagaimana desa – desa lainnya.
DESA: J A B O N.
Pedukuhannya ada 3 ialah : Jabon, Genengan, dan Karangsono.
Adapun sebab-sebabnya dinamakan desa Jabon, karena waktu dahulu di tempat tersebut berdiri sebatang pohon jabon yang besar . Sedangkan dukuh Genengan ketika nasih berwujud hutan letaknya lebih tinggi daripada tanah sekitarnya (bahasa Jawa geneng). Adapun mengenai dukuh Karangsono, karena dahulu banyak pohonnya sono lalu diberi nama Karangsono.
DESA : W I N O N G.
Winong mula- mula adalah pedukuhan termasuk Desa Kresikan.
Setelah diadakan pemecahan wilayah maka lalu dijadikan desa tersendiri ( 15/11-1968 ), meliputi 6 padukuhan ialah :
Mongkrong, Branjang, Ngledok, Tumpak-Joho, Winong Ngambal.
Masing- Masing padukuhan dukuhan mempunyai riwayat sendiri- sendiri :
Dukuh : Mongkrong.
Pada jaman dibabadnya terdapat pohon kendal besar yang tumbuh ditepi sungai. Diantara akar-akarnya ada yang menjulur ke sungai. Dengan demikian maka pedukuhan tersebut dinamakan Mongkrong. (mengingat adanya akar yang menjulur ke sungai itu).
Dukuh : B r a n j a n g.
Sebabnya dinamakan Brajang, karena ketika masih berwujud banyak sekali rumputnya brajangan.
Dukuh : N g l e d o k.
Karena letak tempatnya rendah (ledok) maka dinamakan dukuh Ngledok.
Dukuh Tumpakjoho.
Diberi nama dukuh Tumpakjoho, karena letak daerahnya agak tinggi, nerupakan sebuah pucuk dan di atasnya tumbuh sebatang joho.
Dukuh : Ngambal.
Dahulu hutannya sangat lebat sehingga tidak sekaligus dapat dibabad, melainkan terpaksa berulang-ulang dikerjakan. Berulang-ulang yang dalam bahasa Jawa dikatakan “ambal- ambalan”. Oleh karena itu pedukuhan tersebut diberi nama Ngambal.
Dukuh : W i n o n g.
Nama Winong diambilkan dari nama sebatang pohon besar yang pada waktu dibabad terdapat di daerah tersebut.
DESA : SUKOREJO.
Desa Sukorejo terdiri dari 2 padukuhan ialah :
Sukorejo dan Kedungdowo. Nama Sukorejo diambilkan dari nama sebatang pohon ialah pohon suko. Adapun sebabnya diberi nama tadi karena ketika masih berwujud hutan disitu banyak tumbuh pohon suko. Yang babad pertama ialah Pak Sedokromo. Inilah yang memberikan nama Sukorejo.
Dukuh Kedungdowo.
Pedukuhan ini dibabad oleh orang bernama :
Redjowidjojo pada tahun 1825. Disitu ditemukan sebuah kolam yang memanjang.
Setelah merupakan padukuhan maka oleh Redjowidjojo tempat ini diberi nama Kedungdowo, mengingat ada kedungnya yang panjang.
DESA : REJOSARI.
Rejosari adalah nama baru. Dahulu orang menyebutnya desa Bibir. Adapun ceritanya sebagai berikut :
Ketika masih belum begitu ramai ada seorang wali yang singgah di sebuah rumah penduduk, karena kebetulan sedang hujan lebat. Kepada penghuni rumah itu berpesan bilamana nanti diadakan pemerintahan desa, tempat ini supaya disebut dengan Bibir.
Maka ketika sudah mencapai 60 rumah lalu diadakan pilihan Kepala Desa. Yang terpilih sebagai Kepala Desa pertama ialah Kartonadi. Penduduk desa ingat akan pesanan wali tersebut. Dan menurut keputusan desa itu diberi nama Bibir.
Kemudian penduduknya makin lama makin bertambah banyaknya desanya kelihatan maju.
Oleh Assisten Wedana diadakan peninjauan dan kemudian diadakan penggantian nama desa. Mengingat bahwa keadaanya sudah ramai atau dalam bahasa daerahnya rejo, maka desa itu dinamakan Rejosari. Desa Rejosari terdiri dari 6 padukuhan ialah :
Dukuh : Tumpakgedang.
Sebabnya diberi nama Tumpakgedang karena di tempat ini banyak orang datang dari ngare untuk berjualan pisang.
Dukuh : Lunggur- duwur.
Nama ini diambilkan dari letaknya daerah ialah disebuah lunggur yang tinggi.
Dukuh : Kalimenur.
Ketika masih bewujud hutan terdapat sebuah sungai yang ditepinya banyak tumbuh bunga menur.
Oleh sebab itu lalu dinamakan Kalimenur.
Dukuh : Kalilombok.
Dinamakan Kalilombok karena setelah pembukaan hutan pertama-tama yang ditanamnya oleh yang babad ialah tanaman lombok.
Dukuh : Tumpaknongko.
Nama ini dipergunakan sebagai nama padukuhan karena di sini banyak tanamannya pohon nangka.
DESA : KALIDAWIR.
Dahulu di tempat ini banyak sekali sungainya sehingga hubungan antar blok dilakukan menyeberangi sungai yang banyak persimpangannya. Dari banyaknya persimpangan ini maka desa itu disebut orang Kalidawir (kali yang banyak bercabang). Semula desa Kalidawir termasuk wilayah Blitar.
Kepala Desa yang pertama bernama : Pak Ronodipo bersal dari Lodoyo. Kalidawir mempunyai 6 padukuhan ialah :
Kalidawir
Nganggrek
Kalilumpang
Krandegan
Boto/ Genengan
Clangap / Ngrowogebang
Dukuh : Kalidawir.
Dahulu merupakan krajan (tempat Kepala Desa) tetapi kemudian lalu menjadi pedukuhan.
Dukuh : N g a n g g r e k.
Karena ketika babadnya banyak terdapat bunga angrek di tepi sungai maka pedukuhan ini lalu diberi nama Ngangrek.
Dukuh : Kalilumpang.
Nama Kalilumpang diambil dari keadaan daerah waktu dibabad, ialah di tengah-tengah sawah terdapat sebuah kedung yang bentuknya seperti lumping. Oleh sebab itu pedukuhan ini lalu disebut orang Kalilumpang.
Dukuh : Krandegan.
Ditempat ini terdapat sebuah gunung, terletak ditengah- tengah sawah yang dilingkari oleh sungai.
Bilamana musim penghujan dan timbul banjir, banyak carang-carang dan sangkrah- sangkrah yang tak dapat hanyut, kemudian terhenti (kandeg) disekitar gunung ini. Oleh sebab itu tadi dinamakan dukuh Krandegan.
Adapun gunungnya diberi nama gunung Kuncung.
Dukuh : Boto/ Genengan.
Daerah ini dahulu merupakan balong (tempat yang selalu ada airnya).
Disini banyak terdapat binatang Kancil.
Oleh sebab itu lalu dinamakan Balong Kancil.
Ditengah- tengah balongan tersebut. Tanahnya agak tinggi (geneng) dan bentuknya seperti batu merah (bata).
Hingga sekarang lalu dinamakan dukuh Boto/Genengan.
Dukuh: Clangap/ Ngrowogebang.
Sebabnya dinamakan dukuh Clangap/Rowogebang karena bila ingin mengadakan hubungan ketetangga pedukuhan harus melaui clangap-clangap/balong-balong dan rawa-rawa. Ditepinya rawa tersebut banyak tanamannya gebang. Oleh karena itu daerah ini dinamakan Clangap/ Ngrowogebang.
DESA : KALIBATUR.
Desa ini terdiri dari 6 pedukuhan ialah : Papar, Ngembes, Dawung, Banaran, Darungan, Kalibatur.
Apa sebab dinamakan Kalibatur, ada rentetan ceritanya ialah mengenai perjalanan seorang satriya. Demikianlah kisahnya :
Pada jaman dahulu ada seorang satriya yang sedang mengembara dari arah timur menuju ke barat. Disebelah Kalibatur ia berhenti untuk berbuang.
Setelah selesai, dicarinya air tetapi tidak ada sehingga terpaksa membersihkan dirinya dengan rumput (peper). Tempat ini lalu dinamakan Papar. Ia meneruskan perjalanannya menuju ke barat. Karena merasa lelah lalu beristirahat sambil mengeluarkan air mata (mbrebesmili).
Tempat dimana ia berhenti ini dinamakan Ngembes.
Selanjutnya ia berjalan terus dan karena terik matahari lalu berteduh di bawah pohon Dawung. Tempat dimana ia berteduh dinamakan dukuh Dawung.
Kemudian meneruskan perjalanan lagi membelok ke arah timur. Disitu banyak dataran tanah yang luas (banar). Oleh sebab itu lalu dinamakan dukuh Banaran.
Dari Banaran ia berbelok ke arah utara dan merasa bingung, dalam arti kedarung- darung karena tidak mengetahui jalannya lebih lanjut. Tempat ini diberi nama dukuh Darungan. Kemudian ia lalu berjalan menyusuri sungai. Tiba-tiba ia mendengar suara orang. Setelah naik kedaratan satriya ini mengatakan bahwa ia telah mendapatkan teman (batur) untuk bercakap-cakap. Tempat dimana ia menemukan batur ini dinamakan Kalibatur.
DESA : B E T A K.
Sebelum kecamatan Kalidawir dibentuk, desa Pagersari dan desa Njunjung (Kecamatan Sumbergempol) tergabung menjadi satu desa dengan Betak. Biamana mengadakan rapat, tempatnya adalah di Sanggrahan (Boyolangu).
Tiap- tiap ada pertemuan orang lalu masak-masak dan di desa Betak ini tempatnya menanak nasi (bahasa Jawa betak/adang). Oleh sebab itulah maka tempat tersebut dinamakan desa Betak.
Dukuh : Gondang.
Asal mula diberi nama Gondang karena disini dahulu terdapat sebatang phon gondang yang besar.
Dukuh : Karanglo.
Ketika masih berwujud hutan terdapat sebatang pohon lo besar dan disini ada pesareannya seorang bernama : Mbah Nggolo..
Dukuh : Manding.
Dahulu di sini terdapat pohon krandingan.
Untuk mudahnya orang menyebut manding dan dari kata-kata ini maka padukuhan tersebut diberi nama Manding.
Dukuh : Sambirejo.
Dahulu daerah tersebut merupakan hutan bambu yang umum disebut papringan. Setelah dibabad dan menjadi pedukuhan yang makin lama makin menjadi ramai (rejo) maka pedukuhan tersebut dinamakan Sambirejo.
Dukuh : Bonsari.
Kata- kata ini diambil dari asal mulanya pedukuhan yang ketika belum dibabadi merupakan kebonsaren. Hingga sekarang pedukuhan ini diberi nama KEBONSARI.
Demikianlah cerita orang mengenai riwayat terjadinya pedukuhan-pedukuhan disekitar daerah Kalidawir

7. CERITERA KYAI UPAS I.
ASAL – USUL TOMBAK KYAI UPAS
(Menurut keluarga Pringgo Koesoemo)
Pada akhir Pemerintahan Mojopahit banyak keluarga raja yang membuang gelarnya sebagai bangsawan dan melarikan diri ke Bali, Jawa Tengah, Jawa Barat.
Salah seorang keluarga raja bernama WONOBOJO melarikan diri ke Jawa Tengah dan babad hutan disekitar wilayah Mataram sekat rawa Pening Ambarawa. Wonobojo mempunyai anak yang bernama MANGIR.
Setelah Wonobojo dapat membabat hutan maka ia bergelar Ki Wonobojo, dan dukuh tersebut dinamakan dukuh MANGIR sesuai dengan nama puteranya.
Pada suatu hari Ki Wonobojo mengadakan selamatan BERSIH DESA.
Banyak pemuda pemudi yang membantu didapur. Diantara orang-orang yang berada di dapur terdapat seorang pemudi yang lupa membawa pisau, dan terpaksa meminjam pisau dari Ki Wonobojo. Ki Wonobojo bersedia meminjaminya, tetapi karena pisau yang dipinjamkan itu pisau pusaka, maka ada pantangannya, ialah jangan sekali-2 ditaruh dipangkuan.
Tetapi sang pemudi itu lupa. Pada waktu ia beristirahat, pisau itu dipangkunya, dan seketika itu musnahlah pusaka tadi. Dengan hilangnya pisau tersebut sang pemudi hamil.
Ia menangis dan menceritakan persoalan ini kepada Ki Wonobojo.
Ki Wonobojo sangat prihatin, dan pergi bertanya di puncak gunung Merapi.
Ketika telah datang saatnya melahirkan, maka sang ibu yang hamil itu bukannya melahirkan bayi, tetapi berupa Ular Naga. Ular itu diberi nama BARU KLINTING. Baru Klinting dibesarkan di rawa pening. Setelah menjadi dewasa, maka ia menanyakan siapa ayahnya, dan dijawab oleh sang ibu bahwa ayahnya ialah Ki Wonobojo yang pada waktu itu sedang bertapa di puncak gunung Merapi.
Baru Klinting menyusul ayahnya, pergi ke gunung Merapi.ki Wonobojo mau mengakui sebagai anaknya, asalkan Baru Klinting dapat melingkari puncak Merapi.
Baru Klinting segera mencoba melingkarinya, tetapi ketika kurang sedikit ia menjulurkan lidah untuk menyambung antara kepala dan ekornya. Ki Wonobojo setelah mengetahui hal itu segera memotong lidah Baruklinting terebut, yang mana setelah putus lalu berubah menjadi sebilah tombak.
Baru Klinting melarikan diri ke selatan, dan setelah mengetahui bahwa Ki Wonobojo mengejarnya, ia lalu menyeburkan diri ke laut yang kemudian berubah menjadi sebatang kayu. Kayu tersebut diambil oleh Ki Wonobojo dan dipergunakan sebagai LANDEAN dari pada tombaknya. Tombak tersebut dinamakan KYAI UPAS, dan ketika Ki Wonobojo meninggal dunia, pusaka itu dimiliki oleh puteranya yang bernama Mangir.
Setelah ia menggantikan kedudukan ayahnya lalu bergelar Ki Adjar Mangir.
Ki Adjar Mangir menjadi seorang yang kebal karena pusakanya. Desanya menjadi ramai dan banyak pendatang yang bertempat tinggal di situ.
Ki Adjar Mangir akhirnya tak mau tunduk kepada Mataram, dan ingin berdiri sendiri. Ia melepaskan diri dari ikatan kekuasaan raja.
Setelah sang raja mengetahui tindakan Ki Adjar, maka lalu diadakan musyawrah dengan keluarga Kraton, bagaimana caranya agar dapat menundukan Ki Adjar Mangir kembali. Kalau diadakan kekerasan tak mungkin karena Ki Adjar memiliki senjata ampuh sebagai pusaka kepercayaannya.
Bilamana Mataram menang, tidak akan harum namanya tetapi andaikata kalah tentu sangat memalukan. Akhirnya diperoleh suatu cara yang dapat memancing ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya. Dikirimkannyalah rombongan telik sandi yang berpura-pura mbarang jantur untuk menyelidiki kelemahan Ki Adjar Mangir. Putra putri dari sang Raja telah dikorbankan untuk menjadi waranggono dan masuk ke desa Mangir. Jebagan sang Raja mengenai sasarannya.
Ketika Ki Mangir mengetahui ada orang mbarang jantur, dan waranggononya kelihatan cantik, maka ia terpikatlah.
Setelah menangkapnya, maka tertariklah ia akan kecantikannya sang laku sandi, sehingga kemudian terpaksa ditanyakan untuk dijadian istrinya. Terjadilah perkawinan antara Ki Mangir dan putri Raja.
Setelah lama hidup bersuami istri, maka pada suatu hari sang Putri menceritakan bahwa sebenarnya ia berasal dari Mataram, termasuk keluarga bahkan putra putri dari sang Radja.
Ia mengatakan meskipun radja Mataram itu musuh daripada Ki Mangir, namun mengingat bahwa sekarang ia menjadi mertuanya, malah tidak sebaiknya sebagai putra menantu mau menghadap untuk menghaturkan sembah bakti.
Bilamana Ki Adjar Mangir dianggap berdosa dan bersalah, maka sang Putri berserdia memohonkan maaf kepada sang Raja sebagai ayahnya.
Dari desakan istrinya akhirnya Ki Adjar Mangir meluluskan permohonan sang Putri dan bersama-sama menghadap Raja. Pusaka tombak juga dibawanya. Tetapi karena tujuannya untuk menghaturkan sembah bakti, maka pusaka tersebut tidak dibawanya masuk kraton. Alkisah ketika Ki Mangir sedang menghaturkan sungkem kepada Raja, maka kepalanya dipegang oleh bapak mertuanya dan dibenturkan pada tempat duduknya yang dibuat dari batu pualam, sehingga Ki Adjar Mangir meninggal pada saat itu juga. Batu ntuk membenturkan kepala Ki Adjar itu menurut ceritera masih ada, ialah di Kota Gede dan disebut WATU GATENG, yang mana sekarang menjadi objek touris.
Ki Adjar Mngir dimakamkan di Kota Gede dekat makam Raja. Adapun makamnya Mangir separo badan ada didalam tembok sedang yang separo berada di luar. Ini menandakan bahwa meskipun ia musuh Raja juga termasuk anak menantu.
Sepeninggal Ki Mangir terserang pageblug, menurut kepercayaan yang menjadi sebabnya adalah pusaka Kyai Upas.
Adapun yang kuat ketempatan ialah putra Raja yang menjadi Bupati di Ngrowo (Tulungagung sekarang). Hal ini sesuai dengan asal usulnya pusaka, ialah bahwa Baru Klinting pernah dibesarkan di daerah rawa-rawa.
Semenjak itu pusaka Kyai Upas menjadi pusaka keluarga yang turun- temurun bagi para Bupati yang menjabat di Tulungagung.
8. CERITA KYAI UPAS II.
KYAI BARU – UPAS PENATASAN.
(Terjemahan bebas dari sebagian isi buku karangan : Bp. Kartowibowo Blitar)
______________________________________
Konon, adalah roh yang mempunyai suatu kelebihan, disebut Datuk Madjusi, dapat mengubah wujud, baik wujud manusia maupun roh, sedang roh itu adalah roh jahat, yang gemar merasuki manusia. Pada waktu Palembang memerangi Hentaok Madjusipun membantunya, tetapi dapat ditangkap oleh Adjar Tunggul manik yang kemudian dilempar dan jatuh ditempat yang jauh. Setelah peperangan selesai, ia merasuki salah seorang Menteri Barupati yang bernama Paronsekar, sehingga ia lupa berniat hendak memusuhi sultan. Tombak Kyai baru di curi lalu dibawa ke Japan atu Mojokerto sekarang. Ia merasa bahwa diutus Sultan untuk memberikan pusaka tersebut kepada Bupati yang berkuasa di situ. Danoeredjo, Bupati Japan, merasa sangat heran, apa sebabnya maka Sultan menganugrahkan pusaka kraton kepadanya.
Namun pusaka itu diterimanya juga, sementara ia menunggu titah dari keraton.
Hebohlah orang di Hentaok karena Kyai Baru hilang dicuri orang. Setelah diselidiki dapat diketahui bahwa ternyata paronsekarlah yang mencurinya dan lari dari Hentaok.
Jejaknya yang menunjukkan bahwa ia menuju ke Japan, sudah diketemukan.
Japan terus digropyok, sedangkan Ki Danoeredjo bersama Paronsekar ditangkap dan dibelenggu , terus dibawa ke Hentaok. Setelah diperiksa, Paronsekar mengaku bahwa ia disuruh oleh Bupati Danoeredjo untuk mencuri tombak pusaka Kiai Baru tersebut, tetapi Danoeredjo tidak membenarkan pengakuan itu. Diterangkan olehnya bahwa yang benar, ia hanya menerima saja. Danoeredjo dan Paronsekar untuk sementara ditahan, menunggu sampai adanya saksi yang dapat membuka tabir yang sebenarnya. Apabila nanti ternyata kedua orang itu merupakan suatu komplotan yang membahayakan, pasti akan dipancung lehernya. Selama Perkara tersebut dalam pengusutan, diterimalah oleh Sultan berita dari Bupati Daerah pesisir, bahwa “alun banteng” mengganas dan sangat menggangu jalannya pelajaran di laut utara (Laut Jawa). Banyak nahkoda yang tidak berani berlayar keluar masuk pelabuhan. Banyak pula perahu-perahu kecil-kecil yang tenggelam karena mengganasnya gelombang itu. Pelabuhan menjadi sunyi karena tingginya air pasang. “Alun Banteng” itu ialah gelombang yang besar, panjang dan bergulung-gulung dihembus oleh angin. Air laut seperti diaduk, banyak perahu yang terhempas dan terdampar ke pantai, tenggelam dan terbalik. Geliat-geliat lingkaran-lingkaran “airnya satru”, yaitu air yang mengalir ke kiri dan kanan melengkung, sedangkan yang dari depan menikam dan mundepankan, dan mundurnya turun ke bawah.
Para Menteri pesisir itu mohon bantuan agar mendapat penolak gelombang besar itu.
Barupati mendapat ilham, bahwa yang dapat dipergunakan sebagi penolak bahaa itu adalah tombak pusaka keraton.
Danoeredjo dibebaskan dan perkaranya dibatalkan, bahkan ditunjuk untuk membawa Kyai Baru, dengan diiringkan oleh para menteri, berjalan menyusuri pesisir laut utara. Pusaka tersebut apabila diacungkan kearah laut, alun banteng menjadi ketakutan, mengalir kembali ketengah. Begitulah berturut-turut mulai dari Rembang, Tuban, Gresik, Surabaya sampai Japan. Alun banteng lari ke selatan dan tidak berani lagi menginjak laut utara.
Maksud Sultan tombak itu tidak usah dikembalikan lagi ke Mentaok. Oleh karena itu ketika Ki Djaka Baru Klinting masih berwujud ular berasal dari rawa Bening– Campur, maka lebih baik sekarang dikembalikan ke asalnya, sekaligus untuk mendekati laut selatan, sambil menjaga dan menghalangi alun Banteng di laut selatan agar dikelak kemudian tidak berani datang kelaut utara.
Daerah Ngrowo akan dijadikan daerah ketemenggungan baru, oleh karena daratan di sana hanya sempit saja, maka dimintakan sumbangan tanah yang tidak tergenang air dari daerah sekitarnya.
Dari daerah Blitar memberikan daerah Ngunut, Pacitan memberikan daerah pesisir selatan, sedangkan Ponorogo memberikan gunung , yaitu tanah Trenggalek, Ngrajun, Panggul, Prigi, dan Jombok.
Demikianlah hingga sampai sekarang ada nama TULUNGAGUNG, Ibu Kota Ngrowo sekarang. Disitulah Kyai Upas ( Baru ) berada dan sampai sekarang menjadi pusaka kota itu.
Di Tulungagung Kyai Baru itu disebut Kyai Upas, lengkapnya Kyai Baru Upas penatasan. Diceritakan orang bahwa sukmanya sering mengembara atau menjelma menjadi seekor ular. Sukmanya yang pernah melakukan tapa atau tidur di bawah pepohonan seperti pohon beringin di dalam kota, mengatakan bahwa pernah mengetahui ada seekor ular di atas pohon tadi dalam beberapa hari, tetapi hanya dapat dilihat pada waktu malam saja sedangkan siang harinya lenyap tak nampak sesuatupun. Para pembesar yang mewarisi tombak itu harus seorang yang rendah hati, suci, sabar, dan menjalankan perbuatan-perbuatan baik. Apabila dikuasai oleh seorang yang angkara murka, sombong dan bengis niscaya Kyai Upas akan mendatangkan bahaya baginya, umpamanya : selalu celaka, tidak dapat tahan lama nenegang suatu jabatan yang tinggi, atau dapat juga terganggu ingatannya. Disamping itu dapat pula mendatangkan bencana bagi daerah Tulungagung misalnya banjir atau bencana yang lain.
Tiap tahun Kyai Upas dipermandikan dengan upacara yang dilakukan oleh para ahli waris pendiri kota Ngrowo. Upacara pencucian ini, dilakukan tepat pada tanggal 10 Muharam. Setelah upacara itu selesai, lalu diadakan resepsi dengan dipertujukkan pagelaran wayang kulit.
Malam itu juga para pejabat se Kabupaten Tulungagung berkumpul ditempat Kyai Upas itu berada, untuk mengadakan keselamatan.
Pernah terjadi di Tulungagung ada seseorang Bupati yang bukan keturunan dari ahli waris Tulungagung baik dari keluarga pria maupun puteri, sebagai pembesar yang tersisip. Kyai Upas tidak berkenan apabila Bupati itu masuk ke dalam kamar persemayamannya, setiap kali ia membuka pintu kamar itu, terlihat olehnya ada seekor ular yang mengangakan mulutnya seolah-olah siap untuk menyambar. Tempat tidur Bupati itu hanya disisi rumah saja (gadri) dan akhirnya tidak lama menjabat Bupati.
Kamar Kyai Upas terletak di sudut rumah sebelah barat laut. Pada suatu ketika kamar itu akan diperbaiki, lantainya diganti, lebih dahulu lantai itu harus digali, Kyai Upas sudah dipindahkan ke lain tempat. Banyak orang yang tiap-tiap kali mulai menggali, pinsan, jatuh dan sakit. Sampai-sampai tidak sekalipun berani menggali lantai itu.
Meskipun upah borongan menggali itu dinaikkan sampai seratus lima puluh, baru ada orang yang berani mengerjakan pekerjaan itu, orang itu bernama pak Bero.
Sebelumnya ia berpuasa, tidak tidur mempersembahkan sesaji. Mohon kepada Kyai Upas, agar diperkenankan menggali tempat itu. Permohonan ini diperkenankan oleh Kyai Upas. Berhasilah Pak Bero memperoleh sebesar seratus lima puluh rupiah.
Pusaka Tulungagung, tombak Kyai Upas, sangat terkenal sering berwujud seekor ular pada waktu malam, yaitu apabila daerah Tulungagung merasa susah, misalnya bayak ada orang mati, banjir atau tidak aman. Menjelmanya Kyai Upas dalam wujud ular itu sebenarnya memberikan peringatan kepada rakyat Tulungagung agar selalu ingat kepada Tuhan.
Kyai Upas itu dipelihara oleh para pembesar turun-temurun yang menjabat jabatan Bupati, pembesar kota Tulungagung. Keluarga disitu sangat dikenal olehnya. Oleh karena itu pernah ada suatu siang salah seorang pembesr melihat seekor ular besar dengan jelas di halaman. Ular tersebut oleh beliau dipasang jerat dan akhirnya dapat dimasukkan ke dalam sebuah karung terus diikat erat-erat digantung dan ditungguinya. Nampak juga seloah-olah karung itu berisikan sesuatu, tetapi lama kelamaan karung itu kempislah.
Setelah diturunkan dan diperiksa ternyata ikatannya masih baik, tetapi setelah karung itu dibuka ternyata kosong. Jelaslah, bahwa ular tadi bukan binatang yang wajar, tetapi kejadian dari Kyai Upas.
Ia bermaksud untuk memberi firasat bahwa ada berita penting bagi Bupati di situ. Firasat itu adalah firasat yang baik, sebab setelah terjadi kejadian itu ada seorang familinya yang dapat naik pangkat tinggi.
Demikianlah cerita orang.
9. CERITERA KYAI UPAS III
CERITERA DI WAJAK
Tentang cerita asal-usul Kyai Upas di Wajak itu ada cerita yang sangat berlainan dengan cerita diatas. Cerita inipun juga menyinggung tentang Mentaok.
Pada waktu itu calon Sultan Mataram masih bernama Kyai Ageng Senopati. Pada suatu hari ia bertamu ke Wajak, disitu ia disuguh sirih oleh Bupati daerah itu.
Wajak adalah suatu daerah yang terletak disebelah selatan Tulungagung, tetapi Tulungagung belum menjadi suatu negeri, masih berwujud hutan kayu tahun. Daerah disebelah timur Tranggalih juga termasuk wilayah Wajak.
Senopati langsung menuju Wajak dengan mengendarai abdinya, seekor kuda yang bernama Djurutaman, ialah seekor kuda jilmaan jin, yang dulu dalam suatu peperangan dapat dialahkan oleh Senopati. Kuda itu diceritakan dapat terbang, dan berkecepatan seperti angin. Pertemuan di Wajak itu disuguhi.dengan pagelaran wayang klitik. Senopati merasa payah, tidur dengan bersandar pada tiang gung. Dalam tidurnya itu ia bermimpi bertemu dengan puteri Bupati itu. Pada waktu itu juga kuda jelmaan itu pulang ke Mataram menjilma sebagai manusia yang menyerupai Senopati. Ia Bermaksud hendak menemui istri senopati di dalam rumah di Mataram.
Senopati yang tidur bersandar pada tiang gung itu tidak mengetahui bahwa kudanya menghianati.
Tengah malam Sunan Kalijogo datang membangunkan dan melemparkannya ke Mentaok. Jurutaman yang menjilma sebagai tunagannya itu diketahui oleh Senopati dan ditusuk matanya yang sebelah kanan dengan cis sehingga menjadi buta sebelah.
Puteri Wajak yang muncul dalam impian tadi beberapa waktu kemudian hamil, padahal ia belum bersuami. Supaya tidak mendapat malu puteri itu harus meninggalkan Wajak menuju ke suatu hutan perawan di daerah Wahung, disitu dia melahirkan bayinya dibuang ketempat yang sunyi. Waktu itu ada seekor ular yang keluar dan terus mengejar bayi yang dibuang itu untuk mencaploknya. Tetapi tidak ditelan, melainkan dikulum saja. Ibu si bayi itu menjadi takut dan malu, terus pergi meniggalkan Wahung Bupati Wajak mengetahui bahwa putrinya pergi. Ia memerintahkan punggawanya untuk mencari puterinya itu. Adapun punggawa yang diperintahkan itu bernama Rijobodo.
Rijobodo terus berangkat mencari, keluar hutan masuk hutan, namun ia tak dapat menemukannya..
Pada suatu ketika ia mendapat ilham, yaitu ia disuruh mencari bekas tempat bayi tadi dibuang. Setelah sampai ke tempat itu diketemukannya sebuah tombak dan ular yang menyaplok bayi tersebut. Lama kelamaan yang dicarinya itu dapat diketemukan, yaitu didaerah Banyuwangi. Sang putri beserta tombak itu terus dibawa pulang. Sesampainya di Wajak diurus, apa sebabnya sampai lolos dari Kabupaten.
Sang Bupati menuduh bahwa Senopati telah membuat aib kepada putrinya. Oleh sebab itu disayembarakan, bahwa barang siapa dapat membunuh Senopati di Mentaok, akan dijadikan pengganti jabatan Tumenggung di Wajak.
Para Menteri menyanggupi. Mereka disuruh memerangi Mentaok dan kepada pemukanya dibawakan tombak tersebut sebagai alat senjatanya. Mereka itupun berangkatlah .
Sesampainya di Mentaok dijumpainya Senopati dan ditusuknya dengan tombak itu menjadi bengkok. Setelah diketahui oleh Senopati akan tombak itu berkatalah :
“Tombakmu itu adalah penjilmaan dari putraku, mana mungkin ia berani kepadaku? Oleh karena itu ia menjadi bengkok.” Sudahlah sekarang ini lebih baik kamu semua pulang saja. Kembalikanlah tombak ini kepada paman Bupati. Tombak ini adalah sebuah senjata yang ampuh, kelak akan menjadi pusaka bagi daerah “ Ngrowo”.
Para Menteri yang memerangi Senopati itu terus pulang ke Wajak dengan tangan hampa. Sesampainya di Wajak dikatakan pesan-pesan Senopati itu kepada Bupati.
Sang Bupati tidak mau menerima tombak itu kembali.
Disuruhnya orang untuk mengembalikan ke asalnya, ke Wahung.
Tumbak itu dikembalikan, dan lenyap dari Wahung.
Kemudian hari banyak orang yang mengetahui bahwa tombak tadi terdapat tegak menancap di bumi daerah Wahung, dengan dikerumuni oleh tombak-tombak yang lain, yang banyak jumlahnya. Setelah didengar oleh Bupati Wajak akan berita itu, lalu disayembarakan, bagi siapa saja yang dapat mengambil Kyai Upas, dialah calon pembesar ditempat itu. Kemudian hari ternyata seorang yang dapat mengambilnya.
Orang itu bernama Ronggo Katepan Ngabehi. Nenurut cerita orang, Ronggo tersebut tidak berpusar dan sangat sakti.
10. CERITERA KYAI UPAS IV
PUSAKA KYAI UPAS
Kyai upas adalah nama sebuah pusaka berbentuk tombak, dengan landeannya sepanjang tidak kurang dari 5 meter. Pusaka ini berasal dari Mataram yang dibawa oleh R.M. Tumenggung Pringgodiningrat putra dari pangeran Notokoesoemo.di Pekalongan yang menjadi menantu Sultan Jogyakarta ke II (Hamengku Buwono II yang bertahta pada tahun 1792-1828), ialah ketika R.T Pringgodiningrat diangkat menjadi Bupati Ngrowo (Tulungagung sekarang). Disamping pusaka itu ada kelengkapannya yang dalam istilah Jawa disebut “pangiring” berwujud 1 pragi gamelan pelok slendro yang diberi nama “Kyai Jinggo Pengasih” beserta 1 kotak wayang purwo lengkap dengan kelirnya.
Pusaka dan pengiring ini tidak boleh dipisahkan dan sekarang tersimpan dibekas pensiunan Bupati Pringgokusumo di desa Kepatihan Tulungagung. Inilah yang oleh masyarakat Tulungagung dianggap sebagai pusaka daerah.
Sejak dari R.M Tumenggung Pringgodiningrat pusaka tadi dipelihara baik– baik, turun temurun kepada R.M. Djayaningrat (Bupati Ngrwo V) lalu kepada R.M Somodiningrat (Bupati ke VI) kemudian kepada R.T. Gondokoesoemo (Bupati ke VIII) dan selanjutnya diwariskan kepada adiknya ialah R.M Tumenggung Pringgokoesoemo (Bupati Ngrowo yang ke X).
Setelah R.M.T Pringgokoesoemo pensiun dalam tahun 1895 dan wafat pada tahun 1899, maka pemeliharaan pusaka diteruskan oleh Raden Aju Jandanya, sedang hak temurun pada puteranya yang bernama R.M Moenoto Notokoesoemo Komisaris Polisi di Surabaya. Sejak tahun 1907 pemeliharaan pusaka berada di tangan menantu dari R.M.T Pringgokoesoemo yaitu R.P.A Sosrodiningrat Bupati Tulunngagung yang ke XIII, dan sejak jaman Jepang diteruskan oleh saudaranya yang bernama R.A Hadikoesoemo. Setelah R.A Hadikoesoemo wafat tugas ini diambil alih kembali oleh R.M. Notokoesoemo.
PERANAN KYAI UPAS SEBAGAI PENOLAK BANJIR.
Baik dari bupati-bupati lama, dari keluarga Pringgokoesoemo maupun dari masyarakat Tulungagung sendiri timbul suatu kepercayaan, bahwa pusaka kyai Upas adalah pusaka bertuah penolak banjir dan penjaga ketentraman bagi daerah kabupaten Tulungagung. Tidak sedikit cerita – cerita mengenai hal ini diantaranya :
I. Waktu R.M. Moesono masih kanak-kanak dan berkumpul serumah dengan eyangnya putri Pringgokoesoemo, pernah diberi keterangan, bahwa sebelum tahun 1895 Tulungagung pernah mengalami banjir besar sampai air masuk ke alun-alun dan rumah Kabupaten. Pada waktu itu pusaka Kyai Upas tidak berada di Tulungagung melainkan dibawa oleh R. Pringgokoesoemo ketika masih menjabat Wedono di Pare (Kediri). Masyarakat mempunyai kepercayaan bilamana pusaka Kyai Upas dibawa kembali ke Tulungagung, air bah akan hilang. Pendapat itu ternyata benar, dengan pembuktian ketika R. Pringgokoesoemo Wedono Pare diangkat oleh Pemerintah Belanda menjadi Bupati Tulungagung dan pusaka Kyai Upas ikut di boyong maka ternyata banjir Tulungagung sangat berkurang.
Pada tahun 1942 Kabupaten Tulungagung tertimpa bahaya banjir yang luar biasa sampai terciptakan lagu “Oh nasib Tulungagung”.
Pusaka Kyai Upas pada waktu itu dijaga tidak berada di Tulungagung karena dibawa ke Surabaya untuk pengayoman dengan tujuan bilamana tentara sampai masuk ke kota Surabaya janganlah sampai timbul pertumpahan darah dan keadaanya lekas menjadi aman.
Timbullah suatu rabaan dari P.A Sosrodiningrat banjirnya Tulungagung dikarenakan pusaka daerah selang tidak berada di tempatnya.
Dengan segera beliau pergi ke Surabaya untuk mengambilnya.
Pusaka itu ditaruhnya didalam mobil tetapi mengingat penjangnya landean terpaksa sampai mengorbankan memecah kaca mobil bagian muka dan belakang.
Setelah pusaka kembali ke Tulungagung, maka air menjadi surut.
KYAI UPAS PADA JAMAN PERANG KEMERDEKAAN
Pada tahun 1946 Bapak Gubernur Soerjo pernah menyerukan kepada rakyat seluruh Jawa Timur agar semua pusaka-pusaka daerah yang ampuh milik rakyat dikeluarkan dan dipergunakan untuk membendung kemajuan gerak tentara kolonial Belanda yang ingin menjajah kembali.
Pada Waktu itu datanglah utusan Bung Tomo yang mengaku bernama Nangkulo beserta 2 orang temannya di Tulungagung dengan naik mobil yang kemudian menghadap P.A Sosrodhiningrat Bupati Tulungagung, mohon diizikan membawa Kyai Upas ke garis depan.
Pusaka diserahkan dan terus dibawa ke Somobito. Dalam kenyataan musuh tidak terus maju, tetapi berhenti di desa Curahmalang. Kyai Upas berada di garis depan selama ± 3 bulan dan diantarkan kembali ke Tulungagung oleh R. Moesono Bupati Surabaya dengan didampingi oleh R.M. Moenoto Notokoesoemo Komisaris Polisi Kota Surabaya (pewaris pusaka) dengan naik mobil dinas yang disupiri oleh orang bernama Badjuri (juga sekarang sudah pensiun dan bertempat tinggal di Wonokromo Surabaya).
Ketika Kyai Upas dibawa ke garis depan didampingi pula oleh 2 buah pusaka berupa tombak berasal dari Pringgopuran desa Kutoanyar tetapi 2 puasaka ini tidak kembali (hilang).[2]
PEMELIHARAAN PUSAKA SECARA TRADISIONAL
Pusaka Kyai Upas telah dipelihara dengan secara tradisional oleh keturunan Bupati Ngrowo. Tugas pemeliharaan ini termasuk suatu kewajiban.
Adapun yang menerima penyerahan tugas paling akhir berdasarkan keputusan bersama dari keluarga Bupati Pringgokoesoemo ialah R.M Moenoto Notokoesoemo. Tugas ini juga dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ketika P.A Sosrodiningrat masih menjabat Bupati Tulungagung maka upacara siraman pada tiap tahunnya dilaksanakan dengan sangat teliti menurut tradisinya.
Selain upacara peralatan lengkap, pada malam harinya para sesepuh, pejabat-pejabat Pamong Praja dan Dinas Jawatan bersama istrinya didatangkan untuk melihat pertunjukan wayang purwo semalam suntuk. Biaya penyelenggaraan siraman dipikul bersama oleh keluarga R.M Moenoto Notokoesoemo. Setelah R.M Moenoto Notokoesoemo meninggal dunia, maka penyelenggaraan siraman diadakan secara sederhana oleh janda almarhum, yaitu Ibu Moenoto Notokoesoemo.
Diantara Bupati-bupati sesudah Pangeran Sosrodiningrat maka Bupati K.D.H R. Soenardi menaruh perhatian besar terhadap upacara siraman ini. Beliau telah menghadiri upacara bersama-sama stafnya dari anggota D.P.R.D.G.R
Pernah disampaikan sumbangan uang untuk kepentingan selamatan juga selubung pusaka sebagai ganti selubung yang lama.
PERLENGKAPAN WAKTU SIRAMAN
Selain siraman yang diselenggarakan pada tiap-tiap tahun, maka sebagai pemeliharaan pada tiap-tiap hari Kamis siang diadakan sajen berupa :
Ayam panggang hitam mulus dua ekor.
Satu ambengan apem berisi 28 biji.
Dua buceng nasi gurih
Gantenan lengkap (untuk makan sirih)
2 lirang pisang raja.
Bunga melati yang dironce.
Clupak minyak jarak sebagai lampunya.
Barang-barang tersebut harus disajikan di dalam kamar pusaka oleh embannya. Pada waktu Kyai emban menyajikan sajen itu, lampu clupak yang berisi minyak jarak harus dinyalakan disertai membakar kemenyan (dupa).
Pada sore hari sajen-sajen tadi diundurkan dari kamar pusaka untuk dikendurikan.
Disamping itu pada tiap-tiap tahun bertepatan pada hari Jum’at upacara siraman ini harus disediakan sajen-sajen sebagai berikut:
Panggang ayam tulak, ayam walik, ayam putih mulus, ayam hitam mulus, ayam lurik sekul dan lain sebagainya (7 macam)
Bermacam-macam polo kependem (Knolgewassen) antar lain kacang brul, ubi-ubian, kentang hitam, kentang putih, ketela rambat, ketela pohon dan lain sebagainya.
Jenang Sengkolo, bubur suran lengkap dengan lauk pauknya sebagaimana biasanya untuk selamatan suran.
Pisang Raja Ayu.
Air dari 7 sumber (Tuk) dan air laut yang dipergunakan untuk siraman pertama.
Tebu dan janur.
Segala macam ikan sungai (ikan tawar).
Segala macam jajanan pasar.
Daging lembu 27 macam (27 potong).
Pada hari kamis sore menjelang siraman banyak ibu-ibu yang datang membantu masak-masak dan menyiapkan sajen untuk dikendurikan pada hari Jum’at pagi.
Yang memasak jenang dan bubur suran menurut tradisi harus dipilihkan seorang Ibu yang sudah lanjut usianya (bahasa jawa Luas sari)
Pada hari Jum’at pagi biasanya telah banyak yang datang banjir pada upacara siraman itu, terutama para pensiunan. Sekitar jam 9.30 pagi, setelah pusaka tersebut dikeluarkan dari kamar pusaka, maka diiringi dengan gamelan monggang yang terus menerus sampai akhir siraman dan sampui pusaka tersebut dikembalikan ke kamar pusaka.
Disamping itu diadakan pembacaan tahlil oleh paling sedikit 20 orang santri. Selesai siraman diadakan kenduri.
Yang mendapat tugas untuk menyirami pusaka tersebut ialah Kyai Emban yang turun temurun itu.
Sebagai penutup dalam rangkaian upacara ini pada malam harinya diadakan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.
Demikianlah sejarah Kyai Upas, Pusaka tradisional Kabupaten Tulungagung.

11. CERITA – CANDI
MAKAM – GAYATRI
Pada pemerintahan Kerajaan Mojopahit yang pertama bertahtala Raja R. WIDJAJA dengan gelar KERTARAJASA DJAYAWARDANA (tahun 1293-1309). Beliau beristrikan dengan putri raja / anak raja SINGO-SARI yang ke IV yaitu GAYATRI. Gayatri mempunyai gelar RADJAPATMI / RADEN RAWI.
Beliau mestinya dapat menduduki tahta kerajaan tetapi karena seorang BIKU (Pendita Budha) lalu diwakili oleh anaknya perempuan yang bergelar TRIBUWANA TUNGGADEWI JOYOWISNUWARDANI (tahun 1328-1350)
Pada tahun 1350 Gayatri / Radjapatmi wafat, jenazahnya dimakamkan di Boyolangu.
Pada tahun 1350-1389 jaman pemerintahan PRABU HAYAM WURUK selalu diperhatikan pemeliharaan terhadap makam-makam pada raja dan pahlawan Mojopahit. Beliau memerintahkan untuk membuat Candi Patung Gayatri di tempat makamnya.
Pada tahun 1500 pecahlah kerajaan Mojopahit akibat adanya perang saudara. Kerajaan menjadi lemah dan timbul kekacauan di dalam negeri dan berkembanglah agama islam di Indonesia.
Ketika itu patung-patung yang menjadi pujaan pengikut agama Hindu / Budha, banyak yang mengalami kerusakan dan banyak yang ditutup tanah hingga tidak kelihatan.
Pada tahun 1915 waktu pemerintahan Penjajahan Belanda membuktikan tentang kebenaran Sejarah Indonesia, maka patung yang tertimbun dan yang telah merupakan hutan diatasnya itu lalu dibongkar dan ternyata diketemukan sebuah arca besar yang kepalanya telah dipotong dan hingga sekarang belum dapat diketemukan.
Patung tersebut dibersihkan dan dikembalikan pada tempat duduknya semula.
Baru setelah penyedilikan dan pembersihan ialah pada tahun 1921 diperoleh penjelasan, bahwa tempat itu adalah betul-betul Makam Gayatri.
KISAH SINGKAT CANDI CUNGKUP
Candi cungkup terletak di desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung. Candi tersebut adalah candi Budha. Di halaman sebelah timur ada 8 arca Budha yang keadaannya sudah karena kepalanya sama hilang (dirusak). Disampingnya terdapat batu yang kepalanya seperti meja bundar.
Adapun candi Cungkup tersebut menurut cerita digunakan untuk upacara pembakaran mayat para bangsawan pada sekitar tahun ± 1300 yaitu di jaman Kerajaan Mojopahit Prabu Hayam Wuruk.
Selain itu juga ada tempat pembakaran mayat guna rakyat jelata, yang disebut candi Dadi terletak di atas gunung. Dari candi Cungkup ke arah selatan kira-kira jarak 2,5 km.
Disebelah utara candi Cungkup jarak kira-kira 150 meter terdapat tempat bekas pesanggrahan, yang mana disitu terpancang dua tiang batu yang dinamakan Cancangan gajah. Oleh sebab disitu ada bekas pesanggrahan, maka desa yang ketempatan itu dinamakan Sanggarahan.
12. RIWAYAT SINGKAT PASARAEN BEDALEM
Di pasarean Bedalem terdapat 12 makam yang diantaranya disebut-sebut orang makam Pangeran Benowo lan Pangeran Dampuawang. Adapun lainnya termasuk pasarean biasa (pengikut).
Menurut keterangan dari pada sesepuh di sekitar pasarean itu yang mana merupakan cerita run-temurun peninggalan dari nenek moyangnya diterangkan bahwa :
Pangeran Benowo berasal dari Mataram. Oleh karena pada waktu itu beliau mau dijajah oleh bangsa Belanda, maka bersama-sama pengikutnya terpaksa meninggalan Mataram, hingga sampai di Bedalem untuk menepi/prihatin, jangan sampai tertangkap oleh bangsa Belanda.
Bagaimana kisah selanjutnya tak ada yang mengerti dan tahu sudah menjadi pasarean tersebut.
Jadi kemungkinan besar adanya pasarean itu sebelumnya Belanda masuk daerah pedalaman pulau Jawa.
Sejak dahulu ada juru kuncinya dan kalau meninggal dunia lalu diganti oleh anak turunnya.
Menurut ceritanya di dekat pasarean Benowo dahulu ada tersimpan beberapa buah buku-buku tetapi lalu diambil/dirampas oleh pihak Belanda.
Sebagai tradisi bila ada penjabat yang ingin berziarah ke makam Pengeran Benowo tersebut,mulai dari undak-undakan yang ke I s/d ke VII selalu berjalan jongkok (laku dodok) sambil menyembah. Tetapi lama kelamaan menjadi tebal tidak berani merubahnya.
Mula-mula pasarean itu belum diberi atap, tetapi pada ± tahun 1920, lalu dibuatnya dari silang/alang-alang oleh para demang. Setelah istilah demang tidak dipakai lagi dan berganti nama Kepala Desa, maka tentang perbaikan selanjutnya diteruskan oleh para lurah/Kepala Desa tiap-tiap 3 tahun sekali. Para Lurak seka wedana Campurdarat, yang jumlahnya ada ± 60 orang bersama-sama datang ke pasarean Bedalem itu untuk memperbaiki atap tersebut dengan dipimpin oleh Bapak Wedono dan dibantu oleh para Camat.
Pada tahun ± 1956 ketika Wedononya Bapak Siswodimoeljo, diadakan perubahan. Semua Kepala Desa se kawedanan Campurdarat bersama-sama datang ke pasarean tersebut untuk mengadakan perbaikan atap dan menggantinya dengan genteng. Maka sejak saat itu perbaikan atap jarang sekali dilakukan oleh para Kepala Desa.
Menurut kepercayaan bilamana disesuatu daerah terserang oleh hama tikus, maka pak lurah lalu utusan seseoarng mengambil batu merah (Boto) yang terletak di pasarean Badalem untuk dipergunakan tumbal sawahnya, setelah keadaan reda batu merah itu lalu dikembalikan ke pasarean lagi, sambil diadakan selamatan ala kadarnya. Tetapi lama kelamaan kepercayaan semacam ini juga berkurang.
Ketika jaman Agresi pasarean tersebut berkali-kali dijatuhi bom tetapi tidak ada satupun yang bisa meledak.
Disamping itu terdapat suatu kisah nyata bahwa mulai dahulu hingga sekarang bilamana ada gempa bumi baik besar maupun kecil di pasarean dan sekitarnya tidak ada getaran.
Pangeran Dampuawang menurut cerita adalah seorang bangsa Tionghowa yang sampai sekarng pasareannya digunkan untuk tempat pesadranan bagi orang-orang yang menginginkan kay raja (mencari pesugihan).
TELAGA BURET
Menurut kepercayaan yang menguasai ( mbau rekso) di telaga Buret adalah Mbah Djiigangdjojo. Dalam cerita sebetulnya mbah Djigangdjojo itu juga seorang pangeran tetapi oleh sebab termasuk pangeran yang sudah tua, maka lazimnya orang-orang lalu menyebutnya mbah Djigangdjojo begitu saja.
Mungkin pengeran Djigangdjojo itu juga seorang pelarian yang tujuannya sama dengan Pangeran Benowo di Bedalem hanya tempatnya menepi di telaga Buret.
Mbah Djigangdjojo kesenangannya adu jago. Sampai sekarang ini masih dipercayai kalu mbah Djigangdjojo itu kalah jagonya, maka keadaan ikan-ikan di rawa-rawa kelihatan banyak sekali.
Mbah Djigangdjojo mempunyai 2 orang anak yang seorang bernama Sekardjojo tempatnya masih menjadi satu ditelaga Buret berkumpul dengan mbah Djigangdjojo, sedang yang seorang bernama Kembangsore bertempat dibawah dawuhan/jempatan desa Gedangan.
Keadaan telaga Buret sampai sekarang seakan-akan masih tampak keangkerannya. Tak ada yang berani mengambil ikan dari sekitar Telaga itu, karena menurut kepercayan kalu ada yang berani mengambil, akhirnya tidak antara lama pasti menderita/mendapat halangan.
Kecuali kalau ikan tadi sudah berada di dawuhan Malang, biarpun asalnya dari telaga Buret tetapi sudah bisa diambil oleh siapapun saja.
Bagi desa Sawo, Gedangan dan Ngentrong telaga Buret merupakan tempat yang dianggap keramat.
Tiga desa tersebut tiap 1 tahun sekali tepat pada bulan Selo, hari Jum’at Legi bersama-sama mengadakan ulu-ulu/slamatan disitu.
Menurut cerita bapak Kepala desa Gedangan (Moedjono) kalau setiap tahun desa-desa tadi tidak mengadakan ulur-ulur (slametan) ke telaga Buret itu, maka banyak terjadi halangan didesanya. Oleh sebab itu hingga sekarang tidak berani meninggalkan kebiasaan tersebut.
Kecuali itu telaga buret masih menjadi tempat menepi bagi orang-orang yang akan magang lurah, kedatangannya kesitu untuk mencari timbul. Sewaktu-waktu sudah berhasil/tercapai cita-citanya lalu mengadakan slametan/nyadran ke telaga tersebut.
RIWAYAT HIDUP
R. SOENARDI BUPATI / KEPALA DAERAH
KABUPATEN TULUNGAGUNG
I. Untuk pertama kalinya bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung diangkat seorang karyawan ABRI dari kesatuan AURI sebagai seorang Bupati Kepala Daerah.
Kepadanya diserahkan tanggung jawab untuk memimpin daerah serta dipercayakan sepenuhnya kepada beliau bersama-sama rakyat untuk membangun daerah Tulungagung.
Seorang karyawan ABRI tersebut adalah :
Nama : R. Soenardi
Pangkat : Let. Kol. Udara
Nnp : 462399
Lahir : tanggal 17 Agustus 1919
Di : Jakarta
Agama : Islam
Pendidikan yang telah dicapai :
1. Umur, mulai tahun 1927 s/d 1939
2. Militer, aplikasi dasar-dasar kemiliteran pada tahun 1954 s/d 1955
II. Pengalaman dan masa kerja :
a. Masa Pemerintahan Belanda
Pada tahun 1939 sebagi pegawai di luchvaart Afd di Andir Bandung (Jabar) dan Ngrowo Jogjakarta, dan berakhir sampai jatuhnya Pemerintah Belanda menyerah kepada Pemerintah Jepang.
b. Masa Pemerintah Jepang.
Pada tahun 1942 sebagai pegawai di Penerbangan Jepang di Moro krembangan Surabaya dan Bugis di Malang dan berakhir sampai jatuhnya Pemerintah Jepang menyerah kepada Pemerintah Sekutu.
c. Masa Revolusi Bangsa Indonesia
Pada tahun 1945 di lapangan terbang Bugis Malang dilanjutkan di lapangan Maguwo Jogjakarta sampai penyerahan kedaulatan R.I
d. Masa Pemerintahan R.I
1. Pada tanggal 9 April diangkat sebagai tentara di AURI dengan pangkat Ome III (sekarng Letnan Muda Udara II)
2. pada tahun 1949 sewaktu clash ke II ditawan Belanda dan dibebankan setelah hasil perundingan Pemerintah R.I – Belanda yang diwakili masing-masing oleh Mr. Rum – V. Royen
3. Pada tahun 1968 diangkat menjadi Bupati Kepala daerah (dengan Pangkat Let.Kol Udara), hingga sekarang di Tulungagung.
e. Memiliki Tanda-jasa, lencana-lencana :
1. Satya Dharma
2. Sapta Marga
3. Setya – Kesetiaan Sewindu
4. Sewindu – A.P.R.I
5. Setya Kesetiaan 16 Tahun
6. Aksi Militer I
7. Aksi Militer II
8. Bintang Swa Bhuwana paksa klas III.
LAMPIRAN
MOTTO
“DAERAH MINUS DIJADIKAN DAERAH SURPLUS”
1. KATA PENGANTAR
Atas Ridlo Tuhan yang Maha Esa, maka kami persembahkan Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung ini kepada segenap warga masyarakat Tulungagung, untuk dapat diketahui makna, hakekat serta jiwa terkandung di dalamnya.
Maksud dari Pemerintah Daerah di dalam melahirkan Lambang Daerah tersebut di samping untuk digunakan sebagai menanam sejarah, khususnya bagi warga masyarakat Kabupaten Tulungagung, juga berusaha untuk mencoba menggambarkan rasa tanggung jawab kepada bangsa dan tanah air demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan motto daerah kita :
“DAERAH MINUS DIJADIKAN DAERAH SURPLUS”
Usaha memahami pengertian dari motto di atas, hendaknya jangan sekedar hanya dinilai secara lahiriah belaka, namun seharusnya lebih luas dari pada itu, yaitu dapatnya mencakup di atas segala aspek kehidupan kita, baik mental, spiritual maupun materiil, sehingga hakekatnya daripada itu dapat benar-benar mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang diharapkan oleh dasar falsafah Negara kita Pancasila.
Di dalam himpunan yang sederhana ini selain kita ungkapkan makna dari pada Lambang Daerah di dalam segala seginya, kita sertakan pula Peraturan-peraturan Daerah serta ketentuan-ketentuan yang berlaku dan lain-lain. Yang bersangkut-paut dengan lambang daerah tersebut yang telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri No. Pemda 10/20/10-230 tanggal 24 Agustus 1970.
Telah menjadi catatan kita bersama bahwa upacara peresmian Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung ini dilaksanakan tanggal 31 Agustus 1970 jam 09.00 WIB. Perlu kami tambahkan bahwa kehadiran himpunan dengan jauh dari pada sempurna ini, adalah sebagai usaha pemerintah dalam usaha menyumbangkan darma baktinya, kepada warga Kabupaten Tulungagung dengan data-data yang telah kami milikinya.
Demikianlah bahwa Lambang Daerah yang telah berhasil kita persembahkan kepada warga masyarakat Kabupaten Tulungagung ini hendaknya dapat dihormati dan dihargai sebagaimana mestinya.
Penghargaan dan penghormatan ini jangan kita dasarkan atas perwujudan benda dalam bentuk lambang daerah tersebut, tetapi kita harus dapat menyelami makna, isi serta jiwa dari pada Lambang Daerah Kabupaten kita ini.
Semoga Tuhan Y.M.E. selalu melimpahkan rohmat taufiq dan hidayahnya kepada kita semua di dalam segala amal perjuangannya, demi mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Amien. –
Tulungagung, tgl. 31-8-1970
BUPATI KEPALA DAERAH
KABUPATEN TULUNGAGUNG
(R. SOENARDI)
2. “MAKNA, HAKEKAT DAN JIWA ASPIRASI DAERAH
YANG DITUANGKAN DALAM BENTUK LAMBANG
DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG”.
______________________
Aspirasi daerah ini diwujudkan dalam bentuk gambar yang tertera dalam Lambang Daerah tersebut, sebagai usaha Pemerintah Daerah untuk menyatukan arah atau menfokuskan, demi tercapainya pembangunan daerah.
Hakekat dari Lambang Daerah ini merupakan gambaran ciri pokok tentang situasi dan kondisi daerah baik fisik geografis, ekonomi social maupun kulturilnya.
Ciri-ciri pokok yang terkandung di dalam Lambang Daerah itu bukan berarti suatu gambaran mati, pasief tidak berarti, namun pada hakekatnya hal itu adalah refleksi dari pada kekuatan daerah yang hidup, dinamis mengarah kepada tujuan pokok, kemakmuran serta kesejahteraan masyarakat.
Lambang Daerah Kabupaten kita ini baik dalam makna, isi dan jiwanya tidak terlepas dari dasar falsafah Negara kita Pancasila serta UUD 1945. Justru lahirnya Lambang Daerah kita ini didasari atas kebesaran Pancasila dan semangat juang 1945. betapa tidak, karena tidak karena Lambang Daerah kita ini mengandung satu motto perjuangan yang baru akan berhasil bila kita betul-betul bekerja giat dan rajin. Bekerja giat dan rajin tidak selamanya menuju ke sasaran, bila tidak diimbangi dengan sifat hakiki dari pada bangsa kita yaitu (humanisme) dan persatuan bangsa.
Imbangan ini juga disertai taqwa kepada Allah swt supaya kita paling maklum dan merasakan bahwa kemakmuran dan kesejaheraan rakyat itu ridlo rohmat Tuhan Yang Maha Adil.
Maka di sinilah semangat Pancasila dan UUD 1945. Ini mengilhami Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung kita yang tercinta ini.
Untuk jelasnya dapatlah kita usahakan di sini manifestasi dari pada sila-sila dalam Pancasila itu yang menghayati isi Lambang Daerah Kabupaten kita.
1. Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Sudah jelas kiranya bahwa kita masyarakat Indonesia umumnya serta warga Kabupaten Tulungagung khususnya mempunyai keimanan dan pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam arti adanya kehidupan keagamaan yang harmonis di sana dijunjung tinggi sikap toleransi terhadap kebebasan dan kemerdekaan untuk menjalankan ibadat menurut ajaran agamanya masing-masing saling hormat-menghormati antara pemeluk-pemeluk agama yang beraneka ragam itu. Pancaran ini diwujudkan dalam gambar yang berbentuk bintang.
2. Dengan didasarkan atas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bahwa manusia di dunia ini mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat, dan harus diperlukan sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk Tuhan yang mulia.
Jadi menambahkan rasa keadilan diantara segenap warga Kabupaten. Hal ini sesuai dengan makna dari kata “TULUNGAGUNG” yakni suatu pertolongan yang besar, tanpa membedakan jenis, golongan pangkat maupun keturunan.
3. Semangat Persatuan
kehidupan warga masyarakat Kabupaten diliputi oleh susunan kekeluargaan yang menuju ke arah tumbuhnya kesatuan dan persatuan bangsa sebagai warga Kabupaten hidup harmonis dengan didasari oleh semangat persatuan yang menyala-nyala.
Refleksi ini tersimpul dalam inti bulatan yang mengitari pohon beringin dalam Lambang Daerah tersebut.
4. Asas Demokrasi
bahwa asas demokrasi Pancasila yang didasari atas kegotongroyongan dan mufakat adalah ciri khas dari pada sistem demokrasi, baik dalam bidang politik ekonomi sosial dan budaya yang didasarkan atas Ridlo Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari ini tersimpul dari gambar inti bulatan dalam lambang tersebut, yang melambangkan kebulatan tekad di dalam mewujudkan demokrasi Pancasila.
5. Keadilan Sosial
Tata kehidupan dan penghidupan kekeluargaan warga masyarakat Kabupaten yang saling harga-menghargai terhadap hak-hak yang dimiliki, dimana masyarakat serta alat penguasaannya senantiasa membaktikan segala kenikmatan dan bahan bersama secara merata, selaras dengan tingkat perbedaan rohaniah serta jasmaniah para warganya yang senantiasa berusaha pula untuk mewujudkan dan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan utama.
Tujuan ini dapat disimpulkan didalam padi dan kapas, sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan.
Demikianlah gambaran ringkas dari pengejawantahan Pancasila yang tersimpul dalam Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung, yang sekaligus merupakan ilham pokok dari lahirnya Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung.
Maka dengan kita telah memiliki Lambang Daerah ini, maka Pemerintah Daerah bersama warga masyarakat Kabupaten Tulungagung lebih yakin pengarahan hidup dari pada tujuan kita, “DAERAH MINUS DIJADIKAN DAERAH SURPLUS”. Lebih-lebih lahirnya Lambang Daerah ini dalam saat-saat kita memperjuangkan suksesnya pembangunan di tanah air, maka semangat kita pakai sarana untuk lebih mengingatkan lagi setiap langkah-langkah yang sudah kita capai untuk menuju kepada aah yang betul-betul kita harapkan.
Demikianlah bahwa Lambang Daerah yang telah berhasil dipersembahkan kepada warga masyarakat Kabupaten Tulungagung ini hendaknya dapat dihormati dan dihargai sebagaimana mestinya.
Sekali lagi diharapkan agar penghargaan dan penghormatan ini jangan kita dasarkan atas perwujudan benda dalam bentuk Lambang Daerah tersebut, tetapi kita harus dapat menyelami makna, isi serta jiwa dari pada Lambang Daerah Kabupaten kita ini.
Tulungagung, tanggal : 31-8-1970.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
TURUNAN
3. PERATURAN DAERAH KABUPATEN
TULUNGAGUNG
No. 11 TAHUN 1970
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH GOTONG ROYONG
KABUPATEN TULUNGAGUNG
Menetapkan peraturan daerah sebagai berikut :
PERATURAN DAERAH Kabupaten Tulungagung tentang Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung.
M O T T O : Daerah minus dijadikan daerah surplus.
B A B I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
a. Daerah ialah : Daerah Kabupaten Tulungagung
b. Bupati ialah : Bupati Kepala Daerah Kabupaten Tulungagung
c. Lambang Daerah ialah : Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung.
d. Pemaqkai ialah : Masyarakat umumnya dalam daerah Kabupaten
Tulungagung dengan mendapat ijin dari Bupati Kepala
Daerah.
B A B II
BENTUK, WARNA DAN MAKNA
Pasal 2
(1). Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung terbagi atas 6 warna yaitu :
1. Putih.
2. Kuning.
3. Coklat.
4. Hijau.
5. Hitam.
6. Biru muda.
(2). Tentang arti warna :
1. Putih = Kesucian
2. Kuning = Kemashuran
3. Coklat = Kokoh
4. Hijau = Kemakmuran
5. Hitam = Abadi
6. Biru muda = Kesetiaan
Pasal 3
Tentang makna Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung terdiri dari 10 (sepuluh) bagian ;
I. Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung terlukis dalam sebuah dasar PERISAI berbentuk jantung yang mempunyai sudut LIMA mengandung arti bahwa dalam segala perjuangan dan pembelaan daerah senantiasa berpijak pada prinsip LIMA DASAR yaitu PANCASILA.
II. TULUNGAGUNG
A.Tulung berarti sumber air.
Agung berarti besar.
- Keseluruhannya berarti sumber air yang besar.
B.Tulung berarti pertolongan
Agung berarti besar.
- Keseluruhannya berarti pertolongan yang besar.
III. D A S A R
1. Perisai berlancip 5, bermakna dasar / falsafah Negara Republik Indonesia ”PANCASILA”.
2. Warna hitam dan kuning :
a. Hitam melambangkan Abadi
b. Kuning melambangkan kemashuran
- Mencerminkan keteguhan tekad dalam mengenalkan dasar falsafah Negara dengan disertai jiwa yang terkandung didalam Pancasila secara murni dan konsekwen, demi tercapainya masyarakat Tata Tenteram Kertaraharja.
IV. PADI DAN KAPAS
1. Melambangkan kemakmuran ( padi pangan ) dan kemakmuran abadi ”Loh-jinawe karta raharja”.
2. Jumlah pada 17, kapas 8 melambangkan Negara Republik Indonesia diproklamirkan.
3. Warna emas dan putih perlambang dari hasil yang berlimpah dari dan dengan usaha yang putih bersih.
V. BINTANG BERSUDUT LIMA DIUJUNG TOMBAK
1. Melambangkan cita-cita luhur dalam segala bidang, yang tak terlepas dari jiwa Pancasila.
2. Sinar 4 melambangkan pengamalan Pancasila yang memancar ke empat penjuru daerah.
3. Sinar 4 dan bintang bersudut 5 menggambarkan angka 45, ialah tahun kemenangan menjiwai semangat perjuangan bangsa Indonesia.
4. Bintang juru 5 berwarna emas perlambang Ketuhanan Yang Maha Esa dibawah perlindungan dan pimpinan Dialah, maka seluruh alam semesta seisinya itu hidup dan berikhtiar.
VI. INTI BULAT
A. Menggambarkan kebulatan tekad daerah serta warganya dalam membangun daerahnya agar terwujud isi motto daerahnya.
B. (1). Roda bergeligi : Menggambarkan semangat kerja / membangun dari kecamatan yang ada dalam Wilayah Kabupaten Tulungagung.
(2). Rantai beramata 17 buah bermakna kesatuan dan persatuan yang dijiwai oleh semangat proklamasi, serta sekaligus sebagai cacatan bahwa Daerah Kabupaten tulungagung dulu pernah memiliki 17 Kecamatan.
C. Warna biru muda menggambarkan langit / udara, gunung warna hitam daratan warna coklat dan air berombak 5 Pancasila, menggambarkan keadaan daerah dan isinya yang dimiliki oleh daerah dalam wilayah Kabupaten yang terdiri dari daerah pengairan, rawa-rawa, ngarai, batu marmer, pelikan dan bahan galian lainnya.
VII. TOMBAK TERTUTUP
1. Pusaka yang merupakan ciri-ciri khas / spesifik Tulungagung ”KYAI UPAS” yang secara tradisionil hingga kini dianggap bertuah.
2. Menggambarkan pusaka Tulungagung ”KYAI UPAS” sebagai perlambang kekuasaan Pemerintah Daerah yang berlandaskan keadilan.
VIII. GERBANG PUTIH
Gambaran ideal untuk menjadikan Daerah Kabupaten Tulungagung sebagai gerbang kesucian, kemakmuran dan keadilan sosial.
IX. BERINGIN
1. Melambangkan pengayoman yang berarti :
Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung menjadi pengayoman bagi segenap warganya bahkan bagi setiap warganya diharap-harap menjadi pengayoman sesamanya.
2. Lekuk rimbun daun 5.
Bahwa pengayoman tersebut tidak bisa lain karena dijiwai oleh pengamalan Pancasila.
3. Bersulur 5.
Sebagai gambaran pengamalan Pancasila sehingga kokoh, berurat berakar kesegenap penjuru daerah sebagaimana sulur beringin yang apabila mencapai tanah akan menjelma menjadi akar yang kokoh.
X BUNGA TUNJUNG BERDAUN 5, BERKUNCUP 2, KANAN – KIRI
1. Bunga tunjung menggambarkan daerah Tulungagung mempunyai rawa-rawa.
2. Warna putih melambangkan kesucian, bersih.
3. Jumlah daun bunga 5 – Pancasila
4. Kuncup bunga 2 kanan kiri merupakan kesatuan jenis warna daerah Tulungagung yang terdiri dari pria dan wanita yang bersama-sama daerahnya.
Pasal 4
Bentuk, ukuran dan warna Lambang Daerah adalah seperti yang dimaksud dalam contoh terlampir pada peraturan daerah ini.
Pasal 5
(1). Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung dapat digunakan sebagai berikut :
a. Panji-panji
b. Lencana-lencana
c. Cap
d. Kepala surat
e. Tanda pajak
f. Gambar
g. Kartu-kartu penduduk
(2). Cara-cara pemakaian Lambang Daerah termaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur oleh Bupati Kepala Daerah dengan surat keputusan.
Pasal 6
(1). Dengan tidak mengurangi apa yang ditentukan dalam ayat (2) pasal 5. Umum dapat memakai Lambang Daerah Kabupaten tulungagung sebagai apa yang ditentukan dalam ayat (1) pasal 5, kecuali pemakaian untuk cap, kepala surat dan tanda pajak.
(2). Barang siapa hendak mempergunakan Lambang Daerah Kabupaten tulungagung diluar ketentuan termaksud dalam ayat (1) pasal 6 harus mendapat ijin dahulu dari Bupati Kepala Daerah.
Pasal 7
Siapapun dilarang :
a. Menghina Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung.
b. Mempergunakan Lambang Daerah Kabupaten Tulungagung dengan cara yang bertentangan dengan ayat (1) pasal 6.
BAB III
KETENTUAN HUKUMAN
Pasal 8.
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal 5 dan 6 Peraturan Daerah ini dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau hukuman denda setingi-tinginya Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
BAB IV
PENUTUP
Pasal 9.
Peraturan Daerah ini dapat dinamakan “PERATURAN TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG”.
Pasal 10.
Peraturan Daerah ini berlaku mulai pada hari pertama sesudah hari pengundangannya.
Tulungagung, tgl. 13 – 7 – 1970
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
GOTONG ROYONG
BUPATI, KEPALA DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG,
KABUPATEN TULUNGAGUNG Ketua
Dto. Dto.
( R. SOENARDI ) ( MOCH. SADJURI )
Diundangkan di Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Jawa Timur tahun 1970 seri C pada tanggal 28 Agustus 1970. No. 41/C.
A/n. Gubernur Kepala Daerah
Propinsi Jawa – Timur
Pd. Sekretaris Daerah
u.b.
Kepala Bagian Hukum Perundang-undangan
( M. ARIEF MULJADI, S. H. )

4 comments:

  1. Tulungagung Manggung👍👍👍

    ReplyDelete
  2. Tulungagung Manggung ������

    ReplyDelete
  3. PROGRAM PINJAMAN MUDAH
    Selama masa ekonomi yang tidak pasti ini, banyak orang mendapati diri mereka dihadapkan pada situasi di mana mereka dapat menggunakan bantuan keuangan. Apakah itu untuk keadaan darurat, perbaikan rumah, konsolidasi utang atau bahkan liburan keluarga - pinjaman pribadi berbunga rendah adalah cara yang aman dan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keuangan Anda. Di Alta Finance LLC, kami berspesialisasi dalam program pendanaan Pinjaman yang andal dan efisien. Hubungi kami hari ini menggunakan email perusahaan kami: altafinancellcfunding@gmail.com atau melalui teks +1 702 805-0119

    ReplyDelete